Kamis, 4 Jumadil Awwal 1446 H / 25 Februari 2010 12:06 wib
2.823 views
Dari Moshaddeq Sampai Mount Carmel
Oleh: Amran Nasution
Hidayatullah.com--Hiruk-pikuk UU Penodaan Agama terus menjadi hiasan media massa. Kasus ini mengingatkan kita pada urusan nabi palsu Ahmad Mushaddeg dan kelompok al-Qiyadah al-Islamiyah. Namun kasus ketika itu cepat mencapai antiklimaks. Jumat, 9 November 2007, Moshaddeg bertobat, menyadari kekhilafannya mengaku nabi, sekalian minta maaf kepada ummat Islam yang perasaannya ia cederai.
Di hadapan sejumlah pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI), di Polda Metro Jaya, tempat ia ditahan, nabi palsu itu membacakan pernyataan tertulis, antara lain, meminta semua pengikutnya bertobat pula. Dengan demikian, hiruk-pikuk segera mengempes.
Lagi pula kasus nabi palsu, malaikat palsu, bahkan Tuhan palsu, sesungguhnya bukan gejala baru. Juga bukan cuma terjadi di sini. Itu sudah dikenal hampir sepanjang sejarah agama-agama, dan terjadi di mana saja, menyangkut agama apa saja.
Polisi menangani kasus hukumnya sesuai peraturan atau undang-undang yang berlaku. Klaim Moshaddeg sebagai nabi, lalu mengubah syahadat seenaknya – sesuatu yang paling prinsipil di dalam Islam – tentu harus berhadapan dengan pasal-pasal hukum. Apalagi itu sempat menimbulkan kemarahan di mana-mana.
Di beberapa tempat, ummat sempat merusak bangunan milik anggota kelompok Al-Qiyadah. Itu memang harus disesalkan. Tapi, menyusul taubatnya Mosaddeg, suasana terlihat begitu cepat mencair. Mungkin betul apa yang dikatakan sementara pengamat bahwa orang Indonesia itu mudah marah, mudah pula memaafkan.
Yang tersisa sekarang, adalah perdebatan sejumlah orang yang meletakkan kebebasan di atas segalanya, melawan kelompok Islam yang meyakini Allah di atas segalanya. Untuk kelompok kedua, jelas bahwa keyakinan kepada Allah tak bisa ditawar. Kalau bisa dikurangi, bukan keyakinan lagi namanya.
Tapi kebebasan? Perdana Menteri Malaysia dulu, Mahatir Mohammad, memberi contoh yang tepat, betapa kebebasan itu memang harus terbatas. ’’Kalau dengan dalih kebebasan, orang bertelanjang bulat di tempat umum, polisi akan menangkapnya,’’ katanya dalam beberapa kesempatan. Artinya, dalam tafsir Mahatir, kebebasan seseorang tak boleh kebablasan mengganggu orang lain, tak boleh pula melanggar hukum yang ada. Klop.
Nyatanya bagi kaum Liberal, kebebasan sudah setingkat agama. Maka penulis dari Oxford, Inggris, Richard Webster, dalam buku A Brief History of Blasphemy (The Orwel Press, 1990), menyebutkan bahwa konflik yang terjadi di pengujung 1980-an, menyusul terbitnya novel Salman Rushdie, the Satanic Verses (Ayat-ayat Setan), bukanlah antara otoritarianisme dengan kebebasan – seperti dikampanyekan kaum Liberal di seluruh dunia waktu itu. Tapi antara dua bentuk kekakuan sikap (rigidity). Dua bentuk dari fundamentalisme. Mau lebih jelas maksudnya: agama Islam versus agama Liberal.
Intelektual Liberal, menurut Webster, sering kali gagal memahami sejarah puritanisme dan munculnya sikap refresif dari doktrin kebebasan mereka. Dengan ini, Richard Webster hendak mengatakan bahwa the Satanic Verses – dengan sangat kasar dan brutal menyerang Islam – adalah bentuk serangan yang disengaja dari kelompok Liberal terhadap Islam, demi doktrin kebebasan.
Di Belanda, Ayaan Hirsi Ali, perempuan asal Somalia, dipuja-puji karena menyerang Islam seenaknya. Ia memperoleh berbagai fasilitas, bahkan entah bagaimana caranya, perempuan itu sempat menjadi anggota Parlemen Belanda.
Belakangan, ia merepotkan Pemerintah setempat. Ternyata, ketika masuk ke negeri itu, 1992, ia menggunakan data palsu. Perempuan itu terbukti menipu maka paspornya dicabut. Berkat perjuangan gigih pendukungnya, paspor diberikan kembali. Tapi ia harus mundur dari Parlemen pada 2006 (The New York Times, 4 Oktober 2007).
Mulai kurang laku di Belanda, ia pindah ke Amerika. Ia diterima dengan tangan terbuka oleh the American Enterprise Institute, lembaga tink-tank milik kelompok neo-conservative (neo-con) di Washington. Institut yang tergabung dalam lobi Israel ini dulu paling getol berkampanye menyerang Iraq, kini menyerang Iran, Suriah, atau Pakistan.
Meski terbukti penipu, lembaga itu rupanya butuh Hirsi, tentu karena bisa dipakai menyerang Islam. Maka terbitlah buku Infidel (Kafir), kisah hidupnya yang ia tulis sendiri (Free Press, 2007). Entah berapa persen isi buku yang bisa dipercaya. Yang pasti, dollar pun mengalir deras ke koceknya.
Sekarang dia terlibat konflik dengan Pemerintah Belanda, soal uang pembayaran body-guard, pengawal pribadi. Ia merasa terancam sejak temannya, Van Gogh, mati ditusuk seorang pemuda Islam di Belanda. Warga Belanda ini bersama Hirsi sedang membuat film untuk memaki-maki Islam. Sejak itu ia selalu dikawal aparat keamanan.
Di Amerika, ia memilih pengawal pribadi sendiri dan mengklaim pembayarannya yang mahal kepada Pemerintah Belanda. Ketika klaim ditolak, Hirsi pun ribut ke mana-mana.
Dalam kasus ’’Nabi’’ Moshaddeg, yang diserang adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI), karena kumpulan para ulama itu mengeluarkan fatwa bahwa aliran Moshaddeg sesat. Selanjutnya aparat pemerintah dituduh membatasi kebebasan individu warga negara, dengan menangkap Moshaddeg.
Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta, misalnya, menyesalkan MUI terlalu peka urusan akidah, yang menurutnya adalah urusan privat. Doktor lulusan Turki ini, lebih suka kalau MUI mengurusi rel kereta api (Majalah TEMPO, 11 November 2007). Aneh kan?
Bahkan Rocky Gerung, pengajar filsafat UI, ikut-ikutan menyerang fatwa MUI, walau hampir dipastikan dia tak sedang melakukan studi tentang organisasi para ulama itu. ’’Di masyarakat bawah fatwa itu dapat diterjemahkan, ada yang lain tak berhak ada,’’ katanya (KOMPAS, 11 November 2007).
Ulil Abshar Abdalla, Ketua Jaringan Islam Liberal, idem. Di edisi TEMPO pernah mengecam reaksi MUI atau ormas Islam Muhammadiyah dan NU. Katanya, seseorang tak bisa dipaksa memeluk suatu keyakinan dan agama yang tak sesuai dengan kata hati.
Tentu pernyataan normatif itu betul. Tapi di luar konteks. Sebab persoalan dari kasus Moshaddeg adalah mengubah syahadat, Rasul baru, sholat tak wajib, dan sebagainya, yang tentu menyalahi prinsip Islam yang disepakati para ulama. Tak ada urusan paksa-memaksa di sini.
Kalau Moshaddeg membuat agama baru yang tak dia kaitkan dengan Islam, apakah namanya Progresif, Liberal, atau Neocon, lalu dia susun ajarannya sesuka hati, pasti tak ada yang keberatan, apalagi membuat fatwa. Paling dia dianggap gila, atau orang salah jalan yang harus didakwahi.
Sebenarnya, keberatan, protes, atau marah, ketika agama yang dia muliakan dihina, bukan monopoli ummat Islam, apalagi ummat Islam Indonesia. Karena itulah di banyak negara Eropa atau negara bagian di Amerika Serikat, sejak lama dibuat undang-undang tentang tindak kriminalitas terhadap blasphemy atau penistaan agama, yang mengancam hukuman pidana untuk perbuatan menghina Tuhan dan agama.
A Brief History of Blasphemy menulis bahwa undang-undang itu sesungguhnya punya akar yang dalam di Eropa, karena sejarahnya yang panjang, sejak awal abad pertengahan. Tujuannya, menjaga kemurnian gereja dari ajaran atau aliran sesat.
Gerakan membasmi aliran yang menyimpang meningkat setelah Paus mengeluarkan Dominican Order pada tahun 1232, yang membentuk kelompok Dominicanes untuk mengusut -- populer sebagai inquisition -- dan memburu kaum sempalan atau pemalsu ajaran Kristen.
Bertambah lama, kelompok Dominicanes bertambah besar dan menjadi sebuah institusi penting dalam sejarah Eropa. Ketika itu hukuman terhadap para pemalsu adalah mati, dan korbannya cukup banyak. Martin Luther, sang reformis, termasuk tokoh yang aktif dalam sejarah blasphemy di abad ke-16.
Jadi fatwa hukuman mati untuk Salman Rushdie, Februari 1989, oleh Ayatullah Khomeini, pemimpin tertinggi Iran, sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru atau aneh bagi sejarah Kristen dan Eropa. Jadi kalau fatwa itu dikecam di Barat – bahkan Rushdie dijadikan pahlawan, dapat gelar dari Ratu Inggris segala -- itu soal lain lagi.
Memang kemudian proses yang panjang menyebabkan terjadi perubahan di sana-sini. Sekarang, kejahatan atas blasphemy hanya pidana biasa. Lebih kurang samalah dengan undang-undang penistaan agama di Indonesia.
Hanya perlu dicatat, di sini undang-undang itu tak cuma berlaku untuk menista Islam, agama mayoritas. Tapi juga Kristen, Katolik, Hindu, Budha, bahkan Khong Hucu. Di Eropa mau pun Amerika, ia sektarian. Undang-undang itu hanya berlaku untuk penghinaan terhadap Kristen. Agama lain tak dipedulikan, silahkan dinista.
Itulah yang terjadi, ketika Islam diinjak-injak Salman Rushdie dengan Ayat-ayat Setan-nya. Sejumlah organisasi Islam di Inggris menuntut ke pengadilan. Tuntutan ditolak hakim dengan dalih undang-undang itu hanya melindungi Gereja Inggris (the Church of England).
Orang Barat itu selalu menganut standar ganda, tapi tak malu-malunya mengajari kita tentang hak persamaan dan kebebasan, terutama melalui agennya yang sawo matang, yang berkeliaran di sini.
Namun yang pasti undang-undang itu masih tetap berlaku di sana, sekali pun berbagai usaha untuk menghapuskannya terus dilakukan oleh para seniman atau aktivis HAM. Bahkan ia tetap awet bertahan, walau pun pada 1998, muncul Human Rights Act, undang-undang tentang HAM. Memang penggunaannya sangat selektif, atau bahkan suatu saat seakan sudah dipingsankan.
Tapi nyatanya pada 1977, pengadilan Inggris mengadili majalah Gay News, karena memuat puisi James Kirkup. Puisi itu dituduh menempatkan Jesus sebagai objek cinta.
Undang-undang Blasphemy bukan satu-satunya cara. Pada 1976, sutradara Denmark, Jens Jorgen Thorsen, hendak membuat film The Many Faces of Jesus, di Inggris. Film itu bercerita tentang kehidupan seks Jesus.
Reaksi keras bermunculan. Bukan cuma dari para aktivis Gereja, tapi dari Ratu Inggris, Perdana Menteri James Callagan, dan Uskup Agung Canterbury, Donald Coggan. Akhirnya, rencana itu pun hilang begitu saja.
Ada lagi sejumlah peristiwa yang mirip. Salah satu, adalah kasus the Penguin, penerbit terkenal itu. Pada 1967, penerbit itu siap meluncurkan buku Massacre, ditulis Malcolm Muggeridge. Tiba-tiba, suatu malam, Allen Lane, sang pemilik, muncul ke gudang: seluruh buku yang sudah siap cetak ia bakar habis.
Lane sebenarnya bukan aktivis Gereja. Tapi dia pusing karena mendapat protes dari kawan, langganan, dan kerabatnya, yang menuduh buku itu menghina Kristen, blasphemy.
Yang menarik, the Penguin adalah juga penerbit the Satanic Verses. Inilah sikap sektarian dan standar ganda yang amat nyata dari orang Inggris itu. Massacre dibakarnya karena menghina Kristen, tapi the Satanic Verses yang menghina Islam tidak. Malah novel itu dan penulisnya dipromosikan besar-besaran dengan dalih kebebasan berkreasi, kebebasan berbicara, dan bla... bla... bla lainnya.
Bagaimana Amerika, negara eksportir demokrasi itu? Di sini lebih seru, tapi caranya lebih canggih. Meski undang-undang blasphemy masih ada, dilihat dari beberapa kasus sempalan agama, ia tak digunakan. Tapi dicarikan delik pidana yang ancaman hukumannya lebih berat, semisal penggelapan pajak dan pemakaian senjata api. Di sini peran intelijen diperlukan.
Sebutlah kasus bunuh diri massal aliran the Peoples Temple (Kuil Rakyat) yang dipimpin Pendeta Jim Jones, tamatan Indiana University di Bloomington, Indiana.
Pada 1964, Jones membangun gereja sendiri di Indianapolis, dan mulai menyebarkan ajaran yang menekankan persamaan hak pada kulit hitam, dan keadilan sosial. Tak aneh bila jemaahnya kebanyakan orang hitam.
Ia dan kelompoknya kemudian pindah ke Redwood Valley, California. Alasannya, untuk mencari daerah aman dari perang nuklir yang segera meletus. Pada waktu itu, memang perang dingin antara blok Barat pimpinan Amerika Serikat dan blok Timur pimpinan Uni Soviet, sedang menghangat. Perang nuklir menjadi ancaman.
Ternyata pengikutnya tambah banyak, dan lama kelamaan meresahkan rezim, selain Gereja. Apalagi pendeta itu menggaku titisan Jesus. Pengusutan dilakukan. Ditemukanlah kasus pengelakan pajak.
Karena pengusutan itu, Jim Jones dan ratusan pengikutnya – 70% orang hitam – pada 1977, pindah ke Guyana, negara yang terletak di tepi Samudera Atlantik, Amerika Latin. Itulah satu-satunya negeri berbahasa Inggris di kawasan berbahasa Spanyol itu.
Di sana, di sebuah daerah terpencil, mereka membangun gereja dan pemukiman sendiri, yang dinamakan Jonestown, kota Jones. Mereka mengembangkan pertanian, menjalani kehidupan sesuai prinsip sosialisme ajaran Pendeta Jim Jones.
Ternyata mereka tetap tak dibiarkan. Pada 15 November 1978, perkampungan terpencil itu didatangi anggota Kongres Leo Ryan, didampingi sejumlah wartawan dan anggota CIA. Mereka diutus Kongres sebagai misi pencari fakta dan sebenarnya diterima dengan baik oleh Pendeta Jones.
Selama tiga hari di sana, Leo Ryan dan rombongan ternyata melakukan dakwah untuk menyadarkan anggota komunitas. Mereka berhasil mempengaruhi beberapa jemaah, tapi menimbulkan kemarahan jemaah lainnya.
Rombongan melarikan diri ke lapangan terbang kecil, tempat pesawat terbang mereka diparkir. Namun mereka ditemukan kelompok jemaah yang marah, terjadilah tembak-menembak. Leo Ryan, beberapa anggota rombongannya, serta jemaah, tewas.
Sementara itu, di tengah ketegangan suasana, Pendeta Jones memerintahkan seluruh komunitasnya melakukan bunuh diri dengan meminum racun sianida yang telah disiapkan. Selama ini, sang pendeta mengajarkan, hanya dengan bunuh diri mereka mencapai surga, selamat dari ancaman perang nuklir.
Sungguh amat mengerikan. Hari itu, 908 jemaah Peoples Temple – 276 di antaranya anak-anak – mati bergeletakan di perkampungan, termasuk Pendeta Jim Jones.
Peristiwa lain yang tak kurang mengerikan, kasus Pendeta David Koresh, pemimpin the Branch Davidian alias Sekte Cabang David di Mount Carmel, Waco, Texas.
Pada 19 April 1993, pengepungan selama 51 hari oleh sekitar 75 anggota FBI – polisi federal Amerika – berakhir dengan hujan peluru di kompleks seluas 30 ha itu. Perumahan itu meledak dan terbakar habis, diduga karena sejenis tabung gas yang dilemparkan ke dalam rumah untuk mengusir penghuni ke luar.
Pendeta David Koresh dan 80-an pengikutnya – termasuk wanita dan 27 anak-anak -- hangus terbakar. Mayat pendeta itu baru bisa dikenali melalui pemeriksaan laboratorium.
Mirip kasus Jim Jones, Pendeta Koresh dianggap mengajarkan Kristen menyimpang. Dia menggaku nabi yang mendapat wahyu dan bisa berbicara dengan Tuhan.
Mirip pula dengan kelompok Jim Jones, FBI mengusut mereka karena kasus pidana, tentang senjata api gelap. Ketika itu sejumlah polisi mendatangi kompleks terpencil itu mengantarkan surat panggilan untuk sang nabi. Pengikutnya marah, merasa nabi mereka direndahkan polisi. Terjadi tembak-menembak, yang menggakibatkan beberapa jemaah dan polisi tewas. Sejak itulah kompleks Mount Carmel dikepung FBI.
Peristiwa ini sempat lama menjadi perdebatan. FBI dianggap berlebihan, istilah krennya sekarang, melanggar HAM. Sejumlah buku, film dokumenter, dan tulisan koran diterbitkan. Pengadilan digelar. Tapi sampai sekarang tak satu polisi pun yang ditindak. Orang Amerika tampaknya tahu sama tahulah kenapa peristiwa itu terjadi.
Tapi persis dua tahun kemudian, 19 April 1995, sebuah bom meledakkan gedung federal di Oklahoma City, merampas nyawa 168 orang tak bersalah – termasuk perempuan dan anak-anak.
Pelakunya, belakangan diketahui adalah Timothy McVeigh, orang kulit putih warga Amerika. Sebelumnya, karena prasangka rasial, polisi menangkap sejumlah orang Arab.
Dari dalam sel tahanan, McVeigh menulis surat bahwa tindakan itu adalah pembalasan atas apa yang telah dilakukan pemerintah di Mount Carmel, Waco. Karena itu aksinya dilakukan 19 April, tepat pada hari Waco dibakar FBI.
Di depan pengadilan, dia bungkem seribu bahasa. Hakim memintanya bicara sebelum dijatuhi hukuman mati. Dia menulis kutipan ini, ‘’Pemerintah punya pengaruh yang sangat besar, menjadi guru di mana-mana. Untuk baik dan jahat, ia mengajari semua orang dengan contoh perbuatannya’’ (lihat Mahmood Mamdani, ’’Good Muslim, Bad Muslim’’, Three Leaves Press, 2005). Ia mau mengatakan, peristiwa Oklahoma hanya mencontoh perbuatan polisi di Mount Carmel.
Syukurlah, berbagai peristiwa mengerikan di Amerika dalam kasus penyimpangan agama, belum pernah tejadi di sini. Seringkali malah aparat Pemerintah ragu-ragu bertindak karena pers arus utama selalu mendukung suara kaum Liberal. Padahal undang-undang sudah cukup jelas.
Ujungnya, ummat yang marah terjebak main hakim sendiri. Mereka pun jadi korban kecaman kaum Liberal, disebar-luaskan pers yang senantiasa berpihak. [www.hidayatullah.com]
* Penulis adalah mantan Redaktur GATRA dan TEMPO. Kini, bergabung dengan IPS (Institute for Policy Studies) Jakarta. Tulisan ini pernah dimuat di www.hidayatullah.com Jumat, 23 November 2007. Dimuat ulang untuk kepentingan aktualitas
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!