Senin, 4 Ramadhan 1446 H / 3 Maret 2025 22:45 wib
381 views
Pengemis, 'Profesi' yang Meresahkan
Oleh: Alga Biru
Jika kita dihadapkan pada dua situasi: Pertama, pedagang gorengan yang menjajakan aneka gorengannya. Kedua, seorang pengemis yang mengharapkan belas kasihan dan diberikan harta secara cuma-cuma kepadanya. Bagaimana reaksi kita, seandainya kita diminta memilih salah satunya?
Pilihan pertama, kita sungkan merasakan kenyang di tengah pengemis yang kelaparan. Pilihan kedua, jika pengemis mendapatkan uang dengan mudah dari aktivitas mengemis, maka tidakkah kita merasa kasihan kepada sang pedagang yang telah susah payah menjajakan dagangan tetapi nasibnya tidak lebih baik dari para peminta-minta?
Melariskan dagangan orang adalah perbuatan baik, dan memberi sesuatu kepada orang yang membutuhkan pun merupakan kebaikan pula. Dari dua kabaikan ini, kita tentu ingin mendapatkan pahala atas kedua-duanya.
"Kita nggak akan miskin kok cuma gara-gara memberi pengemis."
Ungkapan tersebut nyaring terdengar dan sangat familiar. Namun, sebelum kita mengasihi pengemis, kasihilah orang yang tidak mengemis terlebih dahulu. Apresiasi keringat orang yang susah payah mencari nafkah dengan jalan halal dan terhormat. Sebab jika kita lalai mengapresiasi mereka, kita mungkin gagal mengapresiasi diri kita sendiri. Aktivitas mengemis (meminta-minta) termasuk perkara yang merendahkan kemuliaan.
Pada hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA, ia berkata: Nabi SAW bersabda: "Sebagian orang selalu meminta-minta hingga ketika sampai di hari kiamat, tidak ada sedikit pun daging di wajahnya." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Para pengemis di era kekinian bukan lagi sekadar nasib melainkan peluang finansial. Hasil dari mengemis konon sangat menjanjikan. Beberapa desa atau kampung di Indonesia dikenal sebagai kampung pengemis karena penduduknya berhijrah ke kota-kota besar untuk menjalani profesi mengemis. Hasilnya, mereka ada yang bisa membangun rumah, membeli kendaraan dan fasilitas hidup lainnya.
Pengemis membangun jejaring dan terstruktur selayaknya dunia bisnis. Pelakunya bukan hanya orang dewasa tetapi juga melibatkan anak-anak. Demi menarik simpati, sindikat pengemis bahkan memanfaatkan aset penyewaan bayi. Maka benarlah, profesi meminta-minta bukan hanya tercela, tetapi berbahaya secara sosial. Kondisi ini hanya sedikit pertanda bahwa negara sedang tidak baik-baik saja.
Indonesia memiliki bonus demografi, dengan tingginya angka kelahiran, tetapi tidak dibarengi dengan peningkatan sumber daya manusia. Negara tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai. Alih-alih mendapatkan atau menciptakan pekerjaan, kita dapati aktivitas "meminta-minta" sebagai profesi yang laris manis tanpa rasa malu.
Pada akhirnya, kita tidak hanya memotret sikap meminta-minta dan kedermawanan sebagai masalah moral. Ia bisa jadi wabah kemanusiaan yang bersembunyi di balik kedermawanan. Maka tidakkah rasa kemanusiaan kita terusik untuk tidak lagi terjebak pada persoalan persial? Pemerintah dan masyarakat perlu menyikapi permasalahan ini dari akar kemiskinan, keadilan sosial dan kacamata halal-haramnya. Jadilah orang baik yang tidak mencederai kebaikan itu sendiri. wallahualam. (rf/voa-islam.com)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!