Sabtu, 14 Jumadil Awwal 1446 H / 22 Agutus 2020 09:52 wib
3.994 views
Gembira dan Dilema Menyambut Sekolah Tatap Muka
Oleh:
Eni Mu’tamaroh S.Si || Pendidik, Member Revowriter
DALAM konferensi pers secara virtual pada Jumat (7/8/2020), Mendikbud Nadiem Makarim mengumumkan bahwa SMK dan perguruan tinggi di seluruh zona boleh melakukan pembelajaran secara tatap muka. Namun harus melakukan protokol kesehatan secara ketat.
Sementara untuk jenjang lain seperti SD, SMP, dan SMA yang boleh melakukan pembelajaran tatap muka berada di zona kuning dan zona hijau. Dengan ketentuan maksimal peserta didik yang hadir sebanyak 18 anak. "Kapasitas itu harus dilakukan. Mau tidak mau dilakukan shifting. SD, SMP, SMA 50 persen. Jadi harus menggunakan sistem rotasi. Semua wajib menggunakan masker, mencuci tangan, hand sanitizer, menjaga jarak 1,5 meter, dan tidak melakukan kontak," kata Nadiem (hits.grid.id, 7/8/2020)
Gembira dan Dilema
Bisa kembali belajar tatap muka di sekolah tentu menjadi kabar gembira. Pasalnya pembelajaran daring selama di rumah menyisakan banyak persoalan. Dari perkara teknis seperti susahnya jaringan internet, HP yang kurang support, kuota dan pulsa yang cepat habis hingga kesulitan memahami materi dengan banyaknya tugas yang disampaikan guru secara virtual.
Nadiem juga menyatakan jika anak terlalu lama daring di rumah bisa terkena dampak psikologis. Mulai dari stres, kesepian sampai ketegangan dengan orang tua dan keluarga. Oleh karenanya butuh diambil kebijakan agar anak-anak secepatnya kembali ke sekolah. Dengan begitu anak-anak bisa fokus belajar di dampingi langsung oleh guru. Dan orang tua bisa fokus bekerja.
Namun, Ketua Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Arist Merdeka Sirait menilai bahwa keputusan dari Kemendikbud tersebut belum tepat waktunya, mengingat risiko untuk tertular masih ada, terlebih untuk zona kuning. Sirait mempertanyakan sikap dan peran dari pemerintah yang justru terkesan memaksakan dan lebih memilih mempertaruhkan risiko. (Tribunnews.com, 8/8/2020)
Meski pemerintah berdalih tidak mewajibkan dan memberi pilihan antara tatap muka di sekolah atau tetap daring dari rumah. Hal ini juga menjadi dilema. Tetap daring banyak kendala, mau tatap muka di sekolah masih dalam ancaman merebaknya Covid-19. Faktanya, berdasarkan catatan LaporCOVID19 sudah ditemukan klaster positif di enam sekolah. Di Sumedang, Cirebon, Pati, Tegal, Tulungagung, hingga Kalimantan Barat.
Sudah Siapkah Kembali Belajar Tatap Muka?
Kemendikbud membolehkan belajar tatap muka tapi harus dengan protokol kesehatan ketat. Sayangnya bentuk protokol kesehatan ketat diserahkan pada sekolah setempat. Sekolah harus melengkapi sarana dan prasarana seperti penataan ruang dengan jumlah pembatasan siswa, thermogun, wastafel, sabun, disinfektan dan lain sebagainya. Yang pastinya butuh biaya besar. Dalam kondisi normal saja banyak sekolah yang keteteran memenuhi anggaran sarana dan prasarana apalagi menambah sarana untuk protokol kesehatan.
Terkait pengajaran di tengah pandemi juga butuh kurikulum khusus yang sampai saat ini belum ada kejelasan regulasi. Pelaksanaan pengawasan juga tak jelas rundown-nya. Seakan semua berjalan sendiri-sendiri tergantung kemampuan kondisi sekolah.
Hal itu menjadi bukti sekolah belum benar-benar siap untuk melakukan tatap muka. Persoalan belajar selama daring tidak bisa dijadikan alasan untuk menyegerakan membuka belajar secara tatap muka di sekolah. Mengabaikan keamanan dan kesehatan para generasi masa depan ditengah ketidaksiapan sekolah dalam penyelenggaraannya. Pemerintah seakan tutup mata apa yang telah terjadi di sejumlah negara yang membuka sekolah kemudian menjadi kluster baru penyebaran Covid-19. Harusnya ini menjadi pelajaran.
Pendidikan Butuh Solusi Aman
Sudah terlanjur sejak awal pemerintah tidak mengambil kebijakan tegas untuk memutus rantai penyebaran Covid-19 dengan melakukan karantina ketat atau lockdown, kini virus telah menyebar hampir seantero nusantara. Wabah belum reda, kebijakan new normal di landingkan. Sektor pendidikan menjadi salah satu yang kena imbasnya. Mestinya pemerintah tidak tergesa-gesa menetapkan pembukaan sekolah.
Jangan sampai kegembiraan menyambut tatap muka harus ditukar dengan ancaman kesehatan. Dibutuhkan kesadaran bersama antara siswa, wali murid, tenaga pendidik dan pemerintah. Pendidikan memang penting tapi dalam kondisi wabah jaminan kesehatan lebih diutamakan.
Sebenarnya persoalan ini tidak akan membingungkan jika pemerintah benar-benar memberikan perhatian total dan penjagaan maksimal kepada rakyatnya. Memberikan rasa aman baik secara fisik maupun psikis. Sebagaimana dalam sistem Islam. Tatkala terjadi wabah maka fokus utama menyelesaikan persoalan itu. Rasulullah Saw, Khalifah Umar bin Khattab pernah melakukan Lockdown total saat terjadi wabah di masa pemerintahannya.
Terkait persoalan pendidikan, semua aspek termasuk sarana yang menunjang keberhasilan pendidikan dalam sistem Islam di jamin oleh negara. Karena negara dalam sistem Islam memiliki paradigma sebagai raa'in (penanggung jawab). Bukan seakan bijak memberikan pilihan pada rakyat yang sebenarnya lepas tangan atas urusan rakyat secara pelan-pelan.
Bukti nyatanya telah ada. Banyak berdiri sekolah-sekolah yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana serta biaya murah bahkan gratis dari negara. Karena pendidikan merupakan kebutuhan asasi dan menjadi mesin pencetak generasi masa depan. Jadi negara tak akan abai mengurus pendidikan baik dalam kondisi normal maupun tak normal. Karena abainya penguasa akan dimintai pertanggungjawaban.
"Siapa saja yang diserahi oleh Allah untuk mengatur urusan kaum muslim, lalu dia tidak memedulikan kebutuhan dan kepentingan mereka, maka Allah tidak akan memedulikan kebutuhan dan kepentingannya (pada hari kiamat)." (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi). Allahu a’lam bis shawab.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!