Rabu, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 10 Juli 2019 16:02 wib
5.320 views
Minimnya Peran Negara dalam Arah Pendidikan Islam
MADRASAH RI mendapat kucuran dana pinjaman dari Bank Dunia senilai Rp.3,5 triliun disambut bahagia oleh kemenag (Kementrian Agama). Pinjaman itu akan digunakan untuk meningkatkan mutu Madrasah tingkat dasar dan menengah. Menurut Kemenag, karena keterbatasan dana APBN, pemerintah masih terfokus pada pembangunan sarana fisik, belum kualitas pendidikan (CNNIndonesia.com, 28/06/2019). Benarkah ini sekadar pinjam-meminjam? Di manakah sejatinya peran negara terhadap dunia pendidikan Islam?
No free lunch istilah yang tepat untuk menggambarkan kondisi pinjam-meminjam saat ini. Telah kita ketahui bersama bahwa pinjaman tak sekedar pinjam lantas kembali. Dalam aplikasi Kapitalisme segala sesuatu diukur dengan manfaat dan keuntungan. Para pemodal memberikan pinjaman pasti mengharapkan keuntungan dan manfaat berlipat. Negara peminjam menginginkan sesuatu dari arah pendidikan Islam dari negeri mayoritas Muslim ini.
Minimal ada dua yang diinginkan peminjam; keuntungan bunga yang besar dan kontrol terhadap arah pendidikan. Bunga dalam hal pinjam-meminjam telah menjadi kebiasaan bahkan harus. Ini yang menjadikan penghutang tetap miskin ini bicara di luar hukum syara’, sementara Islam telah melarang keras riba (bunga). Yang kedua, peminjam menjadi pengendali arah pendidikan, ini manfaat jangka panjang. Apa jadinya jika pendidikan Islam negeri ini dikontrol oleh negara Non-Islam?
Faktanya geliat kebangkitan Islam mulai nampak ke permukaan. Penjajahan gaya baru atas nama “memberikan pinjaman” adalah penjajahan paling halus dan sedikit orang menyadari. Muncul kekekhawatiran akut dalam diri penjajah akan tumbuhnya kembali kekuatan-kekuatan Islam, salah satu cara mereka adalah dengan menjauhkan Islam dari pemeluknya. Dengan dalih pinjaman, penjajah bisa mengintervensi arah pendidikan Islam sesuai keinginan mereka. Bagi penjajah, Islam adalah musuh sejati dalam persaingannya. Karena dari pendidikan Islam ini akan lahir bibit-bibit unggul yang kelak akan menjadi pengemban Islam ke seluruh dunia. Jika hal ini tidak sedari dini dibabat habis, sangat berbahaya bagi kepentingan negara penjajah. Penjajah akan terus berusaha melakukan seribu cara untuk menghalangi Islam memimpin dunia.
Torehan sejarah, Islam telah berhasil menaklukkan negara-negara kuat (Romawi, Persia, dan lain-lain) dan hal ini sangat tidak diinginkan oleh penjajah. Jika Islam berkuasa, mereka tidak punya kesempatan sebesar tepung terbangpun untuk menjarah kekayaan negeri-negeri Muslim. Pada dasarnya, mereka memberi pinjaman yang cukup besar itu sebagai alat untuk bisa mengontrol arah pendidikan Islam. Demikian hakikat hutang tidak menjadikan yang dihutangi bebas.
Lantas di manakah kesungguhan pemerintah Indonesia terhadap dunia pendidikan? Padahal negara sejatinya yang mengurusi seluruh kebutuhan rakyatnya, memenuhi hak-hak rakyatnya dan memberi kesejahteraan. Pendidikan adalah kunci negara ini bisa bangkit. Jika kualitas pendidikan jauh dari ideal, bagaimana output (keluaran) bisa membawa negeri ini kepada kemajuan? Selama ini arah pendidikan diukur seberapa mampu peserta didik bersaing dalam pasar internasional.
Kurikulum berkali-kali diubah demi mengikuti standard Kapitalisme yang sejatinya hanya memperalat manusia-manusia yang dijajah guna memenuhi kebutuhan penjajah. Alhasil, peserta didik yang seharusnya menjadi generasi terdepan membawa kebangkitan justru mengikuti arus penjajahan. Generasi Muslim mempunyai tujuan hidup yang jelas yakni mengabdi kepada Islam. Sudah menjadi kewajiban negara mempermudah sarana-sarana generasi Muslim memperdalam pengetahuan Islamnya.
Bila negeri ini menginginkan generasi terbaik dan unggul, bukan bercermin pada pendidikan negara mayoritas non-Muslim, mereka hanya punya satu tujuan ingin menguasai dunia. Sementara Islam menginginkan mulia di dunia selamat di akhirat.
Negara yang tidak berbasis Islam sangat jauh berbeda dengan yang berbasis Islam. Jika Islam menjadi sandaran, pasti akan membentuk negara yang bertanggung jawab. Bagaimana pemerintahan Islam telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan yang membuat takjub negara-negara tetangga, yang sempat menyandang Golden Age (masa keemasan) yang diakui oleh ilmuwan non-Muslim bahwa Islam telah berjasa kepada kebangkitan Eropa.
Dalam buku Robert Stephen Briffault (1876-1948) Making of Humanity : “Ilmu pengetahuan adalah sumbangan peradaban Islam yang maha penting kepada dunia modern... Utang ilmu pengetahuan kita kepada ilmu pengetahuan bangsa Arab tidak tergantung kepada penemuan-penemuan teori yang revolusioner: ilmu pengetahuan berutang besar sekali kepada kebudayaan Islam.” Ini menjadi bukti nyata hanya dengan menjadikan Islam sebagai sandaran dunia bertekuk lutut.
Mendongkrak mutu pendidikan hanyalah kedok penjajahan guna menguatkan intervensi tangan-tangan penjajah. APBN tak memenuhi, hanyalah cerita, sementara dana yang dikorupsi mencapai triliunan. Pemerintah sendiri juga tak begitu sungguh-sungguh mengemban tanggung jawabnya. Hutang bukanlah solusi, karena negeri ini hanyalah pengekor, keinginan penjajah selalu dianak emaskan. Sistem ekonomi berbasis kapitalisme telah menjadikan negeri ini bak budak di negerinya sendiri. Tak punya otoritas mengolah kekayaan alamnya yang melimpah. Padahal dari kekayaan lautnya saja cukup untuk menghidupi seluruh rakyat, jika benar cara pengolahannya. Apalagi sekedar biaya untuk kemajuan dunia pendidikan.
Islam telah memberikan cara mengatur perekonomian yang benar, yaitu kekayaan alam harus dikelola sendiri bukan diserahkan ke asing. Sehingga pemasukan kas negara bukan dari pajak dan hutang. Inilah bukti kegagalan mendasar dari aturan yang diterapkan oleh negeri yang konon mayoritas Muslim.
Maka jalan hutang adalah jebakan mematikan. Penjajah gaya mulus ini selain memeras keuntungan, juga ingin menghancurkan generasi Muslim dari Islam.*
Zaynab
Alumni UINSA Surabaya, Jawa Timur
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!