Senin, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 16 Maret 2020 18:14 wib
3.232 views
Mengurai Benang Kusut Korupsi
Oleh:
Aishaa Rahma
Founder Sekolah Bunda Sholihah
INDONESIA benar-benar dihantam persoalan di segala lini. Belum reda kasus covid-19, sudah disusul dengan wabah DBD yang mulai memakan korban jiwa. Dalam hal ini, pemerintah dihadapkan pada permasalahan yang membutuhkan penanganan cepat. Belum lagi perburuan kasus korupsi yang melibatkan para elite politik, turut menambah keruh keterpurukan bangsa ini.
Melansir dari Antara news.com. Kejaksaan Agung memasang plang penyitaan di 87 lahan yang diduga merupakan aset milik para tersangka kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) Tbk. Aset akan disita sebagai barang bukti. Selain aset tanah, Kejagung juga menyita tiga kendaraan yaitu satu Toyota Vellfire, satu Toyota Alphard dan satu sedan Toyota Lexus. Penyidik Korps Adhyaksa juga menyita pengembalian uang jasa manajer investasi yang mencapai Rp53,54 miliar.
Kejaksaan Agung telah menetapkan status tersangka terhadap enam orang dalam penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan dan dana investasi PT Asuransi Jiwasraya (PT. AJS). Diantaranya adalah Komisaris PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro, Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) Heru Hidayat, mantan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya Harry Prasetyo, mantan Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya Hendrisman Rahim dan mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan PT Jiwasraya Syahmirwan dan Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto.
Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kerugian negara akibat kasus korupsi Jiwasraya mencapai sebesar Rp16,81 triliun. Namun total aset yang telah disita Kejagung dari para tersangka baru Rp13,1 triliun. Penyidik terus mengejar aset para tersangka hingga ke luar negeri. (14/3).
Nampaknya, Korupsi semakin menggurita hampir di semua pilar baik legislatif, eksekutif ataupun yudikatif. Bahkan, di berbagai periode pemerintahan, hampir semua pemimpin lembaga tinggi negara terjerat kasus korupsi. Tercatat dalam periode 2014-2019, sejumlah 23 anggota DPR pusat turut terseret kasus korupsi. Adapun ICW mencatat KPK telah menangani 62 kasus dengan 155 tersangka pada 2019 lalu. (Kompas.com 18/2/2020).
Lantas bagaimana mengurai benang kusut kasus rasuah yang tidak ada habisnya ini? Mampukah kepemimpinan presiden Jokowi memberantas para bandit negeri dan menegakkan hukum yang tengah hilang wibawanya akibat oknum yang licin untuk diadili? Semoga saja tidak menghilang seperti kasus mega korupsi lainnya yang senyap tanpa bekas.
Hukum Masih Belum Menjadi Panglima
Penegakan hukum (law enforcement) yang seharusnya menjadi program utama dan prioritas di negeri ini masih jauh dari harapan. Tujuan hukum yang menjamin rasa aman dan keadilan di negeri ini belum bisa diwujudkan secara optimal, namun hanya samar-samar saja. Terbukti dari banyaknya aparat hukum serta wakil rakyat yang terlibat suap dan korupsi. Dari dulu hingga sekarang persoalan ini tak kunjung berhenti.
Setidaknya ada lima faktor yang sangat menentukan dalam konteks penegakan hukum. Yakni, 1) hukum, 2) penegak hukum, 3) kesadaran hukum, 4) budaya hukum dan 5) fasilitas hukum. Kelima komponen tersebut merupakan bagian integral dari sistem penegakan hukum. Akan tetapi, komponen yang paling utama untuk terciptanya penegakan hukum tersebut tentu berada di tangan para penegak hukum itu sendiri.
Sejak reformasi bergulir, begitu banyak sorotan dalam penegakan hukum di Indonesia. Sebab, para penegak hukum sibuk berwacana dengan gagasan-gagasan tampilnya hukum sebagai panglima di negeri ini.
Pernyataan penegak hukum sering muncul antara lain menginginkan hukum berlaku pada semua orang tanpa pandang bulu. Namun, ketika penguasa, pejabat atau elite politik negeri ini yang tersangkut kasus hukum, penegak hukum begitu gamang ditambah proses pemeriksaannya amat lama dan melelahkan. Bahkan, banyak vonis yang dijatuhkan dengan bebas seperti kasus Gayus Tambunan beberapa waktu lalu.
Hal ini berbeda bila yang tersenggol kasus hukum hanya rakyat biasa. Kewibawaan hukum tampak tegas dan galak tanpa melewati proses yang panjang. Padahal, pasal 2 KUHP mengatakan bahwa aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan hukum pidana di dalam wilayah Indonesia. Dengan memperhatikan pasal tersebut, seharusnya jelas bahwa hukum berlaku juga bagi penguasa, pejabat maupun elite politik negeri ini.
Kembali pada persoalan hukum sebagai panglima. Jika berbicara hukum sebagai panglima tentu saja perwujudan keadilan menjadi barometernya. Hal ini sesuai dengan amanat UUD 1945 yang menjelaskan bahwa negara berdasarkan atas hukum (rech state), bukan pada kekuasaan (mach state). Maka sudah semestinya dimulai dari penegak hukum sendiri.
Oleh karenanya, agar hukum menjadi panglima tertinggi tanpa terpengaruh oleh kekuatan manapun, maka diperlukan institusi yang spesifik bertugas menjadikan hukum sebagai panglima.
Sistem Demokrasi Lemah Mengatasi Korupsi
Korupsi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sistem demokrasi. Sebab, sistem politik demokrasilah yang menciptakan habitat politik menjadi lahan subur korupsi. Hal ini wajar, sebab untuk terjun sebagai politisi memerlukan modal yang besar bagi diri sendiri maupun dibiayai oleh cukong-cukong politik. Sehingga amat jarang yang betul-betul terjun untuk mengayomi rakyatnya, yang terjadi ketika berkuasa malah berlomba untuk mengembalikan uang modal politik tersebut. Sebab gaji dan tunjangan jauh dari cukup, otomatis sebagai balas budi pada cukong yang mendanainya, jalan termudah melalui celah korupsi. Hal inilah akar yang sulit untuk diakhiri.
Akan berbeda jika menggunakan sistem aturan Islam. Yang mana, sebagai panglima tertinggi hukumnya ada pada syariah. Sebab, sesungguhnya di dalam Al Qur'an telah menegaskan bahwa hak membuat hukum hanyalah milik Allah SWT. Bukan ditangan sekelompok manusia, meskipun mengatasnamakan rakyat.
Firman Allah SWT:
Keputusan membuat hukum itu hanyalah milik Allah. (QS Yusuf 12: ayat 40).
Oleh karena itu, tidak ada jalan lain yang dapat memutus mata rantai korupsi ini selain kembali menerapkan syariah Islam secara menyeluruh di bawah sistem kepemimpinan Islam, dengan totalitas sebagai bukti keimanan dan wujud ketaqwaan umat Islam yang mendatangkan kebaikan. Kepada umat manusia.
Maka, sudah saatnya menggeser pemikiran agar tidak terpaku pada aturan buatan manusia. Negeri ini digdaya bila dikelola dengan sistem yang mampu menjaga serta menjauhkan dari tindak praktik korupsi. Yakni, aturan yang memiliki sangsi tegas terhadap para pelanggar, dan memberi efek jera. Hal tersebut sangat mungkin diwujudkan apabila syariah sebagai hukum tertinggi dalam menyelesaikan berbagai persoalan negeri ini. Wallahu a'lam.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!