Rabu, 14 Jumadil Awwal 1446 H / 9 Juni 2010 09:54 wib
1.840 views
Ditembak Israel di Mavi Marmara
Cerita lengkap Surya Fachrizal, sebagaimana dituturkan kepada Dzikrullah, untuk Sahabatalaqsha.com dan Hidayatullah.com
Hidayatullah.com & Sahabat Al-Aqsha---AMMAN-- Subuh itu masih gelap, Senin, 31 Mei 2010, namun suasana kapal Mavi Marmara sungguh kalang-kabut dan mencekam. Helikopter komando Israel menderu-deru dengan angin yang sangat kencang. Granat suara berdentum di mana-mana. Gas air mata merebakkan asap. Senjata api otomatis berentetan mencari mangsa. Peluru-peluru berdenting menyiram dinding kapal. Kulihat seorang lelaki Turki berpelampung berusaha masuk ke pintu kabin dek 4. Jaraknya dari saya hanya sekitar 4 meter. Kami berada di teras kapal sebelah kiri.
Belum sampai ke pintu, tiba-tiba dia jatuh terlentang, lalu memukul-mukulkan tangan kanannya ke lantai kayu seperti menahan sakit yang amat sangat. Karena tak ada yang menolongnya saya langsung mendatanginya. Belum sempat saya menyentuhnya, mendadak seperti ada besi martil menghantam perut saya yang sebelah kanan. Sakitnya luar biasa. Saya langsung jatuh terjerembab dalam posisi berbaring dan menindih kamera pinjaman, Canon EOS 400-D semi-pro yang lensanya cukup besar dan panjang. Saya sempat menyingkirkan benda itu agar bisa berbaring lebih leluasa, karena tiba-tiba nafas menjadi sangat susah.
Terasa ada yang memapah saya masuk ke lobi kecil dekat ruang wartawan. Lalu saya dibaringkan, sesudah itu kesadaran saya timbul tenggelam. Rasanya dingin sekali. Beberapa orang menjepretkan kamera ke arah saya. Kulihat Yasin, jurukamera TVOne, mendekat sambil merekam tapi ia lalu seperti tak tega, dan berhenti merekam. Pelampungku dilepas. Karena melihat nafasku tersengal-sengal seseorang memasangkan masker oksigen. Lumayan lega, tapi rasa sakit di perut makin menghebat, nyeri sekali.
Tak lama kemudian saya digotong turun ke lobi dek 3 yang lebih luas di depan ruang informasi. Bau anyir darah sangat tajam menusuk. Ruangan itu sudah penuh sesak oleh korban yang bergelimpangan dan orang-orang yang berusaha menolong.
Dibantu Mas Dzikrullah dan Abdillah, seorang dokter berkaos IHH, wajahnya seperti orang India, menggunting semua bajuku. Dia ingin memastikan letak luka sumber rasa sakitku. Lalu seorang dokter Malaysia berusaha memasang jarum infus di lenganku. Berkali-kali ditusuknya tanganku.
Akhirnya sesudah infus terpasang, aku digotong dan ditempatkan di salah satu kursi ruang makan yang jadi hall tempat tidur ratusan relawan laki-laki. Oksigen terpasang. Rasanya agak mendingan. Nafasku masih sesak, tapi rasa sakit di perut kanan sudah banyak berkurang. Mungkin ada yang menyuntikkan pain killer. Dr Arief dari MER-C sempat memeriksa luka dan menenangkan saya.
Saat itu saya lihat orang hilir mudik menolong para korban. Tadinya saya tidak tahu, tapi setelah mendengar ada yang membacakan surat Yasin, baru saya sadar, ada sesosok jenazah terbujur di lantai dekat ujung kaki saya. Sesekali orang mengerumuni dan mendoakannya.
Saya sendiri waktu itu tidak membayangkan kalau beberapa saat setelahnya akan dibawa tentara Israel. Bayangan saya, "Ah... kayaknya sudah nggak bakal sampai ke Gaza nih. Pulang ah... Main sama anak-anak dan nulis berita..." Sesudah itu, yang paling banyak terpikirkan bagaimana memilih angle tulisan, dan apa saja yang mau ditulis.
Terus terang saya sempat bingung mau nulis apa setiap hari, sejak di Istanbul. Karena saya menyiapkan diri untuk menulis features di majalah, dan tidak terlalu siap menulis hard news. Alhamdulillah, kami bertiga, saya, Mas Dzikru dan Mbak Santi, jadi bisa bergantian mengirim berita pendek setiap hari.
Tak lama kemudian, pasien cedera di hall tempat saya berbaring sudah pergi semua. Karena itu saya digotong lagi oleh teman-teman Indonesia, dipindahkan ke hall yang masih banyak orang cederanya. Mereka yang sehat sebagian besar sudah disuruh keluar oleh tentara Israel lewat pintu belakang . Saya tak tahu mereka kemana, sebab rasanya kapal itu masih berlayar tapi tujuan akhirnya masih jauh.
Sesudah semua penumpang yang sehat habis, Hanin Zo'bi, anggota parlemen Israel orang Arab-Palestina di dekat saya minta kepada tentara agar tidak semua diangkut helikopter karena banyak yang terlalu parah. Saya sendiri berusaha untuk tidak pingsan. Alhamdulillah. Saya nggak sadar ada Okvi atau tidak di samping saya.
Tahu-tahu seorang tentara Israel menyuruh saya berdiri dan berjalan. Setelah melihat-lihat keadaan saya sebentar, tentara Israel berkulit bule dan berpenutup muka itu bilang, "Yes, you can walk. Stand up and walk up stairs... I will help you to stand." Saya pikir, gile juga nih orang, gue baru ditembak disuruh jalan. Sesudah saya berdiri saya dibiarkan jalan sendiri, terhuyung-huyung. Dia membantu memegangi infus di belakang saya.
Nafas memang sudah mulai teratur, tapi badan rasanya lemas sekali. Alhamdulillah tidak terasa sakit. Saya sama sekali tidak membayangkan, apa yang belakangan ditemukan dokter dan tertulis di status medis saya, bahwa peluru menghantam dada kanan atas saya, masuk menyerempet paru-paru, mematahkan rusuk kanan terakhir, merobek diafragma, menyerempet liver sedikit, dan kemudian peluru itu berhenti sebelum menyentuh tulang panggul.
Berjalan kaki dari kursi makan tempat saya berbaring menuju dek 6 di atap kapal rasanya kelabu. Saya benar-benar sendirian. Semua ruangan kapal yang saya lewati sudah kosong melompong dari para relawan. Tentara Israel lalu lalang.
Dari dek 3 saya keluar ke teras sebelah kanan, lalu saya berjalan lewat tangga besi berpagar, muncul di teras dek 4 dekat ruang wartawan, lalu naik lagi tangga besi ke dek 5 dekat anjungan kapten. Sepanjang jalan kulihat suasana sangat berantakan tapi tanpa manusia. Nampak bekas-bekas perkelahian, alat-alat elektronik, matras, besi-besi bekas pagar kapal, darah berceceran di mana-mana.
Yang paling parah, tangga vertikal dari dek 5 ke dek 6, penuh dengan lumuran darah. Saya dipaksa naik lewat tangga yang tegak itu. Rasanya berat sekali.
Sempat celana saya kedodoran, lalu diperbaiki oleh tentara yang mengawal. Celana saya memang sudah terbuka sejak pertama kali disuruh berdiri oleh tentara Israel di dek 3.
Sesampainya di atap alias dek 6, saya lihat ada sekitar 10 orang yang luka parah seperti saya. Nampaknya kebanyakan orang Turki. Angin kencang yang berasal dari helikopter seperti hendak menerbangkan saya, sampai kupegang botol infus sendiri, takut diterbangkan juga, karena selang infus sudah mengibas-ibas hebat.
Begitu giliran saya tiba untuk diangkut ke atas helikopter, saya diikat ditandu, lalu dikerek ke atas ditandem dengan seorang paramedik AL Israel. Sesampainya di dalam helikopter, yang menyambut saya seorang dokter bule Israel berkaca mata yang sangat ramah. Dia memeriksa luka, bahkan membelah sedikit bagian yang tertembak, seperti mencari peluru. Sakitnya luar biasa. Tapi mereka tidak menemukan peluru lalu ditutup lagi.
Saya lihat ada seorang pasien lain di helikopter. Seorang Turki bertubuh agak gemuk. Saya lihat indikator jantungnya sudah tidak memberikan sinyal naik turun. Hanya ada garis lurus. Sempat terpikir, "Nih orang masih hidup nggak ya?"
Kemudian dua orang tim medis, mungkin dokter, satu yang tadi berkaca mata, satu lagi botak, dua-duanya bule, memutuskan untuk menyuntik sesuatu dan menyayat saya di iga sebelah kanan. Sepertinya mereka menemukan perdarahan di dalam dan hendak mengeluarkan. Terasa ada darah menyembur dari sayatan itu, lalu mereka memasang selang yang belakangan baru aku tahu, gunanya untuk mengeluarkan darah. Belakangan saya diberi tahu darah yang keluar 1000 cc.
Kedua paramedik bule itu sepertinya sangat gembira setelah berhasil memasang selang itu. Karena saya lihat mereka bersalaman sesudah merampungkan pekerjaannya. Paramedik yang botak sering mengacungkan jempol dan berkata "OK" kepada saya sambil tersenyum.
Dalam waktu sekitar 20 menit helikopter mendarat di sebuah helipad di sebuah dataran terbuka. Hampir tidak ada bangunan di sekitarnya. Helikopter atau pesawat lain juga tidak terlihat. Saya kemudian diangkut dengan ambulan. Di ambulan saya bertanya nama tempat itu kepada paramedik Botak tadi. Dia menjawab, "Haifa..."
Sesudah 10 menit, sampailah kami di sebuah rumah sakit dan di situ saya bertemu dengan beberapa pasien lain yang kebanyakan relawan Turki. Seluruh pakaian saya dibuka, diganti pakaian pasien berwarna putih. Seorang perawat perempuan menanyakan nama. Saya hanya menunjukkan kantong celana tempat paspor saya. Diambilnya lalu dia menuliskan identitas saya. Sejak itu nama saya disebut dengan cara berganti-ganti, "Suuuriya... Suraya... Suryaaa..." Kebanyakan sejak hari itu memanggil "Suraya", mungkin gara-gara penulis pertama menulis dalam bahasa Ibrani dengan ejaan seperti itu.
Sesudah itu saya diperiksa secara maraton, dipindahkan dari satu meja periksa ke meja periksa lainnya. Saya ditanya apakah bisa berbahasa Inggris. Saya diberitahu seseorang berseragam rumah sakit warna biru muda, "Anda tidak perlu bergerak sama sekali, kami yang akan memindahkan Anda." Mereka bekerja cepat dan cekatan. Kesan saya para dokter dan perawat Israel itu orang-orang yang selalu ingin bekerja cepat, tidak pernah diam atau santai, selalu bergerak dan melakukan sesuatu. Kayak orang kebelet kencing.
Saya dibawa dan diperiksa dari meja ke meja hampir tidak ada jeda. Begitu selesai
CT-Scan saya sudah langsung mau dioperasi. Saya sempat disodori dua lembar dokumen yang harus ditandatangani dua-duanya, dan diberitahu akan dioperasi. Saya sempat bertanya, "Apakah [operasi] ini benar-benar perlu?"
"Ya perlu sekali. Supaya kita tahu luka apa saja yang ada di dalam tubuh Anda," jawab seseorang berseragam medis.
Sesudah tanda tangan, saya langsung dibawa ke kamar operasi, dan diberitahu bahwa akan dianastesi alias dibius total. Ruang operasi itu terasa dingin sekali. Tapi beberapa detik kemudian saya sudah tak ingat apa-apa............
* * *
Saat pertama kali sadar, saya terbangun di sebuah kamar bersama empat pasien lain. Seorang diantaranya relawan Turki, yang lain saya tak kenal, mungkin pasien Israel. Di sekeliling saya sudah ada empat atau lima orang dokter dan perawat. Seseorang maju mendekat sambil berkata, "Let me check it."
Lalu dia membuka ikatan baju pasien di belakang, untuk melihat dada saya. Saya kaget setengah mati melihat dada saya, "Wah, bener-bener dibongkar nih gue..." Sebuah bekas sayatan membujur dari bawah ulu hati terus sampai sekitar 6 jari di bawah pusar, sudah dalam keadaan terjahit rapi dengan logam semacam staples. Tidak ada bekas darah sedikit pun. Lubang bekas jalan masuk peluru juga dijahit dengan staples, ada jahitan lain di dekatnya, tapi saya tak tahu itu luka apa. Alhamdulillah, saya hanya sangat bersyukur proses operasi itu semua saya lalui dalam keadaan sama sekali tidak sadar.
Baru mulai saat itulah saya merasakan atmosfir Yahudi di sekitar saya karena orang-orang saling menyapa dan berbicara dengan bahasa Ibrani. Saya lihat pemandangan di luar jendela indah. Tanahnya berbukit-bukit dan hijau. Ruangan kamar kami berpendingin.
Alhamdulillah, saya sama sekali tidak merasa khawatir, yang ada rasa bosan. Komunikasi saya dengan relawan Turki di kamar saya hanya senyum dan berpegangan tangan. Kami tak saling mengerti bahasa satu sama lain.
Seorang petugas berseragam biru muda, kadang-kadang mengenakan kaos polo, selalu ada di dalam kamar bergantian dengan temannya. Tadinya saya kira dia polisi, ternyata petugas imigrasi. Sejak hari Senin malam sampai Kamis siang saya tidak melakukan apapun kecuali berbaring dan menunggu waktu solat. Saya berpikir mudah-mudahan apa yang sudah kami lakukan tidak sia-sia. Sempat juga terpikir kapan bisa berkumpul keluarga.
Hari Rabu siang, seorang lelaki bule Yahudi yang ramah mengaku bernama Steve, menemui saya di kamar. Dia didampingi dua orang berseragam putih bergaris-garis biru dari Magen David Adom (Bintang David Merah, palang merahnya Israel). Di punggungnya ada bintang David merah. Steve yang gemuk dan mengenakan kaos polo merah itu bilang, "Beberapa hari yang lalu saya baru tiba dari Jakarta. Seminggu saya di Jakarta. Saya sudah kontak dengan departemen kesehatan Indonesia, dr Rustam. Begitu sehat, kami akan mengurus kepulangan Anda."
Kunjungan singkat Steve dan kawan-kawan hanya sekitar 10 menit. Saya sendiri saat itu masih suka tertidur tanpa sadar, mungkin pengaruh obat pain killer yang terus-menerus diberikan, mungkin juga karena nyaman bernafas dengan tabung oksigen.
Yang menggembirakan, hari Kamis, saya menerima telepon istimewa. Duta Besar Yordania untuk Israel menelepon saya diatur oleh seorang diplomat Yordania yang bisa berbahasa Indonesia. Rasanya senang sekali, karena mulai ada titik terang.
Tapi rupanya ada kejutan menyenangkan berikutnya, dengan fasilitas teleconference, para diplomat Yordania menghubungkan saya dengan Duta Besar Indonesia di Amman, Yordania, Pak Zainulbahar Noor. Setelah menanyakan keadaan saya, beliau menawarkan kalau saya mau bicara dengan salah satu teman. "Di Yordania sini banyak teman Anda..." kata beliau.
Saya sama sekali tidak menyangka bahwa yang dimaksud "teman-teman" itu adalah teman-teman relawan dan wartawan Indonesia. Karena dalam bayangan saya, teman-teman relawan dan wartawan Indonesia yang ada di Mavi Marmara masih ditahan di penjara Israel. Jadi saya bilang, "Terserah lah Pak..." Jadi kaget dan senang sekali begitu yang bicara Mas Dzikrullah meskipun cuma sebentar. Alhamdulillah.
Menjelang malam, petugas imigrasi yang menjaga kamar saya memberitahu ada seorang pengacara mau berjumpa saya. Namanya Suhad Bisyara, pengacara wanita pembela hak-hak minoritas Arab dari LSM bernama '
Adalah. Dia memberikan kartu namanya, semacam lembaga bantuan hukum. Dia menawarkan bantuan apa saja yang diperlukan. Saya bilang, kalau boleh saya perlu pakaian. Malamnya dia datang lagi memberikan dua kaos satu celana dan pakaian dalam.
Relawan Turki yang sekamar dengan saya sudah dijemput pulang. Hari Jumat pengacara Arab itu datang lagi. Dia menanyakan apakah bajunya cocok atau tidak, dan kapan kira-kira ada yang menjemput saya. Saya bilang ada kabar saya akan dibantu kedutaan Yordania.
Saya bertanya kepada petugas imigrasi yang menjaga saya, "Mungkin nggak besok saya dievakuasi ke Yordania?"
"N
ggak mungkin, besok hari
Sabbath, nggak ada yang kerja," katanya.
Sesudah itu obrolan mengalir, tapi searah. Dia mulai ngomong sendiri, katanya kami (Israel) sudah memperingatkan kapal Mavi Marvara. Menurut dia Gaza itu zona militer. Tidak ada yang boleh masuk. Monolog itu terus mengalir, "Dunia menuduh kami membunuh anak-anak, padahal kami mengincar teroris. Hanya saja para teroris itu pengecut, bersembunyi di balik perempuan dan anak-anak. Jadi kalau kamu bilang kapal itu (Mavi Marmara) kapal perdamaian,
think again..."
Rupanya mesin yang berusaha mengeluarkan saya dari rumah sakit Israel bergerak cukup cepat. Hari Sabtu, kembali atas bantuan duta besar Yordania untuk Israel, saya disambungkan dengan Pak Zainulbahar, Dubes Indonesia di Amman, yang menanyakan keadaan saya dan kesiapan saya dievakuasi dengan ambulan. Rupanya Pak Dubes sudah bicara dengan dr Hani Bakush yang mengoperasi saya, dan dinyatakan saya siap dievakuasi kapan saja.
Hari Ahad saya sudah diluncurkan dengan ambulan dari RS Rambam Medical Center, Haifa, berangkat jam 9.05 pagi dan tiba di
check-point perbatasan Yordania-Palestina terjajah King Hussein Bridge jam 12 siang, di sela-selanya sempat bertukar ambulan di tapal batas dari ambulan Israel ke ambulan Yordania.
Di King Hussein Bridge perasaan saya berbunga-bunga.
Nggak nyangka begitu banyak yang menjemput terutama wartawan-wartawan dari Indonesia termasuk Mas Dzikru. Ternyata teman-teman relawan juga ada, Mbak Santi, Ust Ferry Nur, Muhendri, Dito, dr Arief. Rasanya lega bisa berkumpul bersama mereka lagi. Alhamdulillah [dzik/
hidayatullah.com]
Surya sudah semakin lahap makannya di RS Madinatul Hussein At-Tibbiyah Amman Yordania [foto Sahabat Al-Aqsha]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!