Jum'at, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 18 Oktober 2019 19:05 wib
7.581 views
Siapakah Pengkhianat Negara Sesungguhnya?
Oleh: Widiani Suryaningsih
Di tengah maraknya aksi demonstrasi mahasiswa di berbagai daerah akhir September lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengeluarkan pernyataan dalam pidatonya di hadapan mahasiswa Politeknik Keuangan Negara Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (PKN STAN) dalam acara Studi Perdana Memasuki Kampus.
Sri Mulyani meminta para mahasiswa untuk tidak berkhianat kepada negara, "Kalian sekolah di PKN STAN dibiayai oleh negara, yang berasal dari uang rakyat. Jadi, jangan pernah kalian menjadi pengkhianat Republik Indonesia."
Pernyataan dengan tema serupa pernah beliau sampaikan di wisuda akbar STAN di ICE BSD, Tangerang. Sembari memberi selamat kepada 4.436 wisudawan sekolah ikatan dinas ini, ia meminta alumni tidak mengkhianati Indonesia.
“Anda semua adalah produk sah negara. Jadi, dalam konteks ini Anda adalah harapan dan miniatur Indonesia. Kita mendidik seluruhnya. Saya harap kesadaran Anda semua, jangan pernah mengkhianati Indonesia karena Anda adalah anak kandung Republik Indonesia."
Pernyataan-pernyataan Sri Mulyani tersebut memunculkan dugaan, hal tersebut disampaikan agar mahasiswa ikatan dinas yang dibiayai negara tidak etis-tidak pantas untuk ikut serta dalam demonstrasi mengkritik pemerintah.
Jika merujuk pada esensi dilakukannya demonstrasi para mahasiswa di berbagai daerah yaitu tuntutan pada pemerintah dan DRP agar menunda dan membahas ulang beberapa RUU di antaranya RUU KPK, RUU KUHP, RUU PKS, RUU Agraria dan RUU Ketenagakerjaan yang dianggap bermasalah, melemahkan fungsi institusi tidak adil bagi rakyat juga terkait isu lingkungan dan kriminalisasi aktivis, apakah dikatakan bahwa demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa tersebut sebagai bentuk pengkhianatan kepada negara?
Demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa justru merupakan suatu upaya untuk meminimalisir terjadinya pengkhianatan terhadap negara yang dilakukan oleh para koruptor yang menggunakan uang negara yang asalnya dari rakyat untuk memperkaya dirinya, pengusaha yang menguras sumber daya alam Indonesia demi kepentingannya sendiri dan menyisakan kerusakan alam yang membahayakan kelangsungan hidup masyarakat Indonesia, yang kaya makin kaya, yang miskin makin merana, kesenjangan, ketimpangan dan ketidakadilan terpampang nyata.
Sebenarnya, itu bentuk peringatan pada penguasa atas abainya mereka mengurus negeri ini, menyuarakan tuntutan dan mengharapkan perubahan. Mendapati bahwa pemerintah telah gagal mengelola negara; empat tahun berkuasa, perekonomian bangsa porak poranda; jumlah utang menggila adalah wujud kepedulian dan kasih sayang bukan pengkhianatan!
Sejatinya, mahasiswa adalah penggerak yang mengajak seluruh masyarakat untuk dapat bergerak dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, dengan pertimbangan berbagai ilmu, gagasan, serta pengetahuan yang mereka miliki.
Bukan saatnya lagi berdiam diri dan tidak peduli dengan permasalahan bangsa dan juga negaranya, karena di pundak mereka titik kebangkitan suatu negara atau bangsa diletakkan. Mahasiswa akan tetap tampil di depan menyuarakan kebenaran. Meski pemerintah saat ini seakan tidak menyadari, sikap represif yang ditunjukkan justru tidak akan pernah bisa membungkam mulut rakyat.
Berharap pada para politisi, para petinggi negeri, serta jajarannya, bukan perubahan hakiki yang didapatkan. Nyatanya masalah negeri tak kunjung selesai di tangan mereka. Mereka seolah tidak memiliki pilihan yang objektif untuk membantu masyarakat dalam memahami perubahan situasi politik yang sebenarnya. Justru memunculkan huru hara sebagai upaya menghambat terbentuknya kecerdasan politik masyarakat.
Keberadaan para koruptor dan penguasa antek asing akan senantiasa hidup selama sekularisme kapitalis ditegakkan. Eksistensi mereka sebagai pengkhianat sebenarnya akan terus langgeng karena hukum tidak tegas pada mereka. Masihkah kita berharap pada sistem sekuler kapitalis, yang telah gagal mengurus negeri ini?
Kembalilah pada Islam, Islam yang dibangun berdasarkan akidah Islam dan ketakwaan kepada Allah. Faktor akidah dan ketakwaan kepada Allah ini terbukti telah membentuk self control, yang menjadikan para pejabat tidak bisa disuap. Jika mereka mendapatkan apa yang bukan menjadi hak mereka, segera mereka serahkan kepada negara meski tak seorang pun mengawasi mereka. Karena ada Allah yang Maha Melihat dan Mendengarkan tingkah laku mereka.
Sementara, orang yang telah dinyatakan sebagai tersangka korupsi lantaran kejahatan yang dilakukannya, maka sesungguhnya ia telah kehilangan salah satu kriteria yang menjadikannya layak sebagai pejabat, yaitu adil dan tidak fasik.
Fasik adalah orang yang melakukan kejahatan dengan terang-terangan dan tidak mempunyai rasa malu. Karena itu, para koruptor ini sebenarnya merupakan orang-orang fasik, yang tidak layak menjadi pejabat publik.
Khalifah Umar bin Khaththab pernah membuat kebijakan agar kekayaan para pejabatnya dihitung, sebelum dan setelah menjabat. Jika ada selisih positif setelah dikurangi gaji selama masa jabatannya, maka beliau tidak segan-segan untuk merampasnya. Beliau juga mengangkat pengawas khusus, yaitu Muhammad bin Maslamah, yang bertugas mengawasi kekayaan para pejabat.
Berdasarkan laporannya, Umar kemudian membagi kekayaan Abu Hurairah (Gubernur Bahrain), Amru bin Ash (Gubernur Mesir), Nu’man bin Adi (Gubernur Mesir), Nafi’ bin Amr al-Khuzai (Gubernur Makkah) dan lain-lain. Pada masa kepemimpinannya, beliau juga melarang para pejabat berbisnis agar tidak ada konflik kepentingan. Dapat dipastikan, Anggaran Belanja Negara Islam untuk pembangunan daerah sesuai kebutuhan, bukan karena potensi kekayaan daerah.
Sudah selayaknya kita mengharapkan dan merindukan hidup dalam pengurusan sistem Islam, yang memastikan tidak akan ada tempat bagi para pengkhianat negara, yaitu para koruptor, pengusaha-pengusaha tamak dan penguasa antek asing.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!