Kamis, 21 Jumadil Awwal 1446 H / 10 Januari 2019 05:44 wib
6.200 views
Teror Politik
Oleh: M Rizal Fadillah
Fenomena baru di era media informasi ini adalah teror politik yang diarahkan pada tokoh, aktivis, bahkan ulama. Mereka yang dikualifikasikan kritis bisa dijadikan sasaran.
Model awal adalah "Skandal Sarumpaet" yang dengan "nekad" atau "terpaksa" atau pula "tersandera" melakukan aksi bohong yang berefek pada "pelaporan" tokoh seperti Amien Rais. Tuduhannya menyebarkan berita bohong.
Padahal lewat media Amien Rais minta polisi mengusut "penganiaya" Ratna Sarumpaet yang memang mengadukan peristiwa penganiayaannya itu. Amien Rais pun diperiksa. Konspirasi Sarumpaet tidak terungkap motif dan jaringan. Ia hanya ditahan dan tak jelas proses hukum kemudiannya.
Hari-hari ini muncul lagi "Skandal Kontainer" yakni isu adanya 7 Kontainer berisi surat suara yang telah tercoblos. Hasil pemeriksaan KPU dan Bawaslu tidak terbukti keberadaan kontainer tersebut. Korban pertama Andi Arief yang dalam cuitannya meminta agar kebenaran informasi tersebut dicek.
Korban kedua adalah KH Tengku Zulkarnaen yang juga menanggapi informasi tersebut, lalu dengan cepat menghapusnya. Keduanya dilaporkan ke polisi. Ada nafas "political trap" dalam kasus ini. Suara rekaman misterius yang "sangat mengetahui" kontainer yang dibuka berisi surat suara yang sudah dicoblos memang perlu diusut.
Di samping hoaks adalah hoaks, hoaks pun adalah fakta. Hoaks sebagai mainan politik yang memiliki nilai jual bagus. Bisa diolah atau dimenej. Korban terperangkap bisa ditarget. Ini namanya kompetisi menghalalkan segala cara. Dari sisi pendidikan politik tentu hal ini sangat tidak bagus. Jika hoaks jadi mainan, maka itu ciri bangsa diisi oleh kaum tak terdidik. Tukang baca komik. Lebih parah jika hal itu dilakukan oleh para pemimpin.
Andi Arif adalah politisi yang cukup vokal dan berani karena sejak muda aktivis. Walau kadang suka "tonjok sana tonjok sini". Teuku Zulkarnaen ulama mumpuni, tajam, dan profil pemimpin umat yang didengar dan diikuti. Keduanya kritis. Wajar bila masuk dalam "trap" pusaran manajemen hoaks.
Betul kata seorang pakar, polisi harus hati hati memproses laporan seperti ini, lebih baik fokus pada "sumber" pengirim info hoaks. Tebang akar lebih dulu bukan ranting atau daun daunnya. Harus ditangkap "sang penelpon". Ini jika memang serius memberantas kejahatan politik yang marak di tengah lalu lintas informasi. Tapi bila memang ikut alur permainan, persoalannya tentu menjadi lain.
Ternyata teror tidak mesti dengan bom. Bisa juga hoaks. Daya ledaknya lumayan juga. Selalu ada korban. Luar biasa sang arsitek. Kalau tak ketangkap "tokoh sumber" sungguh aneh. Maka akan muncul dugaan ini adalah mainan intelijen. Entah institusi mana.
Jika lolos dan tak mampu kita mengungkap maka jadilah kasus ini "X-file". Sangat pantas sutradara dan jalan ceritanya tercatat dalam Museum Rekor Muri Jaya Suprana. Bravo Genderuwo! [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!