Sabtu, 26 Jumadil Awwal 1446 H / 9 Februari 2019 07:05 wib
5.335 views
NKRI Bersyariah Adalah Ruang Publik yang Manusiawi
Oleh:
Ifa Mufida, pemerhati masalah sosial
KONSEP tentang syariat Islam telah memenuhi ruang-ruang diskusi publik. Seruan NKRI Bersyariah menggaung ketika awal mula aksi 212 tahun 2016 oleh Habib Rizieq Syihab dalam orasinya. Setahun kemudian, dalam Reuni 212 tahun 2017, perlunya Indonesia menjadi NKRI Bersyariah kembali diperkuatnya. Kini diskursus tentang syariat Islam di Indonesia sudah mulai menjamur dari kajian-kajian yang dikemas asyik dan seru oleh kalangan milenial misal di acara Hijrah Fest tahun 2018, hingga bentuk yang lebih serius dari itu. Konsep syariat Islam dalam bentuk yang lebih serius dan komplit dalam konteks kenegaraan sebenarnya sudah dielu-elukan oleh beberapa ormas Islam di Indonesia sejak beberapa tahun yang lalu.
Ketika kita bicara konsep NKRI Bersyariah yang diserukan oleh Habib Rizieq, beliau menyeru antara lain, “Mau NKRI Bersyariah? Mau Indonesia Berkah? Mau Negara & Bangsa selamat?".Dari sini, saya berpendapat bahwa seruan NKRI Bersyariah muncul dari dua dorongan yang patut kita pelajari dan renungkan. Dorongan yang pertama untuk menjadikan NKRI bersyariah adalah solusi terhadap permasalahan negara dan ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat. Tidak bisa dipungkiri NKRI saat ini sedang dirundung berbagai macam problematika yang cukup kompleks. Negara dalam cengkraman asing dan aseng adalah fakta yang tak bisa ditolak. Ketimpangan sosial berkenaan dengan degradasi moral yang sangat rusak juga nyata di hadapan kita.
Sebut yang termudah adalah Indonesia sedang darurat HIV/AIDS, dimana penyakit ini disebabkan oleh rusaknya perilaku manusia dalam bentuk seks bebas, LGBT, dan merebaknya NAPZA. Ketimpangan kemiskinan di tengah umat juga begitu nyata, bahkan menurut lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 46 persen kekayaan di tingkat nasional. Kemiskinan ini bukan hanya melanda umat islam, yang paling mencekik adalah penduduk di papua (mayoritas non muslim) yang seharusnya mereka bisa sejahtera karena punya Freeport, faktanya mereka bahkan dalam kondisi yang paling memprihatinkan.
Permasalahannya dimana? Permasalahannya adalah ketika pancasila yang dikatakan dasar negara, tapi faktanya justru hanya sebagai nilai-nilai yang tidak berpengaruh di tengah masyarakat. Nyatanya yang berlaku di Indonesia adalah sistem di bawah kapitalisme dengan asas sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan/ negara). Sebagaimana penjelasan dari Pakar Hukum dan Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra berikut. “Sukarno adalah pembicara terakhir yang menyampaikan tanggapannya pada 1 Juni 1945. Dia mengusulkan 5 asas untuk dijadikan sebagai landasan falsafah. Sukarno menyebut 5 asas yang diusulkannya itu sebagai Pancasila. Setelah semua tanggapan diberikan, Supomo berkata bahwa dalam BPUPKI itu terdapat 2 golongan yakni golongan kebangsaan dan golongan Islam. Golongan Islam, menghendaki Indonesia merdeka berdasarkan Islam. Sebaliknya golongan kebangsaan menghendaki negara persatuan nasional yang memisahkan antara agama dengan negara,”. Demikianlah, akhirnya Indonesia tegak atas dasar pemisahan agama dengan negara. Familier disebut sekulerisme.
Indonesia yang menjadikan pancasila sebagai landasan falsafah, dalam perjalanannya justru berada di dalam putaran ideologi dunia, baik kapitalisme maupun sosialis-komunisme. Dengan Kapitalisme, nyata Indonesia berada dalam ketimpangan yang nyata yang sedikit saya paparkan di atas. Lalu apakah Indonesia akan melirik kepada sosialis-komunisme? Cukuplah kejadian G30S-PKI menjadi pelajaran. Pun juga bagaimana kondisi umat beragama di bawah sistem komunisme misal China justru mengalami diskriminasi dan perlakuan yang sangat tidak toleran. Muslim Uyghur menjadi saksi nyata saat ini. Bukan hanya umat Islam yang terdesak, umat nasrani juga terus ditekan dengan penutupan gereja-gereja yang mereka miliki. Dan ini fakta yang terjadi saat ini di dunia.
Selanjutnya dorongan kedua untuk menjadikan NKRI Bersyariah adalah dorongan insaniyah manusia sebagai makhluk Tuhan-Nya atau lebih simpel sebagai dorongan keimanan. Kita ketahui manusia adalah makhluk yang serba terbatas, serba lemah, dan tidak memiliki daya dan kekuatan. Maka mustahil makhluk yang lemah ini bisa hidup dan berjalan di kehidupan dunia dengan aturan yang dia buat sendiri. Maka satu-satunya cara agar makhluk yang lemah ini bisa selamat dari kehidupan dunia adalah dengan ikut aturan atau syariat yang berasal dari Tuhan Al-Khalik.
Allah SWT berfirman, “Tidaklah Kami mengutusmu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam” [Al-Anbiyâ’/21:107]. Ayat rahmat yang sangat agung dan bersifat umum ini telah menjelaskan kepada manusia bahwa Allâh SWT telah mengutus Rasul-Nya yang mulia Muhammad saw untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam yang terdiri dari kelompok-kelompok makhluk. Rasûlullâh Saw diutus sebagai rahmat untuk seluruh manusia baik muslim ataupun yang selain muslim. Islam adalah sebuah ideologi dimana terpancar dari nya seperangkat aturan yang berbeda dengan ideologi yang ada di dunia. Dengan demikian islam memiliki peraturan di dalam pemerintahan, ekonomi dan berbagai bidang lainnya seperti sistem pergaulan, pendidikan dan kesehatan.
Berkenaan dengan penilainan negara mana di dunia yang saat ini paling islami seperti Yayasan Islamicity Index dimana index ini digunakan untuk menilai negara manakah yang paling tinggi skor index Islamicitynya maka perlu kita cermati lebih jauh. Penilaian index ini meliputi: yang bersih pemerintahan, ketimpangan ekonomi kecil, tinggi penghormatan pada hak asasi. Ternyata Top 10 negara yang paling islami, yang paling tinggi skor Islamicitynya adalah negara di Barat. Di tahun 2017, negara itu antara lain: Selandia Baru, Netherland, Swedia, Irlandia, Switzerland, Denmark, Kanada, Australia. Sedangkan negara yang mayoritasnya Muslim justru skor Islamicitynya biasa saja dan cenderung rendah. Misalnya: Malaysia (rangking 43), United Arab Emirat (rangking 47), Indonesia (rangking 74), dan Saudi Arabia (rangking 88).
Yang perlu kita cermati di sini, bahwa konsep negeri bersyariat itu tidak bisa sekadar dilihat dari negeri yang mayoritas penduduknya muslim saja. Tapi lebih jauh dari itu adalah bagaimana syariat Islam itu dilaksakan sebagai aturan yang mengatur negeri tersebut. Faktanya saat ini belum ada satupun negeri di dunia yang menerapkan konsep Islam dalam bentuk penerapan syariat Islam secara menyeluruh.
Maka di sini, index di atas sebenarnya justru menunjukkan bahwa konsep islam yang diambil secara “nilai –nilai” memang bisa diambil secara universal. Namun ini tidak bisa mengukur bahwa negeri yang mayoritas muslim ternyata tidak mencerminkan nilai islami, dan diambil kesimpulan maka tidak perlu mengambil syariat Islam sebagai tata aturan. Justru seharusnya kita berfikir yang sebaliknya.
Referensi penerapan negara yang menerapkan syariah Islam tidak bisa dilihat dari negara-negara yang pendudukanya mayoritas muslim karena hukum yang diterapkan masih sebagian, bukan keseluruhan. Meski sekarang ada negeri di dunia yang mayoritas penduduknya muslim namun nyatanya hukum yang digunakan bukan Islam, contoh nyata adalah Indonesia. Jadi gambaran Indonesia bersyariah adalah terletak pada penerapan syariat Islam sebagai aturan konstitusional.
Contoh penerapan Islam bisa kita lihat pada masa peradaban Islam. Daulah Khilafah Islamiyah yang mampu bertahan hampir 14 abad dan telah runtuh pada tahun 1924 akibat serangan jahat dari musuh-musuh Islam dari luar, dan dari dalam negara islam saat itu sejengkal demi sejengkal telah mengganti Islam dangan hukum di luar Islam. Inilah penyebab keruntuhan peradaban islam saat itu.
Penerapan Syariat Islam dalam bentuk negara sungguh menorehkan sejarah bahwa ini adalah contoh satu-satunya ruang publik yang manusiawi. Sejak Islam tumbuh dan berkembang, Rasulullah SAW telah memberikan teladan bahwa toleransi adalah keharusan. Jauh sebelum Declaration of Human Rights, Islam telah mengajarkan jaminan kebebasan beragama melalui Piagam Madinah 622 M.
Ruang publik manusiawi dalam penerapan syariat islam juga dipraktikkan oleh para sahabat saat mereka mendapatkan amanah kepemimpinan sebagai para khalifah, menggantikan kepemimpinan Rasul saw atas umat Islam. Toleransi yang dijalankan Islam ini, menjadi contoh bagi masyarakat peradaban lain. Bahkan toleransi Islam, langgeng terasa hingga era akhir Khilafah Utsmaniyah. Seorang Orientalis Inggris, TW Arnold berkata: “The treatment of their Christian subjects by the Ottoman emperors -at least for two centuries after their conquest of Greece- exhibits a toleration such as was at that time quite unknown in the rest of Europe…” [Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Khilafah Turki Utsmani –selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani– telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa…] (The Preaching of Islam: A History of the Propagation of the Muslim Faith, 1896, hal. 134). Toleransi dalam Islam telah diakui bukan hanya dari kalangan muslim tetapi banyak oleh kalangan non-muslim juga. Maka apa yang perlu dikhawatirkan bahwa penerapan syariat Islam akan mengunci ruang publik yang manusiawi?
Justru hanya syariat Islam lah yang memiliki ruang publik yang manusiawi. Satu-satunya sistem yang memanusiakan manusia. Islam akan memberikan solusi dari permasalah ekonomi dan ketimpangan sosial akibat penerapan tata kehidupan sekuler yang menjadikan Indonesia berada di ujung tanduk. Sekali lagi bukan hanya untuk umat Islam tetapi ini untuk semua warga negara RI. Maka jangan ragu untuk mengenal Islam lebih jauh, karena tidak mungkin saya bisa menuliskannya dalam secuil artikel ini. Yang jelas hilangkan Islamophobia. Mari menggagas solusi permasalahan negeri dengan mengambil aturan yang berasal dari pencipta manusia, Insya Allah berkah.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!