Ahad, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 26 Juli 2020 07:16 wib
3.906 views
Tunjangan Guru Dipangkas karena Covid-19?
Oleh:
Sherly Agustina, M.Ag || Member Revowriter dan WCWH
DARI Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan terjadi sepeninggalku sifat monopoli (mementingkan diri sendiri) dan beberapa kemungkaran.” Sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana pesan tuan kepada kami menghadapi hal itu?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tunaikanlah kewajibanmu dan mintalah kepada Allah untuk mendapatkan hakmu.”( HR. Bukhari-Muslim).
Tunjangan profesi akan dihentikan, hal ini tercantum dalam Peraturan Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nomor 6 Tahun 2020. Dalam aturan tersebut, di Pasal 6 tercantum bahwa tunjangan profesi ini dikecualikan bagi guru bukan PNS yang bertugas di Satuan Pendidikan Kerja Sama (SPK). SPK sendiri merupakan satuan pendidikan yang diselenggarakan atau dikelola atas dasar kerja sama antara Lembaga Pendidikan Asing (LPA) yang terakreditasi atau diakui di negaranya dengan Lembaga Pendidikan Indonesia (LPI) pada jalur formal atau nonformal yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (Kompas.com, 19/7/20).
Tunjangan profesi dihentikan atau distop untuk beberapa kriteria dengan alasan covid-19. Mengapa pemerintah mengeluarkan kebijakan ini? Bukankah kewajban pemerintah memenuhi hak rakyat, di antaranya para guru. Terlebih, para guru sudah berusaha dengan ekstra agar pendidikan tetap berjalan di tengah pandemi walau banyak keterbatasan. Memang pembelajaran dialihkan ke rumah, namun tak sedikit para guru yang berkorban membantu langsung mendatangi peserta didik untuk membantu murid dan orang tuanya dalam proses belajar di tengah pandemi.
Guru Protes Tunjangan Dipangkas
Dilansir oleh Media Indonesia, Ikatan Guru Indonesia (IGI) memprotes langkah pemerintah yang memotong tunjangan guru hingga Rp3,3 triliun lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020. Dalam lampiran Perpres Perubahan Postur dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, tunjangan guru setidaknya dipotong pada tiga komponen yakni tunjangan profesi guru PNS daerah dari yang semula Rp53,8 triliun menjadi Rp50,8 triliun, kemudian penghasilan guru PNS daerah dipotong dari semula Rp698,3 triliun menjadi Rp454,2 triliun. Kemudian pemotongan dilakukan terhadap tunjangan khusus guru PNS daerah di daerah khusus, dari semula Rp2,06 triliun menjadi Rp1,98 triliun (20/4/20).
“Perpres Perubahan Postur dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 merugikan sejumlah pihak, yang justru sebetulnya membutuhkan dukungan lebih dari pemerintah di tengah situasi penyebaran virus korona,” kata Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia Muhammad Ramli Rahim. Selain pada tunjangan guru, pemotongan anggaran di sektor pendidikan juga dilakukan pemerintah terhadap dana Bantuan operasional Sekolah (BOS), bantuan operasional penyelenggaraan PAUD, bantuan operasional pendidikan kesetaraan, serta bantuan operasional museum dan taman budaya.
Dana BOS dipotong dari semula Rp54,3 triliun menjadi Rp53,4 triliun, bantuan operasional penyelenggaraan (BOP) PAUD dipotong dari Rp4,475 triliun menjadi Rp4,014 triliun, lalu bantuan operasional pendidikan kesetaraan dipotong dari Rp1,477 triliun menjadi Rp1,195 triliun.
Di sisi lain, anggaran Kemdikbud yang lebih dari Rp70,7 triliun tidak banyak berubah.“Kami berharap Kemendikbud memiliki rasa empati yang tinggi terhadap guru-guru kita yang mengalami dampak dari pandemi Covid-19 ini, jangan sampai ada yang berkurang pendapatannya." Menurut Ramli, para guru justru harus dijaga pendapatannya karena tidak jarang ditemui guru yang membantu anak didiknya yang tidak mampu, khususnya dalam kondisi pandemi seperti ini. Bahkan ada juga guru yang rela membeli kuota data atau pulsa untuk anak didik mereka meskipun sekarang Permendikbud membolehkan penggunaan dana BOS untuk membeli kuota data baik untuk guru dan siswa.
Ada masalah dalam sistem ini, sudahlah pengelolaan menghadapi wabahnya bermasalah tidak mengikuti apa yang sudah dicontohkan oleh Baginda Nabi Saw. Ditambah pengelolaan keuangan ketika wabah melanda. Hal ini membawa dampak pemangkasan dana-dana pada cabang-cabang yang lain, di antaranya pendidikan. Wajar saja pemangkasan dana tersebut diprotes para guru karena yang mereka dapatkan tak seimbang dengan pengorbanan mereka di tengah krisis akibat covid-19. Lalu, bagaimana sistem Islam memandang hal ini?
Pengelolaan Dana dalam Islam
Dalam sistem Islam, terkait dana yang digunakan untuk urusan darurat atau bencana alam termasuk penanganan wabah diambil dari pendapatan fa'i dan kharaj, serta dari harta pemilikan umum. Apabila tidak terdapat harta dalam kedua pos tersebut, maka kebutuhannya dibiayai dari harta kaum Muslim (sumbangan sukarela atau pajak). Adapun dana untuk Mashalih Daulah (kemaslahatan negara) termasuk di dalamnya departemen atau biro pendidikan, diambiil dari kepemilikan umum salah satunya. (Sistem Keuangan di Negara Khilafah, hal. 16-18).
Pemasukan baitul mal (kas negara) bagian fa'i dan kharaj di antaranya: seksi ghanimah (ghanimah, anfal, fa'i dan khumus), kharaj, status tanah, jizyah, fa'i (dari 'usyur harta rikaz dan barang tambang, tanah yang dijual dan disewakan), harta waris yang tidak ada pewarisnya) dan pajak. Jenis harta pemilikan umum: minyak dan gas, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan dan mata air, hutan dan padang rumput gembalaan dan tempat khusus (yang dipagar dan dikuasai negara). (Sistem Keuangan di Negara Khilafah, hal. 13-14).
Adapun sistem upah atau gaji bagi para guru baru berkembang ketika berdirinya sejumlah kekhalifahan Islam di beberapa negara. Misalnya, Abbasiyah di Baghdad (Irak), Fatimiyah di Mesir, dan Ottoman di Turki. Sistem gaji bagi seorang guru baru diperkenalkan pada masa pemerintahan Dinasti Bani Seljuk. JW Draper dalam History of the Conflict menyebutkan bahwa Madrasah (Perguruan) Nizamiyah yang didirikan pada masa Khalifah Malik Syah berkuasa adalah institusi pendidikan pertama di masa kejayaan Islam, yang pertama kali menerapkan sistem penggajian kepada para pengajarnya.
Seorang profesor di bidang hukum yang mengajar di Madrasah Nizamiyah menerima gaji sebesar 40 dinar. Sementara profesor yang mengajar di sekolah lainnya di Mesir pada periode yang sama, mendapatkan bayaran sebesar 60 dirham, sedangkan asistennya mendapatkan 40 dirham. Bahkan, pada masa itu ada seorang pengajar yang menerima gaji sebesar seribu dirham (Republika.co.id). Gaji 40 Dinar jika dikonversi dalam bentuk rupiah, 1 Dinar senilai dengan 4,25 gram. Jika 1 gram senilai 700.000 maka jika 40 Dinar berarti: 40x4,25 gram= 170 gram (170gramx700.000= 119.000.000).
Sumber pemasukan untuk baitul mal (kas negara) di dalam sistem Islam jelas. Pengeluarannya pun jelas, tidak mengganggu satu sama lain. Karena negara menjamin kebutuhan, keamanan, kesejahteraan dan keselamatan warganya. Hanya aturan dari Sang Pencipta langit, bumi dan isinya yang memiliki solusi paripurna atas semua problematika umat manusia di seluruh dunia hingga hari kiamat. Masihkah ragu untuk memperjuangkan dan menjemput janji-Nya? (QS. An Nuur: 55). Allahu a'lam bi ash-shawab.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!