Jum'at, 26 Jumadil Awwal 1446 H / 5 Juli 2019 21:40 wib
3.378 views
Dekrit 5 Juli dan Prabowo
Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik)
Ketika perjuangan belum berakhir, Prabowo harus terus melangkah sebagai "Presiden de facto" melakukan konsolidasi intensif pada pendukung baik partai, relawan, maupun rakyat.
Momentum harus terus dimanfaatkan optimal. Tentu hal ini untuk membangun politik yang sehat dalam perjuangan menegakkan kebenaran dan mengalahkan segala bentuk kelicikan dan kecurangan.
5 Juli 1959 enam puluh tahun yang lalu adalah Dekrit Presiden. Soekarno mendekritkan pembubaran Konstituante, kembali ke UUD 1945, dan Pembentukan MPRS dan DPAS. Dekrit Presiden adalah momentum bagi Soekarno melangkah dalam model Demokrasi Terpimpin. Menembus kebuntuan sidang Konstituante.
Tanpa menilai efek pasca dekrit, namun kecerdasan politik Soekarno patut dipuji. Ia melihat ada kesempatan untuk mengambil kebijakan politik strategis dengan berani.
Kembali ke UUD 1945
Kini sebagai "Presiden Rakyat" semestinya Prabowo mengambil langkah strategis kenegaraan yang dapat memandu perjuangan rakyat. Dengan berani. Apakah butir dekrit kembali ke UUD 1945 itu bagus dan strategis bisa dipertimbangkan.
Hal ini disebabkan kebijakan ekonomi, politik, dan hukum Pemerintahan dianggap telah melenceng dari UUD 1945. UUD 1945 yang diamandemen berulangkali tidak menjadi solusi justru dimanfaatkan sebagai fondasi kebijakan otoritarian.
Tegakkan kedaulatan Negara
Begitu juga soal kedaulatatan negara (state souvereignity) bisa dilempar sebagai butir dekrit. Kebijakan pemerintah yang condong pada asing (baca RRC) telah memporakporandakan kedaulatan negara. Dengan bahasa investasi atau hutang luar negeri maka negara "tergadai" bahkan "terjual" lalu serbuan tenaga kerja juga cukup memprihatinkan dan membahayakan. Persolan kedaulatan adalah isu kerakyatan yang aktual dan mainstream dari aspirasi.
Benahi penegakkan hukum
Selanjutnya adalah benahi aparat penegak hukum. Hukum yang jadi alat politik harus diakhiri. Saatnya hukum menjadi mandiri dan berwibawa. Sekarang masyarakat sering mencibir masalah hukum dan aparat penegak hukum.
Ini tidak bagus bagi status RI sebagai negara hukum (rechtstaat). Tercitra bahwa Indonesia menjadi negara kekuasaan (machtstaat). Politik yang menjadi panglima sedangkan hukum subordinat. Tegaknya hukum akan memberi kepastian pada demokrasi, pengembangan ekonomi, kemandirian budaya, keamanan beragama serta kebaikan dan kemajuan bidang lainnya.
Nah andai Prabowo memandu perjuangan dengan dekrit yang jelas, efeknya bukan hanya berdampak pada rakyat yang ingin tegaknya kebenaran itu tapi juga Pemerintah tentu akan mengevaluasi penyelenggaraan negara dengan lebih baik.
Dekrit adalah upaya menerobos kebuntuan politik. 5 Juli 1959 enam puluh tahun yang lalu menjadikan Dekrit Presiden sebagai alas dari Demokrasi Terpimpin. Kini Dekrit itu adalah untuk memimpin tegaknya demokrasi !
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!