Penaklukkan Pulau Kreta telah berlangsung sejak awal masa Bani Umayyah. Sebagian Pulau Kreta sempat jatuh ke tangan kaum muslimin
Oleh: Alwi Alatas*
Ketika Islam muncul dan menyebar ke Afrika Utara, kehadiran Islam begitu terasa di perairan Mediterania. Belum genap satu abad tahun hijriah, Islam sudah masuk ke Semenanjung Iberia (Spanyol). Pulau-pulau di perairan Mediterania satu demi satu mulai jatuh ke tangan Islam, menyisakan permusuhan pihak Byzantium (Romawi Timur) dan Eropa Latin – penguasa awal wilayah-wilayah tersebut – yang sejak lama memang bersikap memerangi kaum muslimin.
Upaya-upaya penaklukkan Pulau Kreta telah berlangsung sejak awal masa Bani Umayyah. Dalam beberapa upaya penaklukkan, sebagian Pulau Kreta sempat jatuh ke tangan kaum muslimin, walaupun tidak berlangsung lama, karena pulau itu berhasil dikuasai kembali oleh Byzantium.1 Penguasaan Pulau Kreta oleh kaum muslimin baru terjadi secara permanen pada tahun 827, ketika sekumpulan besar kaum muslimin Andalusia yang terusir dari kampung halamannya memutuskan untuk masuk dan menguasai Pulau Kreta.2 Mereka kemudian mendirikan keemiran Islam di pulau tersebut dan mempertahankannya selama satu abad lebih terhadap upaya penguasaan kembali oleh pihak Byzantium.
Ada latar belakang menarik yang mendorong orang-orang Andalusia ini bermigrasi dan pada akhirnya menjadi penguasa Pulau Kreta. Pada tulisan kami yang lain pernah disebutkan bahwa ada banyak alasan yang mendorong manusia melakukan migrasi, di antaranya adalah karena alasan politik. Persoalan politik pulalah yang menyebabkan orang-orang Andalusia ini pergi keluar dari kampung halamannya menuju Aleksandria, dan kemudian ke Pulau Kreta.
Kisahnya bermula di Andalusia, tepatnya di ibukota Cordova. Ketika itu Andalusia dipimpin oleh al-Hakim I (ibn Hisham), dan terjadi ketidakpuasan di kalangan tokoh-tokoh dan masyarakat Cordova yang melibatkan juga beberapa ulama dan teolog penting madzhab Maliki, seperti Yahya ibn Yahya al-Leythi dan Talut. Penguasa Bani Umayyah yang satu ini dianggap memiliki kecenderungan yang terlalu besar terhadap kesenangan duniawi. Ketidakpuasan ini mendorong terjadinya pemberontakan terhadap al-Hakim. Al-Hakim berhasil menumpas gerakan tersebut, menghancurkan perkampungan mereka sampai rata, termasuk masjid-masjid yang ada di dalamnya, serta mengusir para pemberontak keluar dari Andalusia. Sebagian dari mereka bermigrasi ke Fez, Maroko, dan menetap di sebuah lokasi yang kemudian dikenal sebagai Medinatu-l-Andalusiin. Sebagian lainnya bermigrasi lebih jauh dan mencari peruntungan mereka di kota Aleksandria, Mesir.3
Orang-orang Andalusia yang bermigrasi ke Aleksandria jumlahnya cukup banyak. Para sejarawan menyebutkan jumlah yang bervariasi antara 3000 hingga 15.000 orang. Mereka dipimpin oleh Abu Hafs Umar al-Andalusi al-Balluti, yang berasal dari Fahs al-Ballut, sebuah wilayah di Cordova.4 Kota Aleksandria ketika itu sedang mengalami ketidakstabilan politik. Bersama dengan penduduk setempat para migran Andalusia ini kemudian mendirikan sebuah republik kecil di kota itu. Mereka menjalankan pemerintahan di sana selama kurang lebih 12 tahun.
Pada tahun 827, Dinasti Abbasiyah menunjuk seorang gubernur baru, Abdullah ibn Tahir, untuk menertibkan kembali wilayah Mesir. Ibn Tahir mengepung Aleksandria dan berhasil mengalahkan para migran Andalusia ini. Ibn Tahir memberikan jaminan bagi mereka untuk keluar dari Aleksandria dengan aman dengan syarat mereka tidak membawa serta penduduk Mesir, tidak membawa budak, dan tidak mendaratkan kapal mereka di wilayah kekhalifahan Islam (Dinasti Abbasiyah).5 Syarat ini disetujui dan mereka pun berangkat dengan kapal-kapal mereka menuju Pulau Kreta.
Pada masa itu orang-orang Arab Muslim menyebut Pulau Kreta dengan nama Ikritish. Pulau itu terkenal sebagai penghasil susu, keju, dan madu yang baik. Dua yang terakhir ini merupakan produk-produk yang diekspor ke Mesir. Pulau Kreta juga merupakan penghasil delima, damar wangi, antimon, dan kacang walnut dan hazelnut. Perdagangan ekspor-impor merupakan aktivitas yang cukup menonjol di sana.
Ketika Abu Hafs dan anak buahnya tiba Pulau Kreta, diceritakan bahwa ia memerintahkan kapal-kapal yang membawa mereka untuk dibakar. Ketika muncul protes, Abu Hafs menegaskan bahwa mereka tidak semestinya mengeluh karena mereka telah sampai di tanah yang berlimpah susu dan madu.’ Pulau Kreta akan menjadi negeri mereka yang sesungguhnya. Mereka bisa menikahi penduduk setempat dan membangun sebuah generasi baru.6 Terlepas dari perbedaan pendapat apakah kisah ini merupakan fakta sejarah atau hanya cerita yang bercampur dengan legenda, kaum migran dari Andalusia ini kemudian memang menetap di pulau itu dan membangun generasi baru di sana.
Mereka menjadikan wilayah pendaratan mereka sebagai basis pertahanan dan membangun parit perlindungan (khandaq, dalam bahasa Arab) di sekelilingnya. Tempat ini kemudian menjadi ibukota keemiran Islam dan diberi nama al-Khandaq. Orang-orang Yunani menyebut kota tersebut Chandax dan nama itu kemudian berubah menjadi Candia, yang merupakan bentuk terkorupsi dari kata khandaq. Lokasinya kurang lebih sama dengan kota Herakleion sekarang ini. Abu Hafs dan para pengikutnya tidak menghadapi banyak rintangan dalam menguasai pulau tersebut. Byzantium sedang menghadapi persoalan internal sehingga tidak bisa mengirimkan pasukan untuk mempertahankan pulau itu. Selain itu, tidak ada resistensi dari masyarakat Kristen setempat yang rupanya memendam tidak puas terhadap penguasa Byzantium.
Sejak saat itu, berbagai serangan sering dilakukan oleh pasukan muslim Pulau Kreta terhadap daerah kekuasaan Byzantium yang berdekatan. Armada yang dikirim kekaisaran Byzantium untuk merebut pulau itu tidak membuahkan hasil. Pulau Kreta tumbuh menjadi duri bagi kekaisaran Romawi Timur itu. Penaklukkan Sisilia yang dipimpin oleh Asad ibn al-Furat juga rupanya terjadi atas dukungan kaum muslimin di Kreta yang menyediakan tempat bersinggah di pulau itu bagi Ibn al-Furat dan pasukannya sebelum mereka masuk ke Sisilia.7
Walaupun Pulau Kreta sejak saat itu terus menerus berada dalam konflik dan peperangan dengan Byzantium, tetapi masyarakat di pulau itu sendiri hidup berdampingan secara damai dan toleran. Pulau Kreta di bawah pemerintahan Islam memiliki kebudayaan urban yang sangat berkembang.8 Pada masa-masa ini, Kreta membangun hubungan ekonomi dan budaya dengan Andalusia, walaupun secara politik mereka lebih berkiblat pada Dinasti Abbasiyyah. Ibukotanya merupakan pusat intelektual yang cukup penting.9 Sayangnya tidak banyak sumber-sumber yang mencatat dengan baik sejarah keemiran Pulau Kreta serta prestasi-prestasi yang ada di sana. Sejarahnya hanya muncul sebagai suatu catatan pinggir tentang kisah pemberontakan di wilayah Islam yang berhasil diatasi dan para pelakunya disingkirkan ke wilayah lain, atau sebagai pengacau wilayah Byzantium yang telah mengganggu wilayah-wilayah kekaisaran tersebut selama satu abad lebih.
Kepemimpinan Pulau Kreta setelah Abu Hafs Umar al-Balluti diteruskan oleh keturunannya, yang seluruhnya kurang lebih mencapai sepuluh orang emir.10 Setelah 134 tahun berada di bawah kendali muslim, pada tahun 961 Byzantium di bawah kepemimpinan Nicephorus Pochas menginvasi pulau itu. Upaya sultan terakhir Pulau Kreta, Abd al-Aziz, meminta bantuan pada pemimpin muslim di Syria dan Dinasti Fatimiyah di Afrika Utara, serta upaya dua pihak yang terakhir ini untuk membantu, tidak membuahkan hasil. Pulau itu pada akhirnya jatuh ke tangan Byzantium. Bersama dengan penaklukkan Byzantium tersebut, kota-kota dihancurkan, kaum Muslimin dibunuh atau dijadikan tawanan, masjid-masjid dimusnahkan, dan kitab-kitab al-Qur’an dibakar. Kaum muslimin yang masih tersisa di pulau itu dipaksa masuk Kristen. Secara bertahap kaum muslimin lenyap dari pulau itu. Jatuhnya Pulau Kreta dan kekerasan terhadap muslim di sana menimbulkan ledakan kemarahan di Mesir yang menyebabkan jatuh korban di kalangan komunitas Kristen negeri itu.11 Tapi kemarahan yang bersifat reaktif itu tentu saja tidak berkelanjutan dan tidak mendorong dilakukannya penghapusan orang-orang Kristen di Mesir seperti yang dilakukan pihak Byzantium terhadap kaum muslimin di Pulau Kreta.
Sejak saat itu, Pulau Kreta kembali berada di bawah kendali Byzantium, dan pada masa Perang Salib jatuh ke tangan Venesia untuk beberapa saat lamanya. Bagaimanapun, sejarah Islam di pulau itu rupanya belum betul-betul berakhir. Pada pertengahan abad ke-17 pulau itu dikuasai oleh Turki Utsmani. Pulau Kreta tetap berada di pangkuan Turki Utsmani selama kurang lebih dua abad. Ketika kekhalifahan yang terakhir itu semakin lemah pada abad ke-19, banyak wilayah di bawahnya yang memberontak dan hendak memisahkan diri, termasuk di antaranya Yunani dan Kreta. Pulau Kreta benar-benar memisahkan diri dan bergabung dengan Yunani bersamaan dengan terjadinya Perang Dunia Pertama.
Kaum muslimin telah dua kali masuk ke Pulau Kreta, dan dua kali pula mereka keluar dari pulau itu. Adakah mereka akan kembali ke pulau itu untuk yang ketiga kalinya suatu hari nanti? Wallahu a’lam. [Kuala Lumpur, 18 Rabi al-Akhir 1431, 2 April 2010/www.hidayatullah.com]
Penulis adalah kolumnis www.hidayatullah.com, kini sedang mengambil program doktoral bidang sejarah di Universiti Islam Antarabangsa, Malaysia
ilustrasi:Peter M. Wilson/CORBIS
Sumber:
[1] Untuk upaya-upaya awal penaklukkan pulau ini lihat Dr. Ismat Ghanīm, Al-Imbirātūriya al-Bīzanţiya wa Krīt al-Islāmiya, Dār al-Majma’ al-’Alami, 1977, hlm. 33-34. Menurut buku ini, serangan ke Pulau Kreta oleh Kekhalifahan Islam terjadi untuk pertama kalinya pada masa pemerintahan Muawiyya ibn Abi Sufyan pada tahun 674 (54 H).
[2] Hamilton A.R. Gibb, Studies on the Civilization of Islam, Princeton: Princeton University Press, 1982, hlm. 48.
[3] Ahmed ibn Mohammed al-Makkari, The History of the Mohammedan Dynasties in Spain, vol. II (extracted from Nahfu-t-Tib min Ghusni-l-Andalusi-r-Rattib wa Tarikh Lisanu-d-Din Ibni-l-Khattib), Delhi: Idarah-I Adabiyat-I Delli, 1984, hlm. 102-103.
[4] M. Canard, ‘Ikritish,’ dalam The Encyclopaedia of Islam, new edition, vol. III, Leiden: E.J. Brill, 1979, hlm. 1082-1083; E. Levi-Provencal, ‘Abu Hafs ‘Umar b. Shu’ayb al-Balluti,’ dalam The Encyclopaedia of Islam, new edition, vol. I, hlm. 121. Lihat juga Dr. Ismat Ghanīm, Al-Imbirātūriya, hlm. 38-39.
[5] M. Canard, ‘Ikritish,’ hlm. 1083; Dr. Ismat Ghanīm, Al-Imbirātūriya, hlm. 40.
[6] Muhammad Abdullah Enan, Decisive Moments in the History of Islam, Delhi: Idarah-I Adabiyat-I Delli, 1983, hlm. 76-77.
[7] M. Canard, ‘Ikritish,’ hlm. 1083; Muhammad Abdullah Enan, Decisive Moments, hlm. 77.
[8] Alexander P. Kazhdan (ed.), The Oxford Dictionary of Byzantium, vol. 1 (Aaro-Eski), New York: Oxford University Press, 1991, hlm. 546.
[9] E. Levi-Provencal, ‘Abu Hafs,’ hlm. 121.
[10] Lhat daftarnya pada M. Canard, ‘Ikritish,’ hlm. 1085.
[11] Ibid., hlm. 1084-1085.