Sabtu, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 23 Februari 2019 10:07 wib
3.649 views
Shalat Jum'at dan Politik
Oleh: M Rizal Fadillah
Pelarangan Capres Prabowo untuk melaksanakan shalat jum'at di Masjid Agung Semarang berbuntut panjang. KH Hanief ketua ta'mir masjid di bully banyak orang dan pelarangan pun menjadi isu politik. Berita hari ini konon Prabowo tetap shalat jum'at di Masjid Agung.
Sebagaimana difahami bahwa "yaumul jum'ah" adalah hari besar umat Islam yang juga disebut "sayyidul ayyam" hari yang mulia. Hari dimana laki-laki muslim diperintahkan untuk berkumpul bersama dalam shalat berjamaah. Dengan salah satu rukun yaitu "khutbah" betapa pentingnya agenda ini hingga jika sedikit saja jamaah ngobrol maka baginya "laa jum'ata lahu" gagal ibadah.
Rosulullah tidak membatasi konten. Sebagai da'wah, maka substansinya adalah mengajak pada kebenaran (amar ma'ruf) dan mencegah kemungkaran (nahyi munkar). Karenanya berbicara akidah, ibadah, maupun muamalah sah-sah saja. iqtishodiyah (ekonomi) maupun siasiyah (politik) tidak juga masalah. Yang penting mengajak untuk takwa kepada Allah SWT. Shalat jam'at menjadi sub sistem dari sistem Islam itu sendiri.
Sebagai bagian dari sistem, maka kejamaahan dalam shalat telah mampu membentuk sendiri pola, cara dan isi khutbah. Juga respons jamaah terhadap khutbah. Ada "self control" di dalam nya. Oleh karena itu agak janggal jika pernah diadakan "riset" instansional untuk mengklasifikasi keberadaan "khatib radikal" dengan arah pada pelarangan. Sikap berlebihan seperti ini sebenarnya adalah pelecehan terhadap otoritas jama'ah dan sistem yang sudah lama terbentuk dalam ibadah shalat jum'ah yang dituntunkan Rosulullah dan diteruskan oleh para Khalifah.
Kembali pada "larangan" sholat jum'at di Masjid Agung bagi Capres Prabowo tentu jika itu terlaksana sudah "out of order" bahkan "disorder". Apalagi status yang bersangkutan hanya sebagai jama'ah bukan Khatib. Jika alasan pelarangan adalah politis, maka wajar reaksi juga menjadi politis. Dan itu justru merugikan sendiri fihak yang melarang.
Pilpres jangan dijadikan hidup mati bangsa. Jika terpilih si A atau Si B bangsa dan negara tidak menjadi hilang. Kematangan berdemokrasi diuji dengan hal ini. Keterpilihan tidak mematikan kontrol politik kemudiannya. Bukan tak mungkin pula jatuh di tengah jalan bagi Presiden yang menyimpang. Sejarah kita telah banyak mencatat model seperti itu. Karenanya kita semua berharap agar kompetisi ini berjalan fair. Bermain-main atau licik berakibat bukan berarti selesai sampai saat pemilihan saja. Masih panjang ceritra kepemimpinan bangsa dan negara itu. Husnul atau su'ul khotimah nantinya.
Shalat jum'at tidak boleh dipolitisasi meski politik menurut syari'ah hal yang melekat dengan Al Islam itu sendiri. Politisasi adalah fikiran pendek dan pragmatik. Sedang politik menurut syari'ah berdimensi panjang dan bermashlahat bagi umat. Mempersoalkan shalat jum'at tidak mashlahat. Seharusnya belajar dari peristiwa tumbangnya Ahok yang diawali dengan ibadah Jum'at di 411 Istiqlal dan 212 Monas. Jika tak ingin tumbang, jangan bermain-main dengan ibadah shalat Jum'at. "Hayya alash Sholah, hayya 'alal Falah". Marilah shalat, marilah rebut kemenangan..!
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!