Sabtu, 27 Jumadil Akhir 1446 H / 1 Desember 2018 08:15 wib
6.825 views
Maulid Nabi Tak Sekedar Seremonial
Oleh: Nurniah (Mahasiswi Komunikasi Penyiaran Islam)
Telur warna-warni, keranjang atau ember berukuran sedang yang dihias, pohon buatan yang ditancapi dahan-dahan bambu yang ujungnya terdapat telur, suara-suara kasidahan, tabuhan rebana, lantunan shalawat dari speaker masjid...ramai kembali menghiasi masjid-masjid.
Siapa yang akan lupa. Bahwa pada 20 November 2018 yang lalu bertepatan dengan 12 Rabiul Awal 1440 Hijriah, kaum muslim sedang berbahagia. Merayakan kembali hari lahirnya seorang Nabi yang menjadi cahaya bagi gelapnya dunia yang diselimuti oleh alam jahiliah ketika itu. Cahaya yang menyelamatkan manusia pada Arab Jahiliah dulu, dan kini, serta sampai akhir zaman nanti.
Saya tidak sedang berusaha untuk membahas tentang hukum merayakan kelahiran Rasulullah. Sebab itu bukanlah kapasitas saya sebagai mahasiswa. Yang ingin saya lakukan adalah mencoba menjadikan momen kelahiran Rasulullah ini sebagai sebuah titik yang membuat ummat Muslim muhasabah. Berhenti, menyadari diri, lalu bangkit dari keterpurukan yang kini melanda kaum muslim disetiap segi kehidupan mereka.
Saat 20 November 2018 ini juga, story Whatsupp saya dipenuhi dengan ucapakan selamat merayakan hari Maulid Nabi. Sekali lagi, saya tidak sedang ingin membahas bagaimana merayakan hari kelahiran Rasulullah. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah sebuah vidio pendek yang berisi pertanyaan yang coba diajukan pembuat vidio kepada beberapa orang yang ia temui.
“Jika Rasulullah ada bersamamu saat ini, apa yang akan kamu katakan kepada beliau?”
Seorang wanita yang ditanya spontan berkaca-kaca, sepatah mengeluarkan kata lalu meneteslah air matanya. Dia, sepertinya rindu. Yang juga dibungkus sedih, sebab keprihatinannya terhadap kondisi ummat Islam.
Rasulullah Manusia Mulia
Tidak dapat disangsikan lagi, bahwa Rasulullah adalah seorang pribadi agung. Keagungannya bukan hanya terdapat pada dirinya sendiri, namun ternyata keagungan itu telah menyebar. Menjadikan banyak orang yang hidup bersamanya dan mengimani apa yang ia bawa menjadi agung pula, serta tidak dilupakan oleh tinta sejarah. Dipuji oleh kawan, dihormati oleh musuh.
Khadijah r.a. menuturkan: “Sekali-kali tidak demikian! Demi Allah! Dia tidak akan menghinakanmu selamanya! Sungguh engkau adalah penyambung tali kerabat, pemikul beban orang lain yang mendapatkan kesusahan, pemberi orang yang papa, penjamu tamu serta pendukung setiap upaya penegakan kebenaran.”
Aisyah berkata: “Tidaklah Rasulullah itu diberi kesempatan untuk memilih antara dua perkaran, kecuali beliau memilih yang termudah di antara keduanya selama tidak mengandung perbuatan dosa apabila mengandung perbuatan dosa beliau adalah orang yang paling jauh darinya. Rasulullah tidak membalas seseorang karena kepentingan pribadi, akan tetapi karena syariat Allah telah dilanggar sehingga beliau membalasnya karena Allah. Beliau adalah orang yang paling jauh dari kemarahan dan orang yang paling cepat ridha.”
George Sale, seorang orientalis yang hidup pada 1697 hingga 1736 menuliskan tentang Rasulullah: ”Muhammad [s.a.w.] memiliki kemampuan fitrati yang sangat luhur, sangat rupawan, cerdas dan berpandangan jauh ke depan, sangat disegani dan pencinta serta pelindung orang-orang miskin. Dalam menghadapi musuh selalu berada di garis depan dengan gagah berani. Yang sangat menonjol adalah beliau sangat menjunjung tinggi, sangat menghormati dan mencintai Tuhannya. Membenci orang-orang pendusta, pelaku maksiat, orang-orang pelaku ghibat dan pelaku sumpah dusta, pemboros, serakah dan sangat keras menentang pelanggar hukum dan pemberi kesaksian dusta. Sangat tegas mengajar kejujuran, dermawan, kasih-sayang, rasa syukur, menghormati orang tua dan para leluhur, dan sangat sibuk dalam memuji keagungan Tuhan.”
Sesungguhnya, keseluruhan dari kehidupan Rasulullah, Muhammad Shalallahu ‘Alayhi Wasallam adalah butiran-butiran mutiara yang cahayanya terang. Yang dengan cahaya itu, manusia dapat melihat jalan kebahagiaan dunia dan akhiratnya. Segala hal yang beliau lalui dimasanya adalah pelajaran berharga yang tidak henti mengalirkan pelajaran berharga. Allah berfirman dalam Surah Al Anbiya ayat 107:
وما أرسلناك إلى رحمة للعالمين
“Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Belajar Dari Beratnya Ujian Rasulullah
2 Desember mendatang, akan digelar kembali Tabligh Akbar Reuni 212. Bertempat di Lingkar Monumen Nasional, Gambir jakarta Pusat (Tribunnews.com). Kaum muslim akan kembali berkumpul disana. Dan tidak sangsi lagi, bahwa mata kita akan dihiasi dengan kibaran bendera tauhid yang kita tahu beberapa lalu menjadi viral pasca pembakarannya oleh beberapa orang. “Kita masih selalu persiapan karena ini menjadi agenda tahunan kita betul-betul fokus dimana adala kibaran satu juta bendera kalimat tauhid.” Itulah perkataan Habib Novel Bamukmin saat dikonfirmasi oleh Tribunnews.com.
Jika kita kembali kepada reuni 212 tahun lalu, kita tentu tidak asing dengan fitnah-fitnah yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab terhadap semangat kaum muslim untuk bersatu ini. Ada yang menyatakan bahwa kegiatan reuni tahun lalu itu adalah acara ini adalah arahan kepada politik, politisasi katanya.
Beberapa saat yang lalu, juga kita ketahui, kaum muslim sudah menunjukkan kepada “langit”, bahwa mereka mempunyai pembelaan terhadap kalimat tauhid yang coba diopinikan menjadi bendera milik salah satu organisasi yang telah dicabut BHPnya. Padahal pihak yang dituduh sudah dengan jelas menyatakan bahwa bendera yang didalam hadist disebut dengan Ar-Rayaah adalah panji Rasulullah. Itu artinya Ar-Rayah adalah milik seluruh kaum muslim. Milik semua orang yang menjadikan syahadat sebagai pengantar keimanannya. Sedihnya lagi, ada yang mengatakan bahwa bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid itu adalah bendera teroris.
Pembakaran bendera tauhid sudah berlalu. Pelakunya juga telah dijatuhi hukuman. Meskipun hukumannya pantas hanya dijadikan lelucon. Aksi untuk membela tauhid juga sudah lewat. Bahkan yang baru-baru ini dirayakan, Maulid Nabi juga telah lewat. Walupun hari-hari ini masih ada beberapa masjid yang terus merayakan.
Lalu, setelah itu apa? Jangan sampai momen ini berlalu tanpa menyimpan kesan sedikitpun kepada kaum Muslim. Puluhan kali kelahiran Rasulullah telah dirayakan. Namun ternyata tidak bisa memberikan kesan yang bermakna. Selepas perayaan maulid seolah orang-orang lupa, bahwa perayaan Maulid Nabi bukan hanya sekedar memperingati hari kelahiran beliau sebagaimana perayaan hari kelahiran yang lain. Sebab perayaan hari kelahiran beliau adalah sebuah momen untuk mengarahkan mata hati kita kepada beliau yang telah berjasa pada kehidupan manusia serta peradabannya. Momen maulid ini harusnya menjadikan ummat muslim kembali memuhasabahi diri mereka. Sejauh manakah mereka telah menjadikan Rasulullah sebagai model, panutan dan idola dalam kehidupannya.
Maka sebuah keanehan, bagi mereka yang telah mengakui Rasulullah sebagai Nabinya, namun tidak mencontoh keteguhan beliau dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dakwah. Sesungguhnya, Rasulullah bersama sahabat-sahabatnya telah mengalami bentuk-bentuk penyiksaan yang sangat kejam dan keras dari orang-orang Quraisy ketika itu. Namun hal ini tidak lantas menyurutkan semangat beliau untuk menyebarkan Islam. Ancamannya bukan main-main. Sampai ancaman nyawa. Namun beliau, berikut sahabatnya tetap tegar diatas jalan dakwah. Bahkan ketika berdakwah di Thaif beliau lantas tidak berputus asa. Padahal penolakan di Thaif adalah penolakan yang sangat pahit, sampai-sampai Rasulullah terdesak bersembunyi dikebun orang Yahudi saat dikejar oleh orang-orang Thaif dengan lemparan batu.
Reverend Boswort Smith (1839-1908) menjelaskan tentang kekonsitenan Rasulullah dalam membawa misinya: “Secara keseluruhan saya tidak merasa heran apabila terjadi banyak perubahan terhadap Muhammad [s.a.w.] disebabkan timbul berbagai macam keadaan, namun yang menakjubkan saya adalah keadaan kepribadian beliau sangat sedikit mengalami perubahan sekalipun dirundung dengan terjadinya berbagai macam peristiwa, sebagai penggembala kambing di belantara padang pasir, sebagai pedagang ke negeri Syam, pengalaman di hari-hari bersemedi (bertahannuts) di Gua Hira, sebagai Muslih (reformer) sebuah Jemaat minoritas ketika berada di Mekkah, di masa-masa pengasingan di Medinah, sebagai Pemenang yang gemilang, memiliki kedudukan sederajat dengan Kaisar dan Kisra Iran, kita dapat menyaksikan keteguhan hati dan ketabahan beliau [s.a.w.] berjalan secara konstan (tetap teguh). Keadaan luar Muhammad [s.a.w.] mengalami perubahan-perubahan namun keagungan pribadi dan akhlaki beliau sedikitpun tidak mengalami perubahan. Saya tidak yakin jika orang lain akan mampu menghadapi keadaan luar yang banyak sekali mengalami beraneka macam perubahan.”
Seistiqomahkah itu kita dalam mendakwahkan Islam? Padahal ujian yang kita hadapi belumlah ada apa-apanya dengan yang dihadapi Rasulullah juga sahabat beliau radhiallaahu ‘anhum.
Saat Aisyah ra. Menjelaskan tentang akhlak Rasulullah dengan perkataan: “Rasulullah adalah orang yang paling mulia akhlaknya. Tidak pernah berlaku keji. Tidak mengucapkan kata-kata kotor. Tidak berbuat gaduh di pasar. Tidak pernah membalas dengan kejelekan serupa. Akan tetapi, beliau pemaaf dan pengampun.” (HR. Ahmad), sudahkah kaum muslim berakhlak seperti itu? Berkurangkah perkataan kotor yang menjadi kebiasaan ummat beliau setelah pelaksanaan peringatan Maulid Nabi?
Ketika ada sebuah hadist yang menjelaskan: “Orang yang paling berhak mendapatkan syafaatku pada Hari Kiamat adalah yang paling banyak shalawat kepadaku.” (HR at-Tirmidzi), berapa banyak orang yang mengucapkan shalawat kepada baginda Nabi sebagai bukti kecintaan kepada beliau? Berapa banyak yang bershalawat, namun ternyata shalawatnya tidak berisi sama sekali? Tetap tidak menjadikan Rasulullah sebagai hakim dalam perkaara kehidupannya. Bukankah shalawat adalah bukti cinta kepada Rasulullah?! Dan cinta adalah sesuatu yang menuntut bukti. Allah berfirman yang artinya: “Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran ayat 31)
Maka kecintaan kepada Rasulullah harusnya dibuktikan dengan ketundukan dan kepatuhan kepada syariat yang Allah turunkan didalam Al Qur’an. Bukannya menggelar acara Maulid Nabi dengan megah dimasjid lantas berpaling saat diseru kepada syariat Allah.
Buah Memisahkan Agama dari Kehidupan
Kaum muslim bisa saja merindu redam saat melantukan shalawat di masjid saat peringatan maulid. Namun saat keluar kerinduan itu menguap ditelan udara. Tidak ada yang berbekas dalam hati mereka. Padahal, dimasa Shalahuddin Al Ayyubi perayaan maulid nabi menjadikan orang-orang Islam akhirnya dapat kembali menaklukkan Palestina.
Tidak heran sebenarnya. Sebab inilah buah dari memisahkan agama dari kehidupan. Rindu kepada Rasulullah hanya pada saat maulidan saja. Inilah buah dari pemisahan agama dari kehidupan. Dikotomi ajaran agama hanya dimasjid, bulan ramadhan, dan pada waktu-waktu tertentu saja. Sehingga ummat Islam kehilangan pegangan jika sudah keluar dari masjid atau lepas dari bulan Ramadhan.
Tentu saja, kita rindu pada sebuah perayaan yang tidak hanya sekedar seremonial semata. Namun juga dilakukan dengan kecintaan dan akhirnya memberikan pengaruh besar dan membekas didalam hati dan kehidupan selanjutnya. Maka, kembali menyatukan agama dan kehidupan adalah satu-satunya pilihan bagi kaum muslim.[]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!