Selasa, 26 Jumadil Awwal 1446 H / 29 Januari 2019 22:15 wib
4.630 views
Lagi-lagi! Pajak Lagi
Oleh :
Ifa Mufida*
TIDAK bisa dipungkiri saat ini pajak menjadi sumber pendapatan utama di negara kita. Sebesar 85,6 persen atau Rp 1.498 triliun anggaran pendapatan negara berasal dari pajak (katadata.co.id). Selain pajak, masih ada sumber pembiayaan negara kita yakni pinjaman dari dalam dan luar negeri serta penjualan sumber daya alam. Dengan jumlah target pendapatan dari sumber pajak yang begitu besar, maka bisa dipastikan hampir semua elemen kehidupan di negeri ini tidak bisa lepas dari pajak.
Ibarat vampir, yang selalu butuh darah untuk kehidupannya, pemerintah akan terus mencari apa saja yang bisa dijadikan target pendapatan negara. Sesuai PMK, Peraturan Menteri Keuangan No 210 tahun 2018 pajak e-dagang akan diberlakukan pada april 2019. Selain e-dagang, Selebgram dan Youtuber pun akan dikenai pajak, sebab mereka digolongkan sebagai pengusaha. Menteri Keuangan Sri Mulyani pun angkat bicara. Menurutnya, penghasilan besar yang diperoleh para YouTuber maupun selebgram akan dikenai pajak. Lagi-lagi, semua tak bisa lepas dari pajak. Pajak lagi, pajak lagi.
Tidak bisa dipungkiri memang sistem ekonomi kita diatur dengan sistem ekonomi kapitalisme-liberal. Jejak ekonomi liberalisme di Indonesia dapat ditelusuri ketika Indonesia mulai memasuki era pemerintahan orde baru sejak Maret 1966. Ketika kebijakan Orde Baru (Orba) lebih berpihak pada Barat. Indonesia mulai melakukan kerja sama dengan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Pembangunan Asia (ADB) kemudian dibentuklah suatu konsorsium Inter-Government Group on Indonesia (IGGI) yang terdiri atas sejumlah negara industri maju untuk membiayai pembangunan di Indonesia.
Disinilah awal Indonesia masuk dalam kubangan sistem ekonomi liberal. Anehnya Indonesia pasca orde reformasi semakin langgeng hubungannya dengan IMF. Apapun kebijakan ekonomi terus menunggu arahan sang bos besar, IMF. Setelah terjadi krisis moneter, perekonomian Indonesia semakin buruk dan kian terpuruk. Indonesia telah banyak kehilangan sektor aset yang menguasai hajat hidup orang banyak, baik secara langsung maupun privatisasi BUMN.
Semisal hutan, hasil hutan di Indonesia setiap tahunnya mencapai 2,5 US$ miliar. Dari hasil itu, yang masuk ke dalam kas negara hanya 17%, sedangkan sisanya sebesar 83% masuk ke kantong pengusaha HPH (Hak Pengelola Hutan). Begitupun di sektor yang lain tidak jauh berbeda. Inilah mungkin salah satu alasan kenapa Indonesia mengambil kebijakan pajak diberlakukan pada semua sektor? Karena untuk kepentingan pendapatan negara. Namun alih-alih pemerintah akan mengambil semua aset vital SDA, pemerintah semakin tak berkutik dengan berbagai cengkeraman neolib.
Kasus Freeport adalah bukti nyata, bagaimana pemerintah lebih memilih memihak asing daripada membela kepentingan rakyat. Kebijakan divestasi 51 persen saham Freeport yang digembor-gemborkan sebagai prestasi hanyalah balutan keberhasilan yang menipu. Karena dalam konteks transaksi pembelian 51% saham tersebut justru cenderung menguntungkan Freeport McMoRan. Seperti misalnya mendapatkan kepastian operasi hingga 2041, dapat uang tunai US$ 4 miliar dari penjulan 51% saham, mendapatkan kepastian pengelolaan tambang, mendapat kepastian pajak, dan denda atas kerusakan lingkungan hidup tidak dikenakan. Sementara, pemerintah Indonesia tidak mendapatkan keuntungan maksimal dari pembelian Freeport. Lagi-lagi rakyat harus gigit jari.
Pengaturan ekonomi di Indonesia sangat jauh dengan pengaturan ekonomi dalam Islam. Di dalam sistem ekonomi Islam, dibangun atas tiga prinsip yaitu asas kepemilikan, pemanfaatan kepemilikan dan distribusi kekayaan. Islam memandang bahwa kepemilikan ada 3, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.
Kepemilikan individu (private property) adalah harta yg dimiliki oleh seseorang yang dia dapatkan dengan cara yang sah menurut islam dan hak manfaat atas harta tersebut boleh digunakan saat dia hidup sesuai hukum syar'i. Islam membolehkan kepemilikan individu serta membatasi kepemilikan tersebut dengan mekanisme tertentu.
Kepemilikan umum adalah izin syari' kepada suatu komunitas masyarakat untuk sama-sama memanfaatkan suatu barang atau harta, namun pengelolaan tetap oleh negara. Seperti jalan raya, air, hasil tambang, dan sumber daya alam lain yang tidak terbatas. Nabi pernah bersabda: “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu padang rumput, air dan api.“ Hadist riwayat imam abu dawud. Kepemilikan umum akan tetap menjadi milik rakyat sebagai sumber penerimaan devisa negara yang akan diperuntukkan oleh rakyat. Bukan diperuntukkan oleh segelintir orang atas nama privatisasi.
Sedangkan yang termasuk kepemilikan negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslimin yang pengelolaya menjadi wewenang negara, dimana negara dapat memberikan kepada sebagian warna negara, sesuai dengan kebijaksanaanya. Makna pengelolaan negara ini adalah kekuasaan yang dimiliki negara untuk mengelola harta-harta milik negara seperti fa'i, kharaj, jizyah, dan sebagainya. Menurut Ibn Taimiyah, sumber utama kekayaan negara yaitu zakat, barang rampasan perang (ghanimah). Selain itu, negara juga meningkatkan sumber penghasilan dengan mengenakan pajak warga negaranya, ketika dibutuhkan atau kebutuhannya meningkat
Dalam Islam, pajak tidak boleh diwajibkan untuk seluruh warga negara sebagaimana sistem kapitalisme saat ini yang seluruh aspek kehidupan tidak lepas dari pajak. Dalam Islam, pajak bukanlah sumber pendapatan utama dari negara, bahkan pajak hanya dipungut dalam kondisi yang darurat, yakni ketika kondisi baitul mal sudah sangat kekurangan. Selain itu, penarikan pajak hanya untuk warga negara yang muslim dan dibebani pada mereka yang kaya, tidak boleh ditarik kepada warga negara yang miskin.
Yang terkategori mampu dalam islam adalah dari kelebihan harta, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang proporsional (ma’ruf), sesuai dengan standar hidup mereka di wilayah tersebut. Karena itu, jika ada kaum Muslim yang mempunyai kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya, maka dia menjadi wajib pajak. Karena itu, pajak di dalam Islam bukan untuk menekan pertumbuhan, bukan menghalangi orang kaya, atau menambah pendapatan negara, kecuali diambil semata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan oleh syara’.
Pajak dalam islam juga digunakan untuk membiayai sektor-sektor yang penting. Misalnya untuk pembiayaan ketika negara dalam kondisi perang yakni untuk pembiayaan jihad, pembiayaan industri perang, pembiayaan fakir miskin dan ibnu sabil ketika pos zakat tidak bisa memenuhi, dan biaya penganggulangan bencana alam. Berbeda dengan pajak saat ini, justru dipergunakan untuk hal-hal yang bukan termasuk kebutuhan darurat, bahkan menjadi pemasukan utama dari negara. Hal inilah yang menjadikan seolah setiap aspek kehidupan di dalam sistem kapitalisme tak pernah lepas dari pajak.
Setelah kita mengetahui begitu besarnya perbedaan pengelolaan pajak dalam islam dan kapitalisme, maka nampak perbedaan yang cukup besar di antara keduanya. Dengan kejelasan konsep sistem ekonomi Islam juga, negara tidak akan salah arah dalam mengambil kebijakan ekonomi. Penopang ekonomi bukan lagi pada pajak yang sangat mendzholimi rakyat, karena rakyat telah memiliki harta yang telah diatur di dalam Alqur'an maupun Hadist. Dengan sistem Islam sajalah umat akan mendapatkan kesejahteraan yang hakiki, insya Allah. *Pemerhati Masalah Sosial
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!