Ahad, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 22 September 2019 19:24 wib
4.470 views
Korupsi; Extra Ordinary, Ordinary atau Orderan?
Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik)
Kisruh KPK disebabkan oleh intervensi dan keinginan elit tertentu untuk merevisi atau mengubah "gender" KPK.
Elemen masyarakat baik ormas, perguruan tinggi, maupun mahasiswa mereaksi untuk mencegah perubahan itu. Sementara DPR sebagai pengaju "bulat" setuju pada revisi. Bola di tangan Pemerintah dan diduga satu paket dengan DPR maka Presiden setuju dengan revisi.
Melihat konten revisi banyak pihak menilai ini adalah langkah Pemerintah dan DPR untuk "membunuh" KPK.
Korupsi sendiri diatur sebagai tindak pidana khusus. Lembaga KPK diberi kewenangan untuk menyidik dan menuntut sebab korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). Pola dan besaran tidak sama dengan delik penggelapan, pencurian ataupun perampokan. Korupsi melekat dengan kolusi dan jabatan jabatan.
Uang rakyat atau negara hilang dan "digasak habis". Sebagai kejahatan "extra ordinary" korupsi sama dengan kejahatan berbahaya lain seperti genosida atau terorisme. Karenanya di samping lembaga memiliki prosedur khusus juga jaminan independensi pengusutan. Banyak pejabat tingkat pusat maupun daerah terciduk kasus "extra ordinary" korupsi oleh KPK tersebut.
RUU Revisi UU KPK direaksi keras publik karena substansinya memereteli kewenangan dan independensi KPK. Bahkan penyidikan dan penuntutan pun mesti kembali ke proses biasa yang dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan.
Belum lagi persoalan SP3 dan Dewan Pengawas yang bisa masuk ke aspek teknis. Pengubahan "gender" seperti ini menyebakan korupsi menjadi kejahatan biasa (ordinary crime). Pelemahan aturan perundang undangan membuat KPK tidak memiliki kewenangan independen yang efektif.
Menurut Ketua KPK baru Irjen Pol Firli Bahuri "Sebagai lembaga negara KPK harus tunduk pada Presiden". Mantan Penasehat KPK Abdullah Hehamahua dengan sinis meminta lebih baik KPK bubar daripada dikebiri. Kepolisian menyatakan korupsi kecil tidak perlu dipidana. Rupanya dapat dianggap sebagai "pencurian ringan" dalam pidana umum (ordinary crime).
Konsekuensi lain adalah proteksi politik untuk pelaku tindak pidana korupsi. Dan inilah yang dikhawatirkan publik hingga diprotes secara luas. Bukan gejala tapi sudah terbukti korupsi itu dapat pula "by order". Orderan yang aneh tapi nyata.
Ini yang jauh lebih berbahaya. Modusnya adalah kekuatan politik, Partai Politik misalnya, berjuang mati matian untuk menempatkan kader kadernya di lembaga pemerintahan apakah Menteri, Dirjen, Komisaris BUMN atau jabatan strategis lainnya dengan misi khusus untuk melakukan pengisian pundi pundi dana Partai Politik.
Dengan demikian korupsi itu adalah "orderan crime". Pelaku semaksimal mungkin dilindungi oleh kekuasaan berdasarkan komitmen kepentingan bersama.
Pergeseran status korupsi dari kejahatan "extra ordinary" menjadi "ordinary" dan akhirnya menjadi "orderan" seperti inilah yang sangat mungkin terjadi dari misi revisi UU KPK, Ketua KPK dari Kepolisian, terbuka SP3, serta Presiden yang memiliki kewenangan kuat untuk "melindungi" secara sistematis dan "terselubung".
Memang kini tak ada pilihan lain bagi rakyat dalam kaitan dengan persoalan kisruhnya regulasi maupun personalia pimpinan KPK ini selain gagalkan revisi atau gagalkan "dirty mission" Presiden dan lingkarannya bersama DPR. Upaya ini adalah misi suci penyelamatan masa depan pemberantasan korupsi.
Bila tak berhasil, maka siap siaplah kita untuk memiliki pemerintahan dan parlemen yang memelihara dan menumbuhkembangkan korupsi. Korupsi dianggap menjadi moral umum. Kelak muncul slogan bahwa hanya orang gila yang tidak melakukan korupsi.
Hancur bangsa dan negara karena ulah pemimpin yang bodoh, jahat dan terbalik balik. Pemakan duit haram.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!