Dengan wajah sumringah Wakil Ketua DPR Anis Mata di depan puluhan wartawan yang mengerubunginya menyampaikan hasil rapat pimpinan DPR (7/4) terkait jadi tidaknya pembangunan gedung baru DPR yang penuh kontroversial.
“Kita baru saja membahas rencana pembangunan gedung baru DPR. Sebagaimana kita pernah menunda pembangunan gedung untuk dilanjutkan tahun 2011. Teman-teman fraksi mayoritas menyetujui pembangunan gedung baru dilanjutkan,” ujar Anis. Dia menambahkan, hanya ada 2 fraksi yang menyatakan menolak pembangunan gedung baru DPR, yaitu PAN dan Gerindra, sedangkan fraksi lainnya, termasuk PKS tempat dimana dirinya berasal, secara bulat menyetujui pembangunan gedung baru tersebut.
Sikap DPR ini jelas konyol dan tak tahu malu. Di tengah utang pemerintah yang kian hari kian menggunung, di tengah lautan penderitaan rakyat banyak yang untuk bisa makan nasi sehari sekali saja sulit, di tengah kemiskinan yang menggila di seluruh penjuru negeri, para anggota DPR ini dengan seenak udelnya mengalokasikan uang rakyat dalam jumlah triliunan rupiah demi membuat kepentingan mereka sendiri.
Bukan rahasia umum lagi jika proyek-proyek seperti ini sarat dengan kolusi dan korupsi. Namun bagi para pejabat tersebut, soal halal haram bukan lagi ukuran. Mereka berpameo, “Cari yang haram saja sulit, buat apa susah payah cari yang halal…”
Terlepas dari desain gedung baru DPR yang selaras dengan rancang-bangun desain bangunan Kabbalistis, rencana ini memang benar-benar keterlaluan bejatnya, sehingga tak ada yang salah ketika banyak orang mengamini ketika ada yang berharap agar lembaga DPR itu dibubarkan saja.
Atau ada pula yang di dalam status Facebooknya berdoa agar setelah gedung itu dibangun dan dipakai, roboh, agar semua anggota DPR terkubur hidup-hidup di dalamnya. Terdengar jahat, memang. Namun jauh lebih jahat sikap dan perilaku anggota DPR itu yang selalu saja menggarong uang rakyat lewat berbagai “kebijakan” yang sama sekali tidak bijak.
Tumbangnya Presiden Suharto ternyata tidak serta merta menumbangkan sistem jahat yang diciptakannya. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme jalan terus. Malah semakin hari semakin terang-terangan.
Teman saya, perwira menengah TNI dan anak seorang duta besar yang masih aktif di sebuah negara Eropa Timur, punya sebuah perusahaan kontraktor bangunan. Beberapa hari lalu, dia bercerita kepada saya dan mengatakan jika dia sudah muak bekerja dengan aparat birokrasi, baik tingkat pusat maupun daerah.
“Sekarang memang tambah edan, Mas. Sebagai kontraktor proyek, kita hanya mendapat 20% anggaran, sedangkan 80%-nya diambil para pejabatnya,” ujarnya geram. Sekarang, dia mengaku hanya ‘bermain’ di proyek menengah-bawah karena lebih nyaman dan tidak bersinggungan dengan para pejabat birokrasi yang teramat rakus dan korup.
Bukan Demokrasi, Tapi Oligarkhi
Kalau mau jujur, Indonesia sesungguhnya bukan negara demokratis, namun oligarkhis. Oligarkhis adalah negara yang dikuasai oleh segerombolan orang yang memiliki kepentingan tertentu demi kelompoknya saja. Atau menurut Wikipedia, “Oligarkhi (berasal dari bahasa Yunani: Oligarkhía) adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer. Kata ini berasal dari kata bahasa Yunani untuk "sedikit" (óligon) dan "memerintah" (arkho).”
Sistem yang berlaku di Indonesia sejak lama adalah Oligarkhi, di mana partai politik menjadi kendaraan yang sangat efektif menuju kursi kekuasaan. Sebab itu, sekarang ini salah satu trend yang menggila adalah beramai-ramai masuk partai politik. Dari artis hingga ustadz, yang bernafsu ingin cepat kaya (baca: hidup penuh kesejahteraan), dan tentu saja dengan kekayaan yang ada bisa menambah koleksi isteri misalnya, berlomba-lomba menjadi tokoh yang dicalonkan partainya.
Mereka menyetor sejumlah uang (ada juga yang mengistilahkan sebagai istilah mahar politik), tentu saja banyak, agar bisa dicalonkan sebagai calon anggota DPR, DPRD, Bupati, Walikota, Gubernur, dan sebagainya. Semakin tinggi suatu jabatan yang ingin diraih, maka semakin banyak jumlah uang yang harus disetorkan kepada partainya. Sebab itu tidak aneh jika setelah berhasil menjabat, maka mereka akan bekerja keras mengkorupsi anggaran yang ada, agar bisa balik modal, dan menghimpun modal lagi untuk masa lima tahun ke depannya lagi.
Kelakuan angota DPR adalah contoh nyata brengseknya para pejabat kita. Apakah mereka tidak malu jika rakyat nantinya mengganti menyebut mereka tidak lagi sebagai “Anggota Dewan Yang Terhormat”, namun menjadi “Anggota Dewan Yang Terlaknat”? [rz]