Sabtu, 4 Jumadil Awwal 1446 H / 18 Mei 2019 14:02 wib
10.168 views
Otokrasi dalam Demokrasi
Oleh: M Rizal Fadillah
Otokrasi dan demokrasi adalah dua hal yang berbeda dan biasa berposisi diametral. Berlawanan dan pilihan asas dalam sistem politik. Akan tetapi dua hal yang berhadap hadapan tersebut sering dipraktekkan tidak demikian. Negara komunis sering menyebut dirinya sebagai negara yang paling merakyat.
Cina negara otokrasi menyebut dirinya "People Republic". Sudah "res publica" ditambah "people" lagi. Kurang apa. Tapi semua tahu negara yang paling otoriter di berbagai belahan dunia adalah negara komunis. RRC adalah contoh nyata.
Indonesia bukan negara komunis, melainkan negara Pancasila. Negara berkedaulatan rakyat, negara yang menganut asas demokrasi. Tak ada tempat bagi kekuasaan yang otoriter. Bahkan eksplisit mengakui kekuasaan dari Tuhan Yang Maha Esa.
Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi Negara dengan sistem politik yang imanen. Yang religius, dimana pertanggungjawaban akhir dari kekuasaan politik adalah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Rakyat pun mengawasi penyelenggaraan kekuasaan dengan nilai-nilai relijiusitasnya itu.
Di tengah proses demokrasi Pemilu untuk memilih Wakil Rakyat dan khususnya menentukan Kepala Pemerintahan, telah terjadi dinamika. Yang menonjol adalah peningkatan tensi otokrasi di tengah pesta demokrasi. Hukum kausalìtas politik menjadi faktor dari dinamika tersebut. Mulainya dari keinginan kuat atau semangat Presiden yang sedang menjabat ingin memperpanjang masa kekuasaannya.
Lalu membuat pranata hukum bersama lembaga pembentuk hukum. Presidential treshold dengan parameter masa lalu sebagai landasan yang memungkinkan muncul kandidat tunggal. Angka persentase tinggi menyulitkan kompetitor muncul. Namun akhirnya dengan susah payah berhasil juga adanya kompetisi.
Presiden tidak cuti, karenanya kompetsi menjadi berat sebelah. Ketidakjujuran juga melekat. Fasilitas digunakan, birokrasi digalang, pengusaha dikonsolidasikan, BUMN diinstruksikan, sembako dibagikan, amplop diselipkan, aparat dikomunikasikan , penyelenggara dibisikkan, lawan dimainkan dan dikecilkan. Presiden bertarung dengan rakyat dan warga negara biasa. Otokrasi di medan demokrasi.
Kini para pengkritisi kecurangan mulai dibungkam dengan berbagai alasan. Takut dan gelisah khawatir bahwa misi untuk memperpanjang kekuasaan gagal. Kejutan-kejutan terjadi. Skenario selalu terkuak dan terganjal. Tidak semulus lima tahun yang lalu.
Ternyata lawan semakin tangguh dan rakyat tidak mudah untuk diiming iming dan dikibuli. Sikap represif adalah pilihan terakhir dengan cara tangkap, periksa, takut-takuti. Bahasakan demi keamanan negara dan kewibawaan penguasa. "Anda telah berbuat makar" Itu bahasa yang memang selalu kemukakan oleh penguasa panik dimana-mana. Otokrasi dalam demokrasi.
Kewajiban kita hanya berjuang dan Allah SWT yang menetapkan hasil. Keadilan dan kejujuran selalu kita dengungkan untuk melawan berbagai kecurangan, kebatilan, dan kezaliman baik di bidang budaya, ekonomi, maupun politik. Inilah misi moral bersama.
Kita ingat ucapan Lucius Calpurnius Piso yang kemudian menjadi frasa hukum "Fiat Justitia Ruat Caelum" Tegakkan keadilan walaupun langit akan runtuh! Kita lawan otokrasi dalam demokrasi. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!