Ahad, 14 Jumadil Awwal 1446 H / 30 September 2018 08:21 wib
3.684 views
Rupiah Melemah, Umat Terengah-engah!
Oleh: Rospala Hanisah Yukti Sari
(Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Matematika UNY)
Gaung kebobrokan negeri semakin nyaring terdengar. Indikasi terlihat dari melemahnya nilai rupiah terhadap USD yang sempat mencapai Rp 15.000,00 per USD.
Sejarah mencatat faktor penting tumbangnya rezim orde baru disebabkan karena krisis moneter yang terjadi pada saat itu, dimana nilai rupiah terhadap USD merosot tajam di angka Rp 16.000 per USD pada maret 2018.
Akibat dari krisis moneter tersebut adalah jumlah barang yang tetap namun bertambah jumlah uang yang beredar, sehingga mengalami inflasi yang sangat tinggi.
Dengan demikian, harga barang menjadi lebih mahal dan umat pun bertambah sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini menjadi konsekuensi logis dari sistem ekonomi kapitalis yang menjadikan uang sebagai komoditas yang mengakibatkan nilai permintaan atau kebutuhan akan dolar AS di dalam negeri meningkat, sementara persediaannya tetap bahkan mengalami penurunan yang mengakibatkan nilai tukar rupiah semakin turun.
Dengan anjloknya nilai rupiah, tentu akan berdampak pada kondisi perekonomian nasional. Permintaan terhadap USD disebabkan karena salah satunya kita masih mengandalkan impor berupa bahan baku makanan, elektronik, bahan pakan ternak, bahan baku tekstil, BBM, dll. Sebagian masyarakat yang mengandalkan pendapatan dari impor di tengah kondisi seperti ini tentu akan memicu neraca perdagangan di perekonomian Indonesia menjadi defisit.
Ditambah dengan liberalisasi perdagangan dan industri produk asing yang membanjiri pasar domestik, sehingga ketergantungan terhadap impor semakin tinggi. Alhasil, defisit transaksi berjalan, sehingga impor lebih banyak dari ekspor. Sementara penjualan menggunakan mata uang rupiah yang berakibat sulitnya menaikkan harga jual sehingga terjadi gelombang PHK.
Gelombang PHK akan menimbulkan masalah sosial karena pengangguran yang semakin banyak ditambah dengan kehidupan yang serba membelit akan memaksa seseorang untuk melakukan tindakan kriminal. Faktor lainnya adalah capital outflow dari pasar saham dan obligasi, politik anggaran negara APBN yang bergantung pada utang luar negeri dan intervensi valas yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan hati-hati.
Melemahnya nilai rupiah terhadap USD juga akan berpengaruh terhadap hutang luar negeri Indonesia yang sempat mencapai Rp 5.425 Triliun (CNNIndonesia, 2018). Sistem ekonomi kapitalis-neoliberal yang menjadikan utang luar negeri berbasis ribawi sebagai salah satu tumpuan dalam menjalankan perekonomian nasional telah menjadikan negara menjadi rawan terhadap krisis. Jumlah utang luar negeri beserta bunganya yang dibayar pemerintah akan merangkak naik.
Ditambah dengan membuka peluang sebesar-besarnya kepada investor asing untuk menguasai perekonomian Indonesia, dimana sebagian besar SDA telah diprivatisasi oleh swasta. Konsekuensi logis dari permasalahan ini adalah ketika rupiah melemah, maka akan menurunkan tingkat kepercayaan terhadap para investor asing karena perekonomian dalam negeri sedang terjadi guncangan.
Akibatnya, para investor mengamankan diri dengan menarik investasi mereka sehingga terjadi pertukaran rupiah terhadap USD dengan skala yang besar yang mengakibatkan rupiah semakin lemah.
Sistem kapitalis yang menyebabkan rentannya krisis ekonomi Indonesia disebabkan karena mata uang yang bertumpu pada uang kertas, hutang piutang yang ditopang oleh riba yang mengakibatkan bunga pinjaman akan terus menggelembung seiring waktu, sistem transaksi pasar modal, perdagangan saham dan obligasi yang spekulatif, defisit antara sektor riil dengan non-rill yang semakin besar dimana sektor non-riil yang menguasai perekonomian dan terjadinya liberalisasi perdagangan.
Dalam sistem ekonomi Islam, mata uang bertumpu kepada emas dan perak yang bernilai stabil sehingga akan membatasi pemerintah dalam mencetak uang yang berujung kepada inflasi dan menghilangkan dominasi asing terhadap mata uang negara lain karena setiap transaksi disandarkan kepada emas dan perak yang berakibat kurs akan relatif stabil. Sistem ekonomi Islam juga melarang praktik riba, baik nasiah atau fadhal.
Dimana praktik riba ini menjadi corong utama dalam kapitalisme penyebab terjadinya krisis. Sistem ekonomi Islam juga melarang menjual barang yang tidak menjadi milik seseorang sehingga haram memindahtangankan kertas berharga, obligasi dan saham yang dihasilkan dari akad-akad batil (seperti PT dan asuransi).
Islam juga melarang adanya kebebasan kepemilikan, yaitu kepemilikan umum yaitu setiap benda yang dinyatakan dalam hukum syara’ diperuntukkan untuk umat, sedangkan negara atau swasta dilarang untuk menguasainya.
Benda-benda yang terdiri atas SDA seperti minyak bumi, tambang, energi dan listrik yang digunakan sebagai bahan bakar. Islam menjadikan negara sebagai pengelola dan mendistribusikannya kepada umat sesuai dengan ketentuan hukum syara’ baik dalam bentuk barang maupun jasa.
Selain itu, sistem Islam juga melarang dominasi asing menguasai perekonomian Indonesia, sehingga investor asing terutama yang berasal dari negara kafir harbi akan di blacklist. Sistem Islam juga akan menopang dan mendorong pengusaha lokal untuk meningkatkan produksi dan mendistribusikannya dengan cara memberikan modal tanpa bunga kepada para pengusaha.
Oleh karena itu, barang dan jasa yang pokok seperti pangan, energi, industri berat dapat dihasilkan secara mandiri sehingga tidak mudah didikte oleh kepentingan asing yang bermotif menjajah negara.
Dengan demikian, sistem kapitalisme liberal yang menjadi biang keladi dalam krisis yang terjadi baik skala nasional maupun internasional. Hanya sistem Islam yang berasal dari Allah SWT yang mampu menyelesaikan segala krisis dan problematika umat saat ini, sehingga Islam bisa diterapkan dan menjadi Rahmatan lil’alamin. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!