Senin, 26 Jumadil Awwal 1446 H / 28 Januari 2019 05:57 wib
3.915 views
Keadilan Fatamorgana
Oleh: Mila Ummu Tsabita (Pegiat Komunitas Muslimah Lit-Taghyir)
Pas 24 Januari 2019, dua tahun penjara Basuki Tjahaya Purnama (BTP) alias Ahok berakhir, setelah mendapat remisi 2 bulan pada HUT RI ke-73 lalu. Sekedar mengingatkan, mantan Gubernur DKI ini mendapat vonis 2 tahun penjara atas kasus penodaan agama pada Mei 2017. Setelah adanya tuntutan berupa aksi besar umat Islam 2016 lalu. (tempo.co, 23/01).
Sebaliknya, tersiar kabar rencana pembebasan ustadz Abu Bakar Baasyir (ABB) dibatalkan. Padahal seharusnya Beliau dibebaskan 28 Desember lalu. Koordinator Pengacara ABB, Achmad Miichdan menyampaikan bahwa pertimbangan pembebasan ABB adalah karena memang sudah seharusnya mendapatkan pembebasan bersyarat pada Desember 2018 lalu. Waktu itu pertimbangannya adalah faktor usia dan penyakit yang dideritanya.
Namun karena tekanan berbagai pihak, akhirnya rencana ini tak bisa terlaksana. ABB mendapat vonis 15 tahun karena tuduhan menggerakkan orang lain dalam penggunaan dana terkait tindak pidana terorisme di Indonesia (2011). Beliau sudah menjalanai 2/3 masa tahanan, dan mendapat beberapa kali remisi. (republika.co.id, 20/01).
Kalau ditanya pada umat Islam, ketika terjadi kasus penodaan agama apakah cukup puas kalau pelakunya cuma mendapat hukuman 2 tahun atau bahkan maksimal 5 tahun sebagaimana tercantum dalam pasal 156 a KUHP? Kayaknya jawabnya beragam. Tapi bagi yang mengikuti kasusnya, dan memiliki kesadaran mendalam tentang bagaimana solusi Islam bagi kasus penodaan agama, maka pada kasus ini seharusnya Ahok dihukum berat. Dua tahun itu terlalu ringan, Bro!
Dalam sebuah riwayat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabatnya, “Siapa yang bersedia membereskan Ka’ab bin Asyraf? Dia telah menyakiti Allah dan Rasul-Nya!” Maka berdirilah Muhamamd bin Maslamah dan berkata, “Apakah engkau suka bila aku membunuhnya, wahai Rasulullah? Beliau menjawab, “Ya”.” (HR. Muttafaqun ‘Alaih).
Menjaga “kesucian” agama menjadi kewajiban negara dan kaum muslimin seluruhnya. Sehingga bagi pelaku penodaan agama harusnya mendapat hukuman mati.
Sedangkan, kasus terorisme yang menimpa ustadz ABB banyak menduga merupakan tuduhan yang tak berdasar. Hanya gegara ABB vokal menyerang ideologi negara sebagai thogut dan bentuk kesyirikan besar, lalu kemudian dikait-kaitkan dengan kasus bom Bali 2002 (belakangan terbukti semua tersangka bom Bali menyatakan mereka tak punya kaitan dengan ABB) sehingga ABB dibebaskan dari penjara tahun 2006. (bbc.com, 09/08/2010). Kemudian terakhir disangkakan sebagai penyandang dana pelatihan militer (teroris) di Aceh. Padahal hal ini tak pernah bisa dibuktikan.
Hari ini persekusi dan kriminalisasi para aktifis dan ulama yang kritis dan berusaha meluruskan kondisi negara yang “meyimpang” dari Islam, semakin kasat mata. Isu bahwa rezim yang berkuasa di negeri ini banyak “ditekan” pihak Asing, semakin sulit dibantah. Beredar kabar gagalnya pemebebasan ustdz yang konsisten ini karena tekanan pemerintah Australia, seperti yang diungkap The Guardian. Pemerintah Australia masih mengaitkan ABB dengan kasus bom Bali 2002 yang banyak menewaskan warga Australia, padahal ustdz Abu tak ada kaitannya. Bahkan para pelaku seperti Amrozy dkk sudah dieksekusi mati. (tibunnews.com, 22/01). Masih saja mereka maksa rupanya!
Bagaimana rasanya bagi keluarga dan ustdz ABB sendiri ? Pasti ini bentuk ketidakadilan. Vonis atas sesuatu tak pernah dilakukan dan masa tahanan yang panjang, jauh dari “kenyamanan” Mako Brimob. Apalagi ABB ketika mulai ditahan sudah berusia 72 tahun, dan sekarag semakin sering sakit. Benar-benar melukai rasa kemanusiaan. Duh!
Keadilan Fatamorgana di negri Sekuler
Inilah fakta yang terjadi di Indonesia yang tidak bisa disembunyikan lagi. Semakin nampak kebobrokan hukum sekuler. Dimana ia tidak mampu memberi rasa keadilan dan memberi solusi yang tuntas atas tindak kriminal, apalagi jika terkait pelecehan dan penodaan syiar dan simbol Dien Islam yang mulia.
Alih-alih mendapat keadilan, kita lebih sering dipertontonkan suasana ketimpangan. Apalagi bagi umat Islam. Perlu berkali-kali aksi, agar si pelaku diadili. Masih ingat kasus pembakaran bendera tauhid yang dihukum sangat ringan? Ditahan 10 hari dan membayar Rp2000. Miris kan.
Seangkan ketika terkait kasus terorisme, dengan bukti sumir pun seseorang bisa divonis berat. Faktanya, banyak kasus orang yang didor di tempat tanpa bisa membela diri. Kalau pun beruntung tak dihabisi, ketika tidak terbukti tuduhannya, tetap saja si tersangka divonis, dengan mencari kasus untuknya. Pada kasus ABB, kasus bom Bali tak terbukti, akhirnya beliau disangkakan pada masalah keimigrasian (administratif). Seolah ingin memaksakan si target harus masuk bui. Entahlah untuk menyenangkan atau ”pesanan”siapa?
Sungguh Islam telah menyediakan solusi atas permasalahan manusia dalam setiap aspek kehidupan. Sistem Islam mampu mencegah tindakan kejahatan (kriminalitas) dengan menutup pemicunya (preventif) dan memberi efek jera (kuratif), dengan pemberlakuan nidzomul Uqubat ( sistem pidana dalam Islam). Islam pun memerintahkan kepada setiap manusia untuk berbuat adil atau menegakkan keadilan pada setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan, apalagi jika dia seorang hakim pemutus sanksi bagi tertuduh.
Firman Allah Swt :
“Sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apa bila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (TQs. An-Nisaa (4): 58):
Demikian juga dalam Surat an-Nisaa ayat 135 juga dijumpai perintah kepada orang-orang yang beriman untuk menjadi penegak keadilan, yaitu:
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benarpenegak keadilan, menjadi saksi karena Allah walaupun terhadap dirimu sendiri atau Ibu, Bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia, kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemasalahatanya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dan kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau dengan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Segalanya apa yang kamu lakukan”
Sadarkah mereka para aparat dan hakim yang tidak berlaku adil di dunia, semua perbuatan akan dihisab di Yaumul Akhir. Sungguh pengadilan Allah tak akan ada yang bisa ngeles, dan buktinga valid. Setiap orang akan membawa bukti catatan amalnya masing-masing. Maka sudah seharusnya hukum Islam saja yang ditegakkan agar kedzaliman dan ketidak adilan ini bisa diakhiri dan tak menambah panjang deret korban sistem bobrok kekinian.
Sungguh semua tak akan terwujud tanpa penerapan Syariat Islam secara kaafah, dalam naungan institusi Khilafah. Masyarakat yang terbentuk adalah masyarakat yang saling menjaga kesucian, menghormati dan menghargai sesama manusia, hakim dan penguasanya adil.
Dan kalau ada tindak krimanal pelecehan agama, maka sanksi tegas akan menjerakan pelaku, sehingga kriminalitas tak sempat marak di masyarakat. Sungguh penerapan Syariat Islam akan membawa rahmat dan keberkahan bagi seluruh alam, bukan hanya keadilan bagi muslim, juga non muslim. Keadilan yang bukan fatamorgana. Inshaa Allah. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!