Senin, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 12 November 2018 22:42 wib
4.362 views
Derita Guru Tanpa Status
Oleh: Oktavia Nurul Hikmah, S.E. (Revowriter Gresik)
Demokrasi membuat calon pemimpin mudah berjanji. Menjanjikan kesejahteraan, keamanan, kedaulatan, dan seabrek janji yang kini tinggal mimpi. Harapan-harapan manis selalu ditebarkan di masa kampanye, agar suara tak membludak di pihak lawan. Namun, setelah terpilih jadi pemimpin, rakyat yang jadi korban. Dihempaskan jatuh setelah dibiarkan berharap terlalu jauh.
Ribuan guru honorer K2 pun menuntut janji kampanye yang belum dilunasi. Sebanyak 500 kendaraan memuat para guru tanpa status dari seluruh Indonesia yang melakukan aksi unjuk rasa di depan istana Presiden pada Selasa (30/10). Sayangnya, hingga Rabu (31/10), pesiden ataupun perwakilannya tidak nampak keluar menemui dan mendengarkan aspirasi para peserta aksi. Demi menunggu respon positif dari istana, ribuan pahlawan tanpa tanda jasa tersebut terpaksa menginap di jalanan seberang istana. Namun, pada akhirnya mereka pun pulang dengan menelan kekecewaan.
Ini bukan aksi yang pertama. Sebelumnya, para guru honorer telah melaksanakan serangkaian aksi di daerah sejak akhir September lalu. Setelah tahun demi tahun aspirasi mereka tidak mendapat atensi, forum guru honorer menggelar aksi akbar di akhir Oktober ini. Dalam aksinya, mereka menuntut pencabutan Peraturan Menteri (Permen) Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 36 dan 37 tahun 2018. Regulasi tersebut mengatur honorer K2 yang bisa menjadi PNS hanya yang berusia di bawah 35 tahun.
Mereka menolak dijadikan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) karena regulasi tak jelas. Selain itu mereka meminta payung hukum pengangkatan PNS yang pro honorer.
Tuntutan para guru ini sejatinya hanyalah upaya menagih janji kampanye yang disampaikan penguasa pada 2014 lalu. Ketua Forum Honorer K2, Titi Puwaningsih mengatakan saat ini mereka akan menempuh jalur hukum terlebih dahulu lewat Mahkamah Agung. Jika sampai akhir tahun tak ada keputusan pro honorer, mereka akan menentukan sikap politik.
“Kami adalah forum legal, punya masa, punya hak pilih. Kami tidak akan menyia-nyiakan ini. Kami akan memberikan dukungan politik ke calon manapun yang bisa mengangkat honorer jadi PNS”, ujar Titi.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada tahun pelajaran 2017/2018, jumlah guru honorer daerah sebesar 155.096 orang atau sekitar 1/8 dibandingkan guru dengan status PNS. Ketua Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I) menerangkan, guru honorer sendiri di antaranya terbagi menjadi honorer kategori satu (K1) dan kategori dua (K2).
Honorer K1 mendapatkan alokasi anggaran dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) atau dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Sementara, untuk K2 berasal dari dana bantuan operasional sekolah (BOS) atau komite. Dia mengatakan, rata-rata gaji guru honorer di daerah di bawah Rp 500 ribu per bulan. Ironisnya, gaji tersebut kadang tak dibayarkan rutin per bulan (detik.com, 2/5).
Gambaran buruk yang menimpa para pendidik generasi tak lepas dari sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini. Perhitungan untung rugi menjadi bahasan utama. Pun dalam mengurus kepentingan warga negara, pemerintah menempatkan diri sebagai regulator semata. Terkait prakteknya, biarkan uang yang bekerja. Maka, sesiapa yang memiliki dana, ialah yang paling berhak mengecap sejahtera.
Berbeda dengan Islam. Islam memandang bahwa penguasa adalah penanggung jawab utama keberlangsungan hidup masyarakat. Khilafah Islam wajib memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya secara langsung. Dan syara' telah menetapkan bahwa negara yang secara langsung menjamin pengaturan pemenuhan kebutuhan primer ini (Abdurrahman Al-Maliki, 2001 hal. 186).
Penguasa berkewajiban memenuhi segala keperluan mendasar warga negara seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara optimal. Maka, gambaran pendidikan dalam Islam adalah pendidikan gratis berkualitas yang diampu oleh para pengajar terbaik serta fasilitas penunjang yang lengkap. Kesejahteraan para pendidik pun tidak perlu dikhawatirkan. Khalifah Umar bin Khattab misalnya, menggaji para guru sebesar 15 dinar sebulan. Itu setara dengan Rp 33.000.000 di masa kini.
Pemenuhan kebutuhan masyarakat oleh negara didukung dengan politik ekonomi Islam yang kokoh. Sistem pendidikan formal yang diselenggarakan Negara Khilafah memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari Negara (Baitul Mal).
Terdapat dua sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu (1) pos fa'i dan kharaj yang merupakan kepemilikan negara- seperti ghanimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah dan dhariibah (pajak); (2) pos kepemilikan umum seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan).
Adapun pendapatan dari pos zakat tidak dapat digunakan untuk pembiayaan pendidikan karena zakat mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat (QS:9:60) (Zallum, 1983; an-Nabhani,1990).
Andaikan penerimaan tersebut tidak mencukupi, negara akan mengupayakan segera dengan cara utang tanpa riba. Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk dua kepentingan. Pertama, untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan seperti guru, dosen, karyawan,dan lain-lain. Kedua, untuk membiayai segala macam sarana dan prasarna pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya (An-Nabhani, 1990).
Demikianlah gambaran pendidikan dalam Islam. Hanya saja, hal tersebut takkan pernah terwujud tanpa adanya institusi negara Khilafah yang berkomitmen menrapkan syariat kaffah. Khilafah Islam telah diruntuhkan sejak tahun 1924. Inilah saatnya kaum muslim berjuang mewujudkan kembali kehilafahan berdasarkan manhaj kenabian. Itulah khilafah yang dijanjikan oleh Allah SWT.
“Periode kenabian akan berlangsung pada kalian dalam beberapa tahun, kemudian Allah mengangkatnya. Setelah itu datang periode khilafah aala minhajin nubuwwah (kekhilafahan sesuai manhaj kenabian) selama beberapa masa, hingga Allah mengangkatnya. Kemudian datang periode penguasa yang menggigit selama beberapa masa.
Selanjutnya datang periode penguasa yang memaksakan kehendak dalam beberapa masa hingga waktu yang ditentukan Allah. Setelah itu akan terulang kembali periode khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Kemudian Nabi Muhammad saw diam” (HR. Ahmad, shahih). [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!