Rabu, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 31 Januari 2018 14:24 wib
3.224 views
Darurat Eksistensi Kaum Pelangi
Sahabat VOA-Islam...
Akhir tahun ini, masyarakat yang masih waras didera rasa putus asa. Bagaimana tidak? Di tengah carut marut kondisi negeri dengan beragam issu berkonotasi negatif nya, -baik sektor ekonomi, pendidikan maupun gerak perpolitikan, ada saja pihak yang tanpa rasa bersalah menambah kegaduhan itu. Kali ini datang dari lima orang hakim yang mendiami kursi Mahkamah Konstitusi.
Sebuah wadah yang kiranya menjadi harapan terbesar rakyat dalam menyampaikan aspirasinya, mengingat PR DPR yang tak kunjung rampung. Dalam putusannya Kamis lalu (14/12), permintaan perluasan pasal zina KUHP resmi ditolak. Tentu saja, hal itu semakin menyenangkan para pendukung dan pelaku LGBT. Mereka merasa menang telak. Perbuatannya dilegalkan, aman dari ranah hukum.
Semuanya benar benar diluar nalar. Beragam fakta yang disuguhkan oleh para penggugat berdasarkan data objektif penelitian, nyatanya tetap tidak mampu mengusik hati nurani dan akal sehat mereka. Dari sisi medis misalnya, sudah jelas dampak buruk dari perbuatan kotor itu. Penyebaran penyakit seperti HIV, AIDS dan juga sipilis adalah hal yang sudah pasti terjadi. Lucunya, negara tetap memberikan bantuan fasilitas pengobatan pada penyakit yang keberadaannya disengaja tersebut.
Dari sisi lain yang lebih krusial lagi yaitu agama yang notabene menjadi acuan dalam berkehidupan, secara tegas telah mengharamkan perilaku penyimpangan seksual yang sebenarnya bisa disembuhkan itu. Selain karena menyalahi fitrahnya sebagai manusia, penyimpangan seks juga mengancam eksistensi manusia alias pemusnahan generasi.
Sayangnya, di era jahiliah modern ini, niat tulus untuk memperbaiki moralitas dan masa depan negeri harus kalah oleh niatan sekelompok manusia yang mati matian menyuarakan HAM. Kriminalitas semacam ini seolah tidak dipermasalahkan, asal kebebasan berekspresi individu terpenuhi. Agama dan negara juga tidak diberi wewenang untuk mengatur hak tersebut. Padahal yang mesti terjadi, negara menjadi pihak pengontrol, pelindung sekaligus penjaga keberlangsungan kehidupan masyarakat agar tetap sesuai dengan koridor agama.
Ironisnya, hasil pemungutan suara lagi lagi dijadikan sebagai patokan benar salahnya suatu perkara, yang kali ini sudah jelas letak kebatilannya. Sama dengan persidangan Perppu di DPR kemarin, voting terbanyak dianggap sebagai pemenang, sesuatu yang benar karena sudah mewakili suara rakyat. Padahal, di hari yang sama atau hari hari sebelumnya, protes dan aksi yang menuntut dibatalkannya Perppu sudah dilakukan oleh jutaan orang dari berbagai lapisan dan aliansi.
Jadi, suara siapa yang sebenarnya mereka wakili? Rakyat? Atau lagi lagi dengungan kekuasaan yang mendorong mereka melegitimasi terbitnya perppu dan legalitas LGBT? Agar tetap jaya, agar tetap adidaya
Kenyataan tersebut tentu tidak sejalan, atau bertentangan dengan bagaimana cara Islam mengambil suatu keputusan atas perkara. Dimana syara' selalu dijadikan sumber rujukan hukum. Sehingga tidak memungkinkan adanya dorongan nafsu yang bermain disana karena syara' sudah sangat jelas dalam perinciannya.
HAM, apalagi? Tidak ada hak mutlak atas setiap individu. Sehingga tidak diperkenankan bagi mereka mengatasnamakan hak atas suatu penyimpangan mengingat posisi HAM yang tidak lebih tinggi dari syara'.
Adapun terkait sanksi, LGBT oleh para pengagung nilai kebebasan ini dianggap sebagai sesuatu yang tidak boleh dan tidak bisa dikriminalkan. Berbeda dengan Islam yang menilai bahwa penyimpangan tersebut sebagai suatu kejahatan besar terhadap kodrat alami manusia. Sehingga sanksi pun diberlakukan secara tegas berupa ta'zir (sanksi ditentukan oleh pemerintahan Islam seperti pengasingan/penjara) atau bahkan sampai pada had hukuman mati.
Disinilah letak kemuliaan tata aturan Islam. Lengkap, sempurna dan paripurna. Baik itu menyangkut urusan pribadi, masyarakat, maupun kenegaraan yang tentu saja memiliki cabang permasalahan yang lebih kompleks. Sehingga, harusnya tidak ada lagi keraguan sedikitpun bagi orang orang yang berakal untuk segera berhijrah dari hukum buatan manusia pada hukum yang kebenarannya sudah hakiki. Hukum Islam.
Bukankah kesaksian dalam syahadat menuntut kesediaan manusia dalam berhukum pada hukum dari Al Khaliq yang dibawa oleh utusan Nya, Nabi Muhammad? [syahid/voa-islam.com]
Kiriman Maya, Gresik
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!