Oleh Hartono Ahmad Jaiz*
Seorang ustadz terkemuka yang mengasuh pengajian di Bogor sangat kecewa. Pasalnya, pengajian yang dipimpinnya “dicatut” namanya, hingga terkesan bahwa jamaah ibu-ibu dari pengajian itu adalah pengikut pengajian lintas agama di TVRI, Maret 2011.
Apa yang disebut Pengajian Lintas Agama TVRI nasional itu membahas soal symbol agama.
Rohaniwan Katolik Franz Magnis Suseno dan dosen tasawuf/mistik UIN Jakarta Kautsar Azhari Noer menggiring aqidah ummat kepada penyamaan antara Kristen-Katolik, Islam dan lainnya.
Betapa tidak gusar. Ustadz di Bogor itu membimbing kaum ibu agar sedikit demi sedikit mereka faham mengenai aqidah (keyakinan) Islam. Tahu-tahu, nama pengajiannya dikesankan ikut dalam pengajian lintas agama yang maknanya adalah kemusyrikan baru.
Masyarakat awam tidak faham bahwa yang namanya lintas agama, pluralisme agama dan aqidah kaum liberal itu sejatinya adalah bentuk baru dari kemusyrikan. Namun karena tidak memakai istilah Islam, maka Ummat Islam tidak faham.
Liberalisasi agama itu sendiri maknanya adalah menganggap semua agama itu relative benarnya. Ketika anggapannya seperti itu, maka otomatis telah membatalkan ayat Al-Qur’an:
الم (1) ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ [البقرة/1، 2]
Alif laam miin. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (QS. Al-Baqarah [2] : 1-2)
Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan apapun di dalamnya, itu artinya benar mutlak. Sama sekali tidak ada keraguan di dalamnya. Ketika kaum liberal merelatifkan Islam, relative sama benarnya dengan agama-agama lain, maka otomatis telah membatalkan keabsolutan benarnya Al-Qur’an itu. Ketika membatalkan satu ayat dari Al-Qur’an, berarti membatalkan seluruh ayatnya.
Lebih parah lagi ketika kaum liberal dengan dagangan yang mereka asongkan berupa lafal lintas agama atau pluralisme agama yang ujung-ujungnya adalah menyamakan semua agama, semua menuju pada keselamatan, hanya beda teknis, dan kita tidak boleh memandang agama lain pakai agama yang kita peluk; maka itu adalah membuyarkan kebenaran Islam.
Kenapa membuyarkan?
Karena Islam telah memilah-milah secara terinci, mana yang iman, mana yang kafir, dan mana yang munafiq (menampakkan dirinya beriman padahal hatinya kafir). Semua itu mengandung resiko masing-masing. Yang beriman maka akan masuk surga, yang kafir kekal di neraka, dan yang munafik kelak di kerak neraka yang paling bawah.
Untuk orang beriman:
إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلًا (107) خَالِدِينَ فِيهَا لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلًا [الكهف/107، 108]
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya. (QS. Al-Kahfi [18] : 107-108)
Untuk orang kafir:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ [البينة/6]
Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. (QS. Al-Bayyinah [98] : 6)
Untuk orang munafiq:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا (145) إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَاعْتَصَمُوا بِاللَّهِ وَأَخْلَصُوا دِينَهُمْ لِلَّهِ فَأُولَئِكَ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ أَجْرًا عَظِيمًا [النساء/145، 146]
Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan [369] dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar. (QS An-Nisaa’ [4] : 145-146)
[369]. Mengadakan perbaikan berarti berbuat pekerjaan-pekerjaan yang baik untuk menghilangkan akibat-akibat yang jelek dan kesalahan-kesalahan yang dilakukan.
Itu semua sudah ditentukan pengertiannya secara pasti berdasarkan wahyu yang disampaikan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah Ta’ala untuk seluruh manusia.
Pemilahan yang sudah ditentukan berdasarkan wahyu itu mengandung konsekuensi, tidak boleh mencampur adukkan antara yang haq (benar) dengan yang batil.
وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah [2] : 42)
Tidak boleh mencampurkan antara yang haq dengan yang batil itu tentunya sudah ditunjuki, mana yang haq. Yang haq adalah yang bersumber dari wahyu Allah Ta’ala:
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُنْ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
(Apa yang telah Kami ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu. (QS. Ali ‘Imran [3] : 60)
Kebenaran itu dari Allah Ta’ala, yaitu wahyu dari-Nya. Dan kebenaran itulah yang wajib diyakini dan diamalkan ikhlash (murni, tulus) hanya untuk Allah Ta’ala. Dan kebenaran berupa wahyu itulah yang jadi ukuran.
Karena wajib diyakini, diamalkan dengan ikhlash hanya untuk Allah Ta’ala, dan dijadikan ukuran, maka sekalipun ada orang yang membantahnya, tetap wajib diyakini kebenarannya. Tidak perlu berdialog dengan orang-orang yang membantahnya bila yang dijadikan ukuran adalah akal belaka. Apalagi bila kita Ummat Islam diminta untuk merelatifkan kebenaran Islam relative sama dengan kebenaran agama lain, maka tidak boleh. Sehingga jalan keluarnya adalah mubahalah.
Mubahalah ialah masing-masing pihak diantara orang-orang yang berbeda pendapat mendoa kepada Allah dengan bersungguh-sungguh, agar Allah menjatuhkan la'nat kepada pihak yang berdusta. Nabi mengajak utusan Nasrani Najran bermubahalah tetapi mereka tidak berani dan ini menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW.
Itu sudah ditunjuki oleh Allah Ta’ala:
فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ
[آل عمران/61]
Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): "Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la'nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta. (QS. Ali ‘Imran [3] : 61)
Ketika sudah ada bukti bahwa kebenaran itu ada di Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, kita tinggal mengikutinya.
Di antara yang wajib diikuti itu adalah apa yang telah digariskan dalam Al-Qur’an dalam menyikapi ajakan-ajakan orang kafir untuk sama-sama dalam beraqidah. Ternyata dituntun dengan sikap tegas:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ [الكافرون/6]
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (QS. Al-Kafirun [109] : 6)
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآَءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ [الممتحنة/4]
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. (QS. Al-Mumtahanah [60] : 4)
Hal-hal yang menyeret kepada kecenderungan untuk membenarkan keyakinan selain Islam, seperti dalam kasus ini pengajian lintas agama adalah sesuatu yang sangat membahayakan dan wajib ditolak. Sebab akan menyeret hati Ummat Islam kepada kecenderungan terhadap keyakinan batil. Ketika cenderung kepada keyakinan batil, maka sudah jelas diancam adzab berlipat ganda baik ketika masih hidup maupun sesudah mati.
وَإِنْ كَادُوا لَيَفْتِنُونَكَ عَنِ الَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ لِتَفْتَرِيَ عَلَيْنَا غَيْرَهُ وَإِذًا لَاتَّخَذُوكَ خَلِيلًا (73) وَلَوْلَا أَنْ ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدْتَ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلًا (74) إِذًا لَأَذَقْنَاكَ ضِعْفَ الْحَيَاةِ وَضِعْفَ الْمَمَاتِ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَكَ عَلَيْنَا نَصِيرًا [الإسراء/73-75]
Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka, kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami. (QS. Al-Israa’ [17] : 73-75)
Dengan adanya ancaman-ancaman dari Allah Ta’ala seperti itu maka wajib bagi Ummat Islam menolak upaya-upaya kaum liberal dalam apa yang mereka sebut pengajian lintas agama ataupun lainnya. Karena pengadaan “pengajian” seperti itu bukannya menyelamatkan aqidah tetapi adalah merusak keyakinan.
Merusak keyakinan Ummat Islam itu lebih jahat dibanding merusak harta. Kalau merusak harta seseorang saja dilarang dalam agama dan undang-undang, maka apalagi merusak hal yang lebih berharga dari itu, yakni keimanan. Jadinya TVRI ketika menyelenggarakan pengajian lintas agama itu sejatinya bukan mengadakan pembinaan terhadap bangsa tetapi adalah perusakan yang sangat dahsyat.
Jangan dipancing-pancing Ummat Islam yang menjadi penduduk mayoritas negeri ini untuk berbuat yang tidak diinginkan, bila memang masih menghargai keimanan Ummat Islam. Namun kalau memang mau menantangnya, maka apa boleh buat. Keimanan itu dalam Islam wajib dipertahankan dengan harta dan jiwa.
Ayo pertahankan keimanan ini, wahai saudara-saudaraku Ummat Islam!
*Hartono Ahmad Jaiz, penulis buku Lingkar Pembodohan dan Penyesatan Ummat Islam.