Rabu, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 6 Maret 2019 14:04 wib
4.613 views
Media Massa, Corong Penguasa Mengobral Janji
Oleh: Siti Aisyah (Koordinator Komunitas Muslimah Menulis)
Peringatan Hari Pers Nasional, di Surabaya 9 Februari (HPN) 2019 lalu telah digelar. Tak ketinggalan, Presiden Jokowi hadir serta mendapatkan penghargaan medali kemerdekaan pers oleh Dewan Pers.
Pesan Jokowi dalam acara tersebut, media harus terus mengedukasi masyarakat, memberitakan informasi dan kritik yang membangun, serta menjadi penjernih atau penyaring informasi, di tengah gencarnya informasi bohong yang beredar di dunia maya.
Pasalnya, Jokowi menilai informasi yang berkembang di media sosial semakin tidak dipercaya masyarakat. Sebaliknya, masyarakat cenderung merujuk pada informasi yang disajikan media massa arus utama.
Tak ingin dianggap membual, lantas Jokowi menyajikan sejumlah data berdasarkan penelitian Trust Barometer 2018. Mengutip riset itu, Jokowi menyebut media arus utama ternyata tetap lebih dipercaya dibandingkan medsos. Namun, ungkapkan Jokowi itu tidak semanis dengan realitanya. Justru media arus utama dan media sosial juga oleh Jokowi dijadikan alat untuk kampanye terselubung.
Kita bisa cermati,dalam masa kampanye pilpres 2019,sejumlah strategi dari capres Jokowi terlihat memanfaatkan media untuk kampanyenya. Sejak 23 September 2018 lalu, Jokowi lebih sering tampil dalam acara khusus atau acara non pemberitaan di media sosial seperti Youtube, Facebook, Twitter, Instagram dan sebagainya atau media konvensional seperti televisi, koran, radio, media dalam jaringan/online dibandingkan lawannya dalam Pilpres 2019, Prabowo Subianto.
Banyak sekali tayangan yang memberitakan penampilan Jokowi bersama keluarga di media, salah satu tayangannya seperti, tayangan selebritas Raffi Ahmad, Januari 2019, tayangan Ini Talk Show di Net TV, Januari 2019, tayangan Liga Dangdut 2019 di Indosiar, Februari 2019 dan sebagainya.
Apa maksud dari semua ini? Mengapa di masa-masa kampanye pilpres, Jokowi tampak menampilkan dan membanggakan keluarganya di depan publik? Ya, mungkin, Jokowi dan tim kampanyenya tahu betul akan pentingnya konsep keluarga di Indonesia yang bahagia dan orang bisa melihat keluarga penguasa ini tampak harmonis.
Selain itu, melalui media, pemerintah kerap suka menyebarkan berbagai kebohongan atau hoax terkait kinerjanya. Seperti yang dituturkan oleh Nasruddin Djoha, ia mengungkapkan Jokowi mengumbar kabar bohong, informasi hoax yang bersumber dari data hoax, di antaranya: Pertama, Hoax terkait selama tiga tahun terakhir ini tidak ada kebakaran hutan. Kedua, hoax yang menyebut tidak ada konflik untuk pembebasan lahan Infrastuktur. Ketiga, hoax besaran impor jagung pada tahun 2018 yang disebut hanya 180.000 ton.
Begitu juga, Peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, Rocky Gerung mengungkapkan, “Pembuat hoax terbaik adalah penguasa, karena mereka memiliki seluruh peralatan untuk berbohong. Intelijen dia punya, data statistik punya, media punya. Orang marah, tapi itulah faktanya," ujar Rocky dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) di tvOne, Selasa malam 17 Januari 2017.
Kebohongan-kebohongan dan obral janji penguasa ini, tentunya dibantu oleh tiga pemilik media massa yang telah siap ada di barisan pendukung Jokowi pada pilpres 2019. Pertama, Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem ini adalah pemilik usaha media massa Media Group, baik skala lokal sampai ke nasional dan dari media cetak, elektronik, hingga daring. Di media elektronik, ia memiliki stasiun televisi Metro TV, salah satu televisi swasta terbesar di Indonesia yang telah ada sejak 2000.
Kedua, Hary Tanoesoedibjo, Ketua Umum Partai Persatuan Indonesia (Perindo) sekaligus pemilik usaha media massa MNC Group. MNC Group memiliki anak usaha media massa skala besar dari media cetak, media elektronik, hingga media daring, serta empat stasiun televisi yaitu MNC TV, RCTI, GTV dan iNews TV.
Ketiga, Erick Thohir, pemilik Mahaka Group yang merupakan perusahaan induk yang berfokus di bisnis media massa dan hiburan. Mulai dari media cetak, media elektronik dan media daring. Ia juga Erick pemilik surat kabar nasional harian Republika yang pertama kali terbit pada tahun 1993.
Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Abdullah Rasyid, Wakil Sekretaris Departemen Dalam Negeri Partai Demokrat, “Pers atau media mainstream lebih menjadi corong penguasa yang mengobral janji-janji dan kebohongan,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi rMol.com, Senin (11/2).
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini menjelaskan, pers harusnya bisa menjadi fungsi kontrol bagi pemerintah, penyambung ucapan rakyat, bukannya sebagai watch dog yang mengawasi jalannya pemerintahan. “Ini pula saya kira yang telah membuat kenapa kepercayaan publik kepada media-media mainstream kemudian cenderung melemah dan sumber informasi jadi beralih hampir sepenuhnya kepada 'jurnalisme warga' yang ada di media sosial," sambungnya.
Diakui atau tidak, memang media-media tersebut sebagai corong penguasa ini untuk mengobral janji, banyak pula menerbitkan kebijakan-kebijakan nyleneh, berikut revisi dadakan termasuk tarik ulurnya.
Padahal, dalam melakukan tugasnya, jurnalis mempunyai kode etik tersendiri. Kode Etik Jurnalistik (KEJ) ditetapkan Dewan Pers melalui Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 Tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik yakni memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
Ada 11 pasal dalamKEJ, salah satunya yakni:Pasal 1: Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk. Pasal 2: Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Pasal 4: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul. Pasal 8: Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Dari pasal-pasal di atas jelas sekali, sebuah media massa harusnya dapat menyajikan berita sebagai informasi yang sesuai dengan peristiwa yang terjadi serta gagasannya dapat mencerdaskan. Namun, jika media tersebut menyalahgunakan fungsinya malah dicederai sebagai media provokasi atau dijadikan sebagai corong untuk melakukan kampanye dengan mengobral janji-janji yang tak pasti. Maka ini sudah jelas menyalahi kode etik jurnalistik. Sungguh, ini tidak akan mencerdaskan masyarakat.
Memang begitulah, media dalam sistem demokrasi liberal merupakan alat politik bagi sebuah negara untuk meraih kekuasaannya dengan segala cara. Media juga dapat mempengaruhi kebijakan institusi politik dan dijadikan katalis (penetral) ketika ada masalah. Kaitannya dengan institusi politik, media sebagai alat untuk menyebarkan ideologi dan merangkul massa untuk mendapatkan kekuasaan. Maka, kita bisa lihat, banyak institusi politik berebut menguasai media, karena ‘menguasai media berarti menguasai masyarakat’.
Media dalam Islam
Media massa (wasâ’il al-i’lâm) bagi negara Khilafah dan kepentingan dakwah Islam mempunyai fungsi strategis, yaitu melayani ideologi Islam (khidmat al-mabda’ al-islâmi) baik di dalam maupun di luar negeri (Sya’rawi, 1992: 140).
Di dalam negeri, media massa berfungsi untuk membangun masyarakat islami yang kokoh. Di luar negeri, ia berfungsi untuk menyebarkan Islam, baik dalam suasana perang maupun damai, untuk menunjukkan keagungan ideologi Islam sekaligus membongkar kebobrokan ideologi kufur buatan manusia. (Masyru’ Dustur Dawlah al-Khilâfah, pasal 103).
Kebijakan Khilafah Terhadap Media
Dalam negara Khilafah, Departemen Penerangan (daairat i'lamy) secara khusus menangani media yang bertanggung jawab langsung pada khalifah. Kebijakan terkait media yang dimiliki oleh Khilafah adalah sebagai berikut: Pertama, warga negara boleh mendirikan media tanpa meminta izin negara selama tidak bertentangan dengan akidah Islam. Kedua, dalam pelaksanaannya tidak memerlukan adanya jargon kebebasan pers, namun hanya membutuhkan basis nilai dan ketegasan aturan tentang hak berekspresi publik
Ketiga, Khilafah mengerahkan segenap potensi dana, ahli dan teknologi untuk menangkal masuknya pemikiran, ide serta nilai yang bertentangan dengan akidah Islam via media. Keempat, Khilafah melarang semua konten media yang merusak, baik dalam buku, majalah, surat kabar, media elektronik dan virtual.
Maka, jelas sekali dalam Khilafah Islam, keberadaan media akan sangat bermanfaat sekali untuk menyebarkan dakwah Islam, untuk ber-amar ma'ruf nahi munkar dan muhasabah lil hukam sehingga masyarakat bisa tercerdaskan. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!