Jum'at, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 30 November 2018 23:56 wib
5.591 views
Layakkah Orang dengan Gangguan Jiwa Ikut Pemilu?
Oleh : dr.Ifa Mufida*
Kebolehan Penyandang Gangguan Jiwa ikut Pemilu 2019 telah menuai pro dan kontra. Pasalnya Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan dalam UU Pilkada terkait hak pilih dari pengidap gangguan jiwa, dimana haknya menjadi peserta pemilu wajib dilaksanakan.
Padahal dalam Pasal 1330 Kitab Undang-undang hukum Perdata (KUHPerdata) secara jelas diatur jika orang gila tidak cakap untuk melakukan aktivitas hukum dan itu termasuk memilih dalam Pemilu. Dari sini sudah nampak ada dua peraturan dalam negeri sendiri yang kontradiktif.
Akan tetapi, Jumlah penyandang disabilitas mental yang tidak sedikit (menurut data KPU bisa sekitar 400 ribu orang) menjadikan ada banyak upaya untuk melagalkan mereka agar bisa meraup suara di pemilu mendatang. Lagi-lagi hal ini menuai konflik di antara pihak-pihak yang berkepentingan.
Ada pihak yang khawatir jika mereka diikutkan dalam pemilu karena rawan manipulasi, sebaliknya juga ada pihak yang justru ingin mempermudah kriteria mereka sebagai penyandang disabilitas mental untuk mendapatkan hak pillih mereka sebagai DPT ( Daftar Pemilih tetap).
Belum lagi jika kita menelaah isi dari UU yang mengatur kebolehan Penyandang disabilitas mental untuk mencoblos di pemilu. Pasalnya dalam UU tersebut tidak dijelaskan secara teknis dan gamblang siapakah yang berhak memberikan surat keterangan bahwa penyandang disabilitas mental tersebut sudah dinyatakan sembuh dan bisa melaksanakan hak nya sebagai pemilih.
Hal ini dikarenakan didalam UU hanya disebutkan surat dari ahli kejiwaan. Terbukti Polemik itu pun terjadi di internal KPU sendiri. KPU akhirnya mengubah aturan tentang pemilih kategori orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). KPU menyatakan bahwa ODGJ yang ingin mencoblos tidak diwajibkan membawa surat rekomendasi dari dokter.
“Kalau penyandang disabilitas harus dapat surat itu, berat, kasihan, tidak pas lah,” ujar Komisioner KPU Viryan kepada Jawa Pos kemarin (24/11).
Pernyataan tersebut bertolak belakang dengan statemen Komisioner KPU Ilham Saputra Rabu lalu (21/11). Saat itu Ilham mengatakan bahwa ODGJ bisa mencoblos jika memiliki surat keterangan sehat dari dokter.
“Bila dokter mengatakan dia bisa memilih, ya bisa. Jika tidak ada surat dokter, tidak bisa memilih,” katanya waktu itu.
KPU kembali menegaskan, pihaknya ingin melayani semua warga negara Indonesia secara setara dalam pemilu. Dari aspek administrasi misalnya, semua harus berusia di atas 17 tahun atau sudah menikah dan memiliki kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Dalam teknis pencoblosan di lapangan, standar pelayanan juga disamakan.
Dalam kasus ODGJ, standarnya diperlakukan sama dengan pemilih disabilitas lain. Yakni, selama masih mampu, yang bersangkutan bisa mencoblos secara mandiri. Jika ada keterbatasan, penyelenggara pemilu akan menyediakan pendamping independen yang akan membantu secara teknis. Tapi, jika tidak mampu sama sekali, penyelenggara tidak akan memaksakan pemilih tersebut (jawa pos, 25/11/2018).
Demikianlah, kebolehan ini sungguh sangat bertentangan dengan fakta kondisi penyandang Gangguan Jiwa dari sisi medis. Dari sisi kesehatan, Gangguan jiwa dibedakan menjadi gangguan neurosis dan gangguan psikosis. Gangguan Neurosis adalah gangguan yang terjadi hanya pada sebagian dari kepribadian, sehingga orang yang mengalaminya masih bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan biasa sehari-hari atau masih bisa belajar, dan jarang memerlukan perawatan khusus di rumah sakit.
Sedangakn Gangguan Psikosis adalah suatu gangguan jiwa dengan kehilangan rasa kenyataan (sense of reality). Kelainan seperti ini dapat diketahui berdasarkan gangguan-gangguan pada perasaan, pikiran, kemauan, motorik, dst. Sedemikian berat sehingga perilaku penderita tidak sesuai lagi dengan kenyataan. Perilaku penderita psikosis tidak dapat dimengerti oleh orang normal, sehingga orang awam biasa menyebut penderita sebagai orang gila.
Dari dua definisi ini maka jelas bahwa untuk gangguan psikosis pasti ada gangguan untuk bisa menilai suatu kebenaran dari realita, atau dengan kata lain dipastikan mereka tidak bisa membedakan antara yang hak dan yang batil. 90% gangguan psikosis yang memerlukan perawatan di rumah sakit adalah skizofrenia.
Skizofrenia adalah gangguan mental yang terjadi dalam jangka panjang. Gangguan ini menyebabkan penderitanya mengalami halusinasi, delusi atau waham, kekacauan berpikir, dan perubahan perilaku. Walaupun remisi penuh atau sembuh pada skizofrenia itu ada, kebanyakan orang mempunyai gejala sisa dengan keparahan yang bervariasi. Secara umum 25% individu sembuh sempurna, 40% mengalami kekambuhan dan 35% mengalami perburukan.
Sampai saat ini belum ada metode yang dapat memprediksi siapa yang akan menjadi sembuh siapa yang tidak. Sekitar 70% penderita skizofrenia yang berada dalam remisi mengalami relaps dalam satu tahun (www. Psikologizone.com).
Dari sedikit penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa gangguan jiwa psikosis yang berat dan menurut data ada 400 orang tersebut dipastikan mereka memiliki gangguan dalam menilai realita. Ketika mereka dalam kondisi remisi sebagian maka dipastikan mereka juga belum sempurna ketika menimbang kebenaran realita. Selanjutnya meskipun mereka mengalami remisi sempurna, banyak penelitian bahwa mereka akan mengalami relaps (kembalinya gejala psikosis) bahkan ditahun pertama mereka didiagnoasa mengalami remisi sempurna.
Dari sini maka memang bukan hal yang mudah untuk menyatakan kondisi seseorang sembuh total dari gangguan jiwa mereka. Oleh karena itu, memberikan persyaratan sehat jiwa bagi penyandang skizofrenia bukanlah hal yang mudah. Dan ini harus atas rekomendasi dari dokter psikiatri. Ketika diberikan surat keterangan sehat jiwa pun belum tentu kondisinya akan sama sampai dengan beberapa bulan ke depan karena ada kemungkinan untuk kambuh (relaps). Maka sangat ngawur jika KPU memutuskan justru tidak perlu surat keterangan sehat jiwa dari dokter.
Dalam Islam orang dengan gangguan Jiwa karena mereka tidak bisa menilai realita atau tidak bisa membedakan antara yang hak dan yang batil maka terbebas dari taklif hukum. Seperti sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Catatan amal diangkat dari tiga jenis orang: orang yang tidur sampai dia bangun, anak kecil sampai dia baligh, dan orang gila sampai sembuh dari gilanya.” (HR. Ahmad).
Bagimana dengan orang yang setengah gila? Atau dalam medis mereka mengalami remisi sebagian atau remisi sempurna dengan kontrol seumur hidup. Jumhur (mayoritas) fuqaha memberikan hukum bahwa orang setengah gila (ma'tuh) dapat melepaskan taklif (pembebanan hukum), termasuk macamnya gila.
Hukum yang berlaku pada orang setengah gila sesuai dengan hukumnya orang gila, baik dalam urusan ibadah, urusan harta dan mu'amalah, atau pada urusan akad seperti nikah, talak maupun akad tasharuf yang lain.
Hal ini mengacu pada hadits Nabi yang menyatakan bahwa orang setengah gila termasuk orang yang tidak dicatat amalnya. Imam Ibnu Abidin (Hanafiyah) juga memberikan pernyataan: "orang setengah gila itu seperti anak kecil yang mumayyiz dan berakal.” (http://www.piss-ktb.com/2015/02/3781-hukum-taklif-pada-orang-setengah.html)
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa orang gila (gangguan jiwa) baik berat atau sebagaian tidak dibebankan syariat atasnya. Jika pengidap gangguan jiwa tidak dibebankan syariat, bagaimana mungkin pengidap gangguan jiwa diberi hak pilih dalam Pemilu 2019?
Demikianlah, lagi-lagi demokrasi selalu timpang dalam memberikan solusi. Bagaimana tidak, undang-undang dan segala solusi yang bersumber dari akal manusia pasti lah penuh dengan kekurangan, dan mudah jatuh dalam kesalahan. Belum lagi multitafsir yang pasti akan terjadi. Selalu ada buntut kerisauan dalam masayarakat.
Sekali lagi kita ditampakkan cacatnya sistem ini yang tegak atas nama kapitalis-demokrasi. Sudah saatnya kita kembali kepada Aturan Allah, karena hanya dengan memegang teguh aturan Allah SWT maka kehidupan ini akan damai dan sejahtera, Insyaa Allah. Wallahu A’lam bi showab. [syahid/voa-islam.com]
*Penulis adalah Praktisi Kesehatan Kota Malang
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!