Rabu, 26 Jumadil Awwal 1446 H / 21 Agutus 2019 22:47 wib
4.866 views
Demokrasi bukan Habitat Umat Islam
Oleh:Hana Annisa Afriliani, S.S
Hampir 100 tahun kita hidup dalam bingkai sistem demokrasi, mulai dari demokrasi terpimpin, demokrasi parlementer, hingga demokrasi pancasila. Dan selama itu pulalah berbagai kebobrokan tercipta di depan mata. Hal tersebut merupakan implikasi dari diterapkan sistem demokrasi yang terbukti gagal mewujudkan kesejahteraan dan keadilan di tengah masyarakat. Apa buktinya?
Demokrasi secara asasi bertentangan dengan syariat Islam. Dalam demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat. Hal tesebut jelas bertentangan dengan syariat Islam yang menganggap bahwa kedaulatan berada di tangan syara. Tidak ada yang berhak membuat hukum selain Allah semata. ”Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik”. (Qs. Al-An’am : 57)
Selain itu, demokrasi mengusung empat pilar kebebasan, yakni kebebasan berpendapat, berperilaku, berkepemilikan dan beragama. Sedangkan Islam tak mengenal kebebasan. Setiap Muslim selayaknya terikat dengan hukum syara. Maka ide kebebasan (liberalisme) yang diajarkan sistem demokrasi, hakikatnya bukanlah berasal dari Islam.
Dalam Islam, tidak dibenarkan bebas berpendapat, apalagi jika pendapatnya bertentangan dengan syariat. Adapun dalam demokrasi, berpendapat dibebaskan. Namun ironisnya, kebebasan berpendapat ini hanya berlaku bagi mereka yang sejalan dengan ide sekularisme yang merupakan turunan demokrasi. Maka wajar jika begitu banyak narasi yang menyerang syariat dibiarkan, sedangkan seruan penerapan syariat Islam langsung dipersekusi.
Dalam pandangan Islam, tidak pula dibenarkan bebas berperilaku, karena sejatinya perilaku setiap manusia wajib mengikuti rambu-rambu yang digariskan syariat. Tidak ada istilah Hak Asasi Manusia (HAM) untuk membenarkan perilaku menyimpang individu, sebagaimana yang erdapat dalam demokrasi. Atas nama HAM, setiap orang bebas berperilaku selama tidak mengganggu kepentingan orang lain.
Begitupun dengan kebebasan berkepemilikan, syariat Islam telah memiliki seperangkat aturan soal kepemilikan. Yang mana yang termasuk kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Semuanya jelas diatur dalam Islam. Setiap individu berhak memiliki sesuatu selama syara mengizinkannya, artinya perolehan kepemilikan tersebut dengan cara yang dridai Allah swt, yakni bisa dengan cara bekerja, berburu, mendapat hibah, hadiah, atau warisan. Bukan dengan cara batil seperti korupsi, mencuri, menipu, dll.
Harta yang terkategori kepemilikan umum, seperti tambang emas, energi, listrik, air, haram hukumnya untuk diprivatiasasi. Melainkan wajib dikelola oleh negara dan hasilnya diserahkan untuk kepentingan rakyat. Sangat berbeda dengan konsep kebebasan yang diusung oleh sistem demokrasi. Siapapun boleh memiliki SDA selama ia mampu. Maka wajar jika dalam naungan sistem demokrasi SDA negeri ini dikuasai para koorporat asing dan aseng.
Dalam pandangan Islam pun tidak diperkenankan seorang muslim untuk murtad dari agamanya. Akan ada mekanisme edukasi oleh negara jika ada yang murtad agar ia kembali kepada Islam. Jika mekanisme tersebut tidak mampu membuat dia kembali, maka negara Islam akan melakukan sanksi kepadanya, yakni dibunuh. Begitulah cara Islam menjaga akidah umatnya.
Lain halnya dengan demokrasi, yang menganggap keluarnya seseorang dari Islam merupakan pilihan individu. Negara tak boleh campur tangan. Selain itu, implikasi dari diterapkannya prinsip kebebasan beragama ini juga lahirnya berbagai paham atau aliran sesat dalam beragama, seperti adanya orang-orang yang mengaku nabi, mengadakan ritual-ritual ibadah yang sebetulnya tidak ada dalam ajaran Islam. Ironis!
Begitulah potret buruk wajah demokrasi. Bertentangan dengan syariat Islam, sehingga sampai kapan pun umat tak akan pernah mampu hidup sejahtera di bawah naungannya. Hanya Islam yang merupakan rahmat bagi semesta alam. Diterapkannya aturan Islam secara kaffah, bukan hanya kewajiban tapi juga kebutuhan yang tak bisa ditawar lagi. Karena Islam datang sebagai sebuah sistem kehidupan yang membawa keselamatan bagi seluruh umat manusia. Berada di bawah naungannya adalah sebuah kemuliaan yang hakiki.
Sebagaimana firman Allah swt:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS.Al-A’raf:96)
Dengan demikian, jelaslah bahwa hakikatnya demokrasi bukanlah habitat umat Islam. Hidup di bawah naungan demokrasi membuat umat Islam tak mampu berislam secara kaffah, kecuali hanya sebatas di ranah individu saja. Padahal Allah swt memerintahkan kepada seluruh Muslim untuk berislam secara kaffah. Dalam naungan demokrasi pun umat Islam tak mampu meraih kebahagiaannya yang hakiki, padahal sejatinya kebahagiaan hakiki bagi seorang Muslim adalah rida Allah semata. Lantas bagimana Allah mau rida jika hukum Allah tak diterapkan sebagai aturan kehidupan? (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!