Survei: 37 Persen remaja Yahudi AS Bersimpati Pada HamasSabtu, 23 Nov 2024 20:25 |
Oleh:
Sulton Kamal*
RAMADHAN bagi umat Islam adalah bulan yang ditunggu-tunggu kedatangannya. Disamping menjanjikan berbagai keutamaan (fadhilah) bagi umat manusia, Ramadhan juga merupakan bulan yang disyariatkan bagi umat Islam untuk menjalankan ibadah puasa. Sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam Q.S. Al-Baqarah 183, yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.”
Setiap kali Ramadhan datang, biasanya kita dapat saksikan dimana-mana semarak masyarakat; perorangan maupun institusi, menyongsongnya dengan penuh kegembiraan. Di kantor-kantor diselenggarakan aneka kegiatan keagamaan. Demikian juga dalam lingkungan keluarga, sesama sahabat, rekan kerja dan pergaulan beramai-ramai menggelar buka bersama dengan disisipi tazdkirah maupun taushiyah di dalamnya.
Sudah barang tentu biasanya pula pada setiap Ramadhan, mushalla dan masjid di segala penjuru kota dan kampung terasa sekali peningkatan nuansa keruhanian dan spirit keagamaannya. Jama’ah bergairah menghidupkan (ihya) Ramadhan dengan berbagai kegiatan ibadah demi mendapatkan makna kemuliaan Ramadhan secara spiritual.
Fenomena diatas mungkin tidak kita saksikan pada Ramadhan 1441 Hijriyah kali ini, atau paling tidak sangat terkurangi sekali. Sebabnya kita semua maklum, bahwa seluruh dunia sedang menghadapi wabah Covid-19, sehingga menghendaki kita semua untuk tidak berkumpul dan melaksanakan jaga jarak (social distancing) antar warga masyarakat.
Kadang kalau dirasakan sedih juga menjalankan ibadah puasa Ramadhan dalam suasana wabah pandemik Covid-19 yang membahayakan. Nikmatnya seakan-akan tidak sama dengan Ramadhan biasanya. Tapi hendaknya kita harus tetap semangat dan bergembira dalam melaksanakan ibadah Ramadhan, karena itu merupakan sebagian adab kita kaum muslimin dalam menyambut bulan suci Ramadhan.
Walaupun demikian keadaannya jangan sampai kita dalam menjalankan ibadah puasa di tahun ini, tidak mendapatkan pula keuntungan secara spiritualnya (ukhrawi). Sebagaimana sabda nabi: Man shauma romadhona imaanan wahtisaaban ghufira lahu maa taqaddama min dzanbihi (H.R. Bukhari dan Muslim). Artinya: "Barang siapa yang berpuasa karena Iman dan ikhlas (mengharap pahala hanya dari Allah), maka niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telahlalu."
Ramadhan sesungguhnya memberikan makna tersendiri bagi siapa saja yang mau merenunginya. Masing-masing dari kita akan menemukan sendiri pengalaman spiritual. Secara tidak langsung, bulan ini juga mendidik masyarakat (tentu utamanya bagi mereka yang beriman) untuk menjadi manusia-manusia yang baik. Selaras dengan tujuan disyari’atkannya ibadah puasa, yaitu agar menjadi manusia yang bertaqwa.
Apalagi bagi sebagian orang tua yang mempunyai perhatian (concern) dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan dasar pada anak-anak. Pelaksanaan ibadah Ramadhan mempunyai arti penting bagi mereka. Lebih-lebih aspek yang berkaitan dengan kepribadian dan karakter (basic values) sebagai modal dasar dalam kehidupan. Dan ini tidak memandang Ramadhan dalam masa wabah Covid-19 melanda ataupun tidak.
Lima aspek karakter yang bisa digali dalam puasa Ramadhan
Banyak orangtua berharap anak-anaknya bisa melaksanakan ibadah agama sejak dini. Sehingga mereka mendidik putra-putrinya berlatih menjalankan peribadatan yang disyariatkan mulai sedari kecil. Hal yang demikian, dikandung maksud agar kalau sampai masanya (baligh), sudah tidak canggung lagi mereka menjalankan perintah agamanya.
Agama Islam menganjurkan untuk mendidik dan mengajari anak-anak belajar sejak mereka kanak-kanak. Demikian juga untuk melaksanakan perintah agama yang sifatnya wajib asasi (fardhu ‘ain) seperti; shalat. Orangtua sangat digalakkan agar mendidik putra-putrinya sejak usia belia; tujuh tahun dan apabila sudah sepuluh, mereka (anak-anak) boleh dikerasi.
Hal yang sama juga dengan kepribadian, akhlak, maupun karakter (syahsiyah). Harus dimulai pembentukannya sejak usia dini, dan perlu waktu relatif lama. Karena karakter itu, menurut hemat penulis merupakan hasil pembiasaan perilaku sejak kecil.
Puasa Ramadhan, apalagi kita menjalankannya dalam masa yang sulit, yaitu berbarengan dengan wabah Covid-19 yang mewabah. Ternyata sangat berfungsi sebagai media untuk pembentukan aspek-aspek karakter manusia. Jika kita tekun membimbing putra-putri kita sedari kecil berpuasa, hasilnya akan mewujud dan terinternalisasi menjadi akhlak (karakter) yang baik dalam kepribadian anak-anak.
Adapun muatan karakter yang bisa kita gali selama puasa pada bulan Ramadan yang bersamaan dengan mewabahnya Covid-19.
Pertama, disiplin. Pada masa pandemi Covid-19 seperti saat ini, kita dilatih untuk disiplin mengamalkan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), juga disiplin jaga jarak dan tetap tinggal di rumah. Aspek disiplin ini, kental sekali diajarkan dalam ibadah puasa Ramadhan yang dijalankan oleh umat Islam. Hal tersebut bisa dilihat ketika kita dibangunkan sebelum menjalankan shalat subuh, untuk menikmati hidangan sahur, yaitu; menyantap makanan di pagi buta bagi seseorang yang akan berpuasa. Anjuran sahur ini merupakan hal yang penting, sehingga agama menganjarkan melalui hadits rosulnya:fainna fis sahuuri barakah (dalam sahur itu ada keberkatan).
Disebalik itu, bagi para orangtua yang mengajarkan anak-anaknya berpuasa, secara tidak langsung, hakikatnya telah mengajarkan anak-anak mereka membiasakan disiplin untuk selalu bangun di pagi hari.
Bagi sebagian orang, memandang sebelah mata kebiasaan bangun pagi ini. Tapi sesungguhnya, bangun pagi adalah kebiasaan yang menguntungkan dan membawa kebaikan bagi siapa saja yang melakukannya. Secara sederhana kita bisa mengatakan; ibarat kompetisi, orang yang biasa bangun pagi, itu sama artinya dia memulai aktifitas kehidupannya terlebih dahulu (menang), dibanding orang lain yang mungkin masih tidur.
Pendapat mengatakan, salah satu kunci sukses adalah bila kita bisa melakukan apa yang orang lain belum/tidak lakukan. Hal ini sesuai dengan pepatah i’maluu fawqo maa ‘amiluu. Kita akan dianggap berprestasi jika mampu mengerjakan apa yang orang lain tidak bisa atau belum mengerjakannya.
Menurut pengalaman, menyuruh anak-anak bangun pagi adalah hal yang tidak mudah. Betapa banyak orang tua mengeluh susah membiasakan anak-anaknya bangun pagi, sekadar untuk sekolah misalnya. Faktanya memang demikian, Masya Allah! susah kalau tidak terbiasa. Apalagi bangun sebelum subuh, sebagaimana di bulan Ramadhan.
Seandainya saja kita bisa mendidikkan semangat bangun pagi kepada putra-putri kita sejak kecil tidak hanya di bulan Ramadhan, tentu kebiasaan itu akan melekat dan akan dibawanya sepanjang hidup, dan tentu akan berguna bagi dirinya dalam mengarungi kehidupan.
Ke-dua, ta’at. Berpuasa sama seperti ibadah yang lain, ada syarat dan rukun yang harus ditepati. Sebagaimana yang kita kenal, rukun puasa adalah menahan makan dan minum serta menjaga dari hal-hal yang bisa membatalkannya dari fajar subuh sampai tenggelamnya matahari disaat maghrib.
Anak-anak yang diajarkan berpuasa, sudah selazimnya mereka juga diberikan informasi bahwa dalam pelaksanaan puasa ada peraturan yang harus ditaati oleh mereka. Dan yang lebih penting lagi, lewat momen ibadah puasa ini kita mendidik mereka untuk menjaga dari melanggar peraturan dan malu jika melakukan yang tidak boleh.
Pernahkah kita menjumpai anak-anak yang masih belajar berpuasa, karena lupa dia mengambil makanan untuk dimakan. Kemudian ada yang mengingatkan, tentu dengan serta merta diurungkannya niat tersebut dan malu karena hampir saja melakukan kesalahan.
Melalui ibadah puasa ini, kita bisa mendidik dengan membiasakan anak taat peraturan dan malu jika melanggarnya. Hal demikian sama hakikatnya dengan sikap kita terhadap peraturan dan hukum positif dalam kehidupan bermasyarakat. Jika anak sudah terbiasa menjaga diri dari melakukan kesalahan, maka kelak akan menjadi individu yang taat pula pada peraturan dan hukum.
Sekarang orang berbuat salah banyak yang tidak malu, bahkan dipertontonkan. Termasuk menyalahi peraturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yang ditetapkan pemerintah dalam mencegah penyebaran wabah virus Covid-19 misalnya. Lagi-lagi ini adalah masalah integritas. Karenanya, tidak mengherankan ajaran agama mengatakan; malu adalah bagian dari keimanan seseorang. Malah dalam salah satu haditsnya rosulullah saw menegaskan, bahwa: idza lam tastahyi fasna’ maa syi’ta, yang artinya: jika kamu sudah tidak mempunyai rasa malu, maka berbuatlah sesukamu.
Ke-tiga, tangguh. Berpuasa dimasa berjangkitnya wabah seperti sekarang ini, seharusnya perasaan jiwa dan empathi seseorang manusia akan semakin terasah untuk merasakan keprihatinan yang dirasakan orang lain. Dengan menjalankan puasa, secara tidak langsung seorang anak akan terlatih menjalani kehidupan dengan penuh prihatin. Apalagi menyaksikan orang lain, tetangganya yang berpuasa tapi hidup penuh kekurangan, tidak bisa bekerja karena wabah penyakit dan terhalang peraturan PSBB.
Pelaksanaan puasa Ramadhan, bisa mempengaruhi rasa keprihatinan pada diri anak-anak. Karena menjalankan puasa, dengan sendirinya mereka telah terlatih, dan menjadi tangguh-kuat bertahan hidup dalam kondisi serba minimal. Dalam kehidupan, manusia tidak akan selalu berada pada keadaan yang menyenangkan (comfortable), bisa saja ada kalanya diuji dengan keadaan yang serba kekurangan dan kesulitan.
Bagi siapa yang sudah biasa hidup dalam kondisi prihatin, dia akan tetap tangguh sanggup bertahan dan beradaptasi sehingga akan survive menghadapi ujian kehidupan. Sebaliknya, bagi yang mempunyai kepribadian lembek karena tidak biasa hidup prihatin, niscaya mudah jatuh dan menyerah (surrender) dengan kesulitan yang dihadapi.
Sekali lagi sikap prihatin perlu dilatihkan sejak kecil, karena tidak mungkin muncul secara tiba-tiba. Melalui puasa Ramadhan inilah, diharapkan lahir pribadi tangguh yang tidak cengeng kala menghadapi keadaan terburuk. Dalam konteks ini, kita diingatkan oleh pesan ajaran agama yang mengatakan: al-mu’minul qowiyyu ahabbu ilallahi minal mu’minudh dho’iif, artinya: Allah lebih menyukai mukmin yang kuat (termasuk kepribadiannya tentu) daripada mukmin yang lemah.
Ke-empat, peduli. Aspek karakter lain yang bisa diasah melalui puasa Ramadhan, yaitu; keadaan jiwa dimana seseorang bisa larut merasakan kondisi orang lain, kemudian diikuti tindakan ingin menyelesaikan masalahnya. Dengan puasa kita diuji kepekaan sosial kita, diuji dengan persoalan basic need kemanusiaan kita yaitu; lapar dan dahaga.
Anak yang berlatih puasa sejak kecil dan dibimbing untuk mengerti makna hakikat puasa, pasti sedikit demi sedikit terbuka mata hatinya untuk melihat kenyataan sosial di sekeliling yang berbeda dengan dirinya.
Lapar dan dahaganya puasa, menjadi pemicu merasakan bagaimana lapar dan dahaganya orang lain yang tidak cukup makan minum sehari-hari. Berangsur-angsur sikap tersebut jika dipupuk, akan melahirkan kepedulian (Care about others) yang akan melahirkan sikap suka menolong sesama.
Jiwa peduli sesama ini yang semakin meluntur. Ungkapan lu lu gue gue, merupakan frasa yang lumrah. Cuek juga hal yang biasa kita saksikan di tengah masayarakat yang cenderung individualis dan materialistis. Kebiasaan yang kurang baik tersebut, bisa saja diminimalisir dengan menanamkan sikap peduli kepada generasi muda sejak kecil melalui hakikat dan makna ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Ke-lima, sabar. Aspek kelima ini bagi orang yang mengamalkan ibadah puasa secara imanan wahtisaaban (iman dan mengharap keridhaan Allah swt) niscaya akan benar-benar merasakan arti ibadah puasa, apalagi menjalankannya dibarengi dengan himbauan tetap tinggal di rumah (Stay at home). Merasakan arti puasa yang sesungguhnya, bisa saja dirasakan tidak terkecuali bagi anak-anak yang dalam tahap belajar berpuasa. Orang berpuasa selain menjaga tidak makan-minum sampai batas waktu yang dibolehkan, juga diharapkan bisa mengendalikan nafsunya.
Orang yang bisa mengendalikan nafsunya, berarti orang tersebut juga mampu bersabar. Putra-putri kita yang diajari berpuasa, mereka tahu dan menjalankannya dengan sabar, sampai pada waktu diperbolehkan berbuka, makan dan minum. Itu artinya, secara tidak langsung kita membiasakan mereka bersusah-susah dulu (lapar) dan senang pada akhirnya ketika saat berbuka tiba.
Dengan puasa orang dilatih bersabar, dilatih tidak tergesa-gesa dan terburu-buru hanya karena ingin memenuhi hasrat hawa nafsunya. Dalam kehidupan, sering kita mendapatkan pengalaman yang tidak baik dikarenakan ketidaksabaran kita. Persis seperti yang diungkapkan pepatah al-‘Ajalatu nadamah; yang namanya ketergesaan itu hanya akan menimbulkan penyesalan.
Kita tidak menginginkan anak-anak kita, menjadi generasi yang matang sebelum waktunya, karbitan, dan bermental ingin serba instan. Oleh karenanya puasa Ramadhan, apalagi bersamaan dengan menjangkitnya wabah covid-19 menghendaki untuk tetap berada di rumah, menjadi wahana tepat untuk mendidik mereka menjadi manusia sabar dan tekun beribadah dalam hidupnya.
Ajaran agama kita menganjurkan yang demikian sebagaimana termaktub dalam Q.S. Al-Baqarah 45: mintalah tolong kepada Allah dengan sabar dan sholat. Sebagian ulama’ menafsirkan bahwa sabar yang dimaksud adalah puasa, karena memang as-Shoum nisfus shobri: puasa itu sebagian dari kesabaran. Wallahu a’lam.*
*Guru Sekolah Indonesia Kuala Lumpur & Sekretaris Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Malaysia.
FREE ONGKIR. Belanja Gamis syari dan jilbab terbaru via online tanpa khawatir ongkos kirim. Siap kirim seluruh Indonesia. Model kekinian, warna beragam. Adem dan nyaman dipakai.
http://beautysyari.id
Di sini tempatnya-kiosherbalku.com. Melayani grosir & eceran herbal dari berbagai produsen dengan >1.500 jenis produk yang kami distribusikan dengan diskon sd 60% Hub: 0857-1024-0471
http://www.kiosherbalku.com
Mau penghasilan tambahan? Yuk jadi reseller tas TBMR. Tanpa modal, bisa dikerjakan siapa saja dari rumah atau di waktu senggang. Daftar sekarang dan dapatkan diskon khusus reseller
http://www.tasbrandedmurahriri.com
Suplier dan Distributor Aneka Obat Herbal & Pengobatan Islami. Melayani Eceran & Grosir Minimal 350,000 dengan diskon s.d 60%.
Pembelian bisa campur produk >1.300 jenis produk.
http://www.anekaobatherbal.com