Kamis, 27 Jumadil Akhir 1446 H / 20 Januari 2022 11:11 wib
5.180 views
The Real Booster
Oleh:
Eriga Agustiningsasi, S.KM || Penyuluh Kesehatan, Freelance Writer
HAMPIR dua tahun sudah negeri ini dilanda pandemi. Segala upaya telah dilakukan untuk menuntaskan pandemi COVID-19 yang tak kunjung usai hingga kini. Mulai dari tracing, testing, treatment hingga vaksinasi pun telah dilaksanakan. Meskipun tren kasus mulai melandai namun beberapa minggu terakhir ini ditemukan kasus COVID-19 Varian baru, yakni Omicron yang ternyata gejalanya sering tidak disadari oleh penderitanya. Justru hal ini sangat mengkhawatirkan.
Betapa tidak. Bukanlah hal yang mustahil ledakan kasus COVID-19 varian omicron terjadi jika kita tidak waspada seperti yang telah terjadi di beberapa negara lain. Tentu hal ini sangat tidak kita inginkan. Salah satu upaya untuk mencegah hal ini yang ditempuh ialah menyediakan vaksin booster bagi masyarakat yang telah divaksin lengkap khususnya lansia dan masyarakat rentan. Namun disisi lain, akses luar negeri masih terbuka lebar. Lalu, mampukah kita melalui pandemi ini dengan kondisi yang demikian?
Faktanya kasus varian baru Omicron disebabkan oleh mobilitas luar negeri, baik ke luar maupun ke dalam. Hal ini disampaikan oleh Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Widyastuti menyatakan bahwa adanya peningkatan kasus Covid-19 varian Omicron yang cukup signifikan di Ibu Kota pada beberapa waktu terakhir, yakni sebanyak 251 kasus, 95 persen berasal dari pelaku perjalanan luar negeri atau kasus impor (Liputan6.com 13/01/2022 )
Berdasarkan WHO HQ. Enhancing readiness for Omicron (B.1.1.529): Technical Brief and Priority Actions for Member States. 23 December 2021 disebutkan varian Omicron memiliki karakteristik penularan yang lebih cepat daripada varian Di Inggris, tingkat keparahan varian Omicron menyebabkan 29 kematian. Dalam waktu dua minggu (26 Desember 2021), 46 kasus Omicron terdeteksi di Indonesia. 15 orang di antaranya (32,6%) merupakan pelaku perjalanan dari Turki. Ada pula kasus konfirmasi Omicron yang berasal dari pelaku perjalan luar negeri dari Inggris, UEA, Arab Saudi, Jepang, Malaysia, Malawi, Republik Kongo, Spanyol, USA, Kenya, Korea, Mesir, dan Nigeria. Sebanyak 74% kasus Omicron sudah divaksin lengkap, 80% tanpa gejala atau bergejala ringan, dan 96% kasus adalah WNI.
Artinya varian Omicron memiliki tingkat penularan yang tinggi tapi dengan risiko sakit berat yang rendah. Walaupun begitu, masyarakat tetap harus waspada karena situasi dapat berubah dengan cepat. Oleh karena itu upaya pencegahan dan pengendalian, serta upaya mitigasi lainnya harus tetap berjalan. Dikutip dari laman sehatnegeriku.kemkes.go.id, Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan, dr. Siti Nadia Tarmidzi mengatakan bahwa pihaknya mengingatkan kembali untuk menunda perjalanan ke luar negeri bagi para WNI karena resiko penularan yang besar (sehatnegeriku.kemkes.go.id/13/01/2022).
Dari data tersebut jelas bahwa vaksinasi COVID-19 saja belum cukup tanpa ada kebijakan pembatasan mobilitas terutama dari luar negeri. Perlu diingat kembali bahwa virus yang satu ini menular salah satunya melalui mobilitas manusia yang membawa virus tersebut. Oleh karenanya salah satu upaya untuk mencegah penularan virus ini ialah dengan membatasi mobilitas manusia di suatu wilayah dengan wilayah lain. Dalam artian perlu adanya pembatasan keluar masuk masyarakat dari dalam ke luar negeri ataupun sebaliknya.
Sayangnya kini masih saja ditemukan kasus mobilitas manusia ke luar negeri ataupun sebaliknya yang tentunya dikhawatirkan membawa virus varian omicron yang kini jadi perbincangan dunia. Meskipun terdapat mekanisme karantina bagi WNI yang datang dari luar negeri. Namun bagaimana jika dari warga luar negeri? Nyatanya di lapangan masih saja ditemukan berbagai pelanggaran yang dilakukan. Akses luar negeri masih terbuka lebar bagi siapa saja di saat kondisi pandemi belum usai.
Oleh karen itu booster vaksin saja belum cukup untuk benar benar menuntaskan pandemi ini. Tentunya booster ini harus diimbangi dengan kebijakan penguasa negeri ini yang tegas untuk benar benar membatasi akses ke luar negeri. Karena ini juga yang pernah dilakukan Umar bin Khatthab ketika wilayahnya dilanda wabah, tepatnya ketika Umar ingin melakukan suatu kunjungan ke negeri Syam yang saat itu penduduknya sedang terjangkit wabah virus penyakit. tidak memasukki negeri saat terjadi thaun (wabah).
“Apabila kalian mendengar wabah thaun melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabila penyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian-kalian di dalamnya, maka janganlah kalian lari keluar dari negeri itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Tentunya paradigma yang digunakan dalam menuntaskan pandemi adalah paradigma riayah suunil ummah. Mengurusi urusan umat, bukan jual beli dengan keuntungan tertentu. Oleh karena itu meskipun resiko besar jika akses luar negeri dibatasi dengan ketat, maka hal ini akan tetap dilaksanakan demi keselamatan masyarakat. Yang nantinya akan dicari jalan lain untuk menstabilkan kondisi negeri mengingat kekayaan negeri kita sendiri sangatlah melimpah ruah.
Sehingga menjadi hal yang berat jika hanya menggantungkan dari booster vaksinasi. Alangkah jauh lebih baik jika vaksin booster diberikan kepada masyarakat dan diimbangi dengan booster kebijakan yang ketat terkait akses luar negeri untuk melindungi masyarakat dari ganasnya virus yang satu ini. The Real Booster.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!