Selasa, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 25 Februari 2020 08:26 wib
3.080 views
Mewujudkan Toleransi Beragama Jangan Sekadar Simbol
Oleh:
Asti Marlanti, S.Pt, Kolumnis
BARU-BARU ini Indonesia dihebohkan dengan berita pembangunan Terowongan Silaturahmi. Sebuah terowongan yang akan menghubungkan antara masjid dan gereja di Jakarta. Wakil Kepala Humas Masjid Istiqlal Abu Hurairah mengatakan bahwa ikon toleransi di Indonesia memang diperlukan, sehingga direncanakanlah pembangunan Terowongan Silaturahmi yang akan masuk dalam tahap kajian detail.
“Terowongan itu nanti bisa jadi ikon toleransi di Indonesia,” kata Abu saat dihubungi Republika, Jumat (7/2).
Seperti diketahui, Presiden Jokowi pun telah menyepakati proyek renovasi Masjid Istiqlal. Di dalamnya dimasukkan rencana pembangunan Terowongan Silaturahmi yang menghubungkan dua tempat ibadah dari agama yang berbeda.
Sebetulnya jika diperhatikan, rencana pembangunan Terowongan Silaturahmi ini memperlihatkan ketidakmampuan pemerintah memahami persoalan intoleransi.
Buktinya lembaga Imparsial mencatat setidaknya 31 kasus intoleransi terjadi sepanjang November 2018-November 2019. Kasus pelarangan ibadah cukup menonjol, terutama di Jakarta dan Jawa Barat. Selama periode pertama pemerintahan Joko Widodo, kasus intoleransi seperti itu sudah sering muncul dan seolah-olah dibiarkan saja berlangsung hingga kini. Sehingga, proyek terowongan yang akan menghubungkan Masjid Istiqlal dengan Gereja Katedral ini hanyalah upaya semu untuk menjaga kerukunan umat beragama.
Persoalan yang serius ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan membangun simbol seperti Terowongan Silaturahmi. Bahkan negeri ini sudah memiliki slogan yang menyerukan pentingnya sikap toleransi, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Namun bagaimana hasilnya? Hanya dijadikan sebagai slogan dan jargon semata. Sangat miris!!
Menurut Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, masyarakat membutuhkan silaturahmi dalam bentuk infrastruktur sosial, bukan dalam bentuk infrastruktur fisik berupa terowongan. Selain itu, Sekretaris Umum Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Gomar Gultom juga mempertanyakan urgensi membuat terowongan tersebut. Menurutnya, simbol-simbol yang dibangun itu tidak mengatasi beragam kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia. Kebutuhan urgen bagi bangsa ini adalah mengatasi masalah intoleransi, bukan sekadar simbol semata.
Sebetulnya, Islam adalah role model terbaik dalam masalah toleransi. Sejak masa Nabi saw. dan Khulafaur Rasyidin, Islam tidak pernah bermasalah dengan pluralitas dan “toleransi”. Islam mengatur keragaman dan perbedaan secara sempurna.
Dalam sejarahnya yang panjang, kaum Muslim telah membuktikan keunggulan syariah Islam dalam menyelesaikan problem keragaman dan perbedaan serta permasalahan cabangnya. Dalam praktiknya, kaum Muslim tidak memaksa orang kafir masuk Islam (QS 2: 256). Orang kafir dibiarkan menjalankan peribadahan sesuai agama dan keyakinan mereka. Kaum Muslim juga dilarang mencela sesembahan agama lain tanpa dasar ilmu (QS 6: 108). Islam memerintahkan kaum Muslim berdiskusi dengan orang-orang kafir dengan cara yang makruf (QS 29: 46). Kaum Muslim juga diperintahkan memenuhi hak-hak orang kafir dalam batas-batas yang telah ditetapkan Islam. Di dalam kitab-kitab fikih dijelaskan kedudukan, hak-hak dan perlakuan terhadap orang-orang kafir yang hidup di dalam Negara Khilafah.
Oleh karena itu, dalam praktiknya, kaum Muslim tidak pernah memiliki 'problem toleransi'. Mereka sudah terbiasa hidup dalam kemajemukan. Mereka memiliki tradisi toleransi yang tinggi. Mereka biasa memperlakukan orang-orang yang berbeda keyakinan dan agama dengan santun, adil dan manusiawi.
Rasulullah dan para sahabat adalah teladan yang paling baik. Rasulullah Saw tidak pernah membeda-bedakan perlakuan atas dasar suku ataupun agama. Setiap memotong kambing, beliau selalu membagikannya kepada tetangganya terlebih dahulu, termasuk orang-orang Yahudi. Beliau juga menjenguk kaum Yahudi yang sakit, memberi hadiah, juga bermuamalah melalui jual beli dan berbagai hubungan sosial lainnya.
Teladan yang sama ditunjukkan pula oleh Umar bin Khaththab. Satu waktu, ketika menjabat sebagai khalifah, Umar didatangi seorang Yahudi yang terkena penggusuran oleh seorang Gubernur Mesir, Amr bin ‘Ash, yang bermaksud memperluas bangunan sebuah masjid. Meski mendapatkan ganti rugi yang pantas, sang Yahudi menolak penggusuran tersebut. Ia datang ke Madinah untuk mengadu kan permasalahan tersebut pada Khalifah Umar.
Seusai mendengar ceritanya, Umar mengambil sebuah tulang unta dan menorehkan dua garis yang berpotongan: satu garis horizontal dan satu garis lainnya vertikal. Umar lalu menyerahkan tulang itu pada sang Yahudi dan memintanya untuk memberikannya pada Amr bin ‘Ash. “Bawalah tulang ini dan berikan kepada gubernurmu. Katakan bahwa aku yang mengirimnya untuknya.”
Meski tidak memahami maksud Umar, sang Yahudi menyampaikan tulang tersebut kepada Amr sesuai pe san Umar. Wajah Amr pucat pasi saat menerima kiriman yang tak di duga nya itu. Saat itu pula, ia mengembalikan rumah Yahudi yang digusunya.
Terheran-heran, sang Yahudi ber tanya pada Amr bin ‘Ash yang terlihat begitu mudah mengembalikan rumahnya setelah menerima tulang yang dikirim oleh Umar. Amr menjawab, “Ini adalah peringatan dari Umar bin Khaththab agar aku selalu berlaku lurus (adil) seperti garis vertikal pada tulang ini. Jika aku tidak bertindak lurus maka Umar akan memenggal leherku sebagaimana garis horizontal di tulang ini.”
Kisah-kisah teladan Rasulullah SAW dan sahabat Umar tersebut menunjukkan betapa ajaran Islam menganjurkan perlakuan yang toleran terhadap pemeluk agama lain. Hal ini membuktikan bahwa dengan syari'at Islam, maka sikap toleran itu akan terwujud dalam tubuh masyarakat. Wallaahu a'lam bishshawab.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!