Ahad, 27 Jumadil Akhir 1446 H / 10 Juli 2016 19:55 wib
5.156 views
Tak Sebatas Rindu
Oleh: Eka Sugeng Ariadi
(Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya)
Setiap insan manusia pasti merasakan getaran-getaran rasa rindu (kangen) yang membelenggu hatinya. Rindu pada sang kekasih, rindu kepada suami/istri/anak-anaknya, rindu berbakti pada orang tuanya, rindu bergelut dengan pekerjaan/hobi-hobinya, dan lain sebagainya, yang semua itu memiliki kadar kerinduan dan konsekuensi/implikasi masing-masing. Jangankan orang yang berhati lemah lembut/penyayang, yang berhati batu/kejam/bengis sekalipun pasti terselimuti kabut rindu pada seseorang atau sesuatu.
Sehingga dari feeling kerinduan yang sangat abstrak dan absurd itu, tentu ingin sesegera mungkin di-exist-kan/dinyatakan dengan perbuatan/perkataan. Bagi seorang muslim/ah, pertanyaannya adalah side-effects (efek samping) pengejahwantahan rindunya itu akan menguatkan amal kebaikannya atau justru akan melanggengkan amalan keburukannya?.
Pertanyaan di atas rasanya pantas untuk sedikit diulas di hari-hari terakhir perpisahan kita dengan bulan mulia nan berkah, Ramadhan 1437 H. Dengan harapan, menyambut bulan peningkatan (Syawal 1437 H) yang kurang 1-2 hari ini, penulis dan pembaca sekalian bisa mempertahankan prestasi ibadah dan keimanan selama Ramadhan dan tentu berharap bisa lebih baik lagi. Berikut ini penulis beri contoh prototype ‘efek samping’ rindu yang bisa melanggengkan amalan keburukan.
Di saat Rasulullah Saw dan para shahabat menyampaikan risalah Islam pertama kali di Makkah, Abu Lahab dan kroni-kroninya ‘rindu’ sekali tuk menghalangi, menghentikan, merusak, mencelakai bahkan tak segan ingin segera membunuh Rasulullah Saw. Bagi kaum kafir Quraisy pada saat itu, tiada hari tanpa konspirasi, agresi dan strategi licik demi merealisasikan ‘rindu’ jahatnya pada Rasulullah Saw. Dikisahkan oleh Ibnu Hibban dan Ibnu Huzaimah telah mengeluarkan sebuah hadits, ia berkata; Aku melihat Rasulullah saw. melewati pasar Dzil Majaz.
Beliau memakai jubah berwarna merah. Kemudian Rasulullah Saw bersabda, “Wahai manusia, katakanlah Lâ Illâha Illallâh, niscaya kalian akan berbahagia”. Seketika itu seorang laki-laki mengikutinya sambil melempari dengan batu dan berteriak-teriak, “Wahai manusia!, Jangan mengikutinya karena ia adalah pendusta.” Akibat lemaparan batu tersebut, tumit dan betis Rasulullah Saw pun berdarah-darah. Aku bertanya, “Siapa orang itu?” Mereka berkata, “Ia adalah anak muda dari bani Abdil Muthalib.” Aku bertanya lagi, “Lalu siapa orang yang mengikutinya sambil melemparinya dengan batu?” Mereka berkata, “Abdul Uzza”, Abû Lahab.
Kisah ‘kerinduan’ bermotif kejahatan lainnya, sebagaimana Imam al-Bukhâri telah meriwayatkan dari Abdullah ra., ia berkata; Ketika Nabi saw. bersujud, sedangkan di sekitarnya ada sekelompok orang Quraisy, kemudian datanglah Uqbah bin Abi Mu’ith dengan membawa kotoran unta dan melemparkannya ke punggung Nabi saw; maka Nabi tidak mengangkat kepalanya. Kemudian Fatimah datang dan membersihkan kotoran itu dari punggung Nabi saw. Beliau membiarkan apa yang dilakukan orang-orang Quraisy itu dan kemudian bersabda: “Ya Allah, binasakanlah segolongan orang Quraisy, yaitu Abû Jahal bin Hisyam, Uthbah bin Rabî’ah, Syaibah Ibnu Rabî’ah, Umayah Bin Khalaf atau Ubay bin Khalaf.”
Inilah model rindu bermisi kebencian pada kebenaran, rindu bervisi menghancurkan Islam, rindu berisi kekufuran, rindu tanpa didasari keimanan kepada Yang Memiliki Segala Rasa Rindu di seluruh umat manusia, rindu yang berbuah keburukan. Ironisnya, di akhir zaman seperti sekarang model kerinduan kayak ini tidak saja dilakukan oleh orang di luar Islam (seperti aksi brutal umat Budha terhadap umat muslim di Rohingya, Yahudi Israel terhadap muslim Palestina, komunis China di Uighur, dll), tapi justru dipraktikkan oleh oknum segelintir tokoh muslim/ah sendiri.
Ada tokoh muslim yang mengungkapkan rasa rindunya kepada Rasulullah Saw dengan bernyanyi-nyanyi bersama di gereja, ada yang membuktikan rindunya dengan membela mati-matian pemimpin kafir yang sudah dengan jelas-jelas dzolim terhadap mayoritas umat Islam di daerahnya, ada yang betapa sangat rindunya sehingga dia berkata hormatilah orang yang tidak berpuasa, kurangi kebisingan speaker di masjid karena bisa mengganggu umat lainnya, legalkan miras, perjudian, prostitusi, pernikahan sejenis, LGBT, lestarikan budaya syirik dan masih banyak fakta-fakta lainnya.
Di lain sisi, si perindu model ini justru membisu mulutnya, membuta matanya dan mentuli telinganya ketika tahu ada umat Islam yang digusur tempat tinggalnya, rumah ibadahnya dibakar, aktifitas keagamaannya dibatasi dan diintimadasi. Naudzubillahi min dzalik, rindumu memang tak sekedar rindu, rindumu berbuah perkataan dan perbuatan, yang dengan itu kami tahu kerinduan model apa yang kau pilih dan menguatkan amal apa yang sedang kau kumpulkan. Semoga tak lagi kau langgengkan.
Lalu, bagaimana dengan prototype kerinduan yang menguatkan amal kebaikan? Dalam sebuah hadits diceritakan: Suatu ketika berkumpullah Rasulullah Saw bersama para shahabatnya, diantaranya hadir Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. Rasul Saw berucap, “Wahai Abu Bakar, aku begitu rindu hendak bertemu dengan saudara-saudaraku.” Begitu mendengar ungkapan ini, suasana majelis mendadak hening, muncul tanda tanya besar dan rasa penasaran yang luar biasa dalam benak segenap yang hadir. Namun tak satupun berani menyela dan bertanya, kecuali shahabat tercintanya, Abu Bakar ra. Meski bagi Abu Bakar ra sendiri, pengakuan (curhat) ini baru pertama kali beliau dengarkan, namun demi menjawab semua rasa penasaran, beliau lantas memberanikan diri bertanya, “Ya Rasulullah, apakah maksudmu berkata demikian? Bukankah kami ini saudara-saudaramu?.”
Rasulullah Saw menjawab kegusaran shahabat tercintanya itu, “Tidak wahai Abu Bakar, kalian semua adalah shahabat-shahabatku, tetapi bukan saudara-saudaraku.” Shahabat yang lain menyahut dengan rasa semakin penasaran, “Kami ini juga saudaramu Ya Rasulullah.” Rasul Saw menggeleng-gelengkan kepala sembari tersenyum dan kemudian bersabda, “Saudara-saudaraku adalah mereka yang belum pernah melihatku tetapi mereka beriman denganku dan mereka mencintaiku melebihi anak-anak dan orang tua mereka. Mereka itu adalah saudara-saudaraku dan mereka bersama denganku. Beruntunglah mereka yang melihatku dan beriman kepadaku dan beruntung juga mereka yang beriman kepadaku sedangkan mereka tidak pernah melihatku.”
Subhanallah, pembaca yang dimuliakan Allah Swt, kitakah orang-orang yang disebut Rasulullah Saw sebagai saudara-saudaranya dan yang dirindukannya itu? Layakkah kita berharap dirindukannya padahal kita sendiri tidak merindukannya kecuali kerinduan formalitas dan ala kadarnya (ala kobernya). Pantaskah kita dirindukannya, sedang kita lebih memilih diam tak berdaya ketika Rasulullah Saw dihina, dikarikaturkan, tuntunannya diabaikan (dipakai sekedar untuk ritual keagamaan, dicampakkan dalam kehidupan sosial masyarakat dan bernegara), padahal sesungguhnya kita diberi kesehatan dan kecerdasan sehingga mampu bergerak dan membedakan mana yang mengajak kebaikan mana menjerumuskan pada kesesatan.
Kita lebih mendukung pendapat orang-orang sombong yang berkata Ayat-ayat Konstitusi harus berada di atas Ayat-ayat Suci, sebaliknya kita justru membenci orang-orang yang berani melakukan amar makruf nahi mungkar. Kita malah apriori terhadap orang-orang yang ingin mengungkapkan kerinduannya pada Rasulullah Saw sesuai dengan apa-apa yang memang diperintahkan dan dilarang olehnya. Bila Rasulullah Saw melarang miras/narkoba/korupsi/prostitusi/dll, bukankah kita seharusnya juga berada dibarisan yang berjuang untuk memberantas itu semua.
Bila Rasulullah Saw mensunnahkan agar mensyiarkan dan memperbanyak takbir menjelang hari raya, bukankah tidak pantas bila ada pejabat muslim lagi, melarangnya. Ketika Rasulullah Saw mentauladankan untuk bersikap lemah lembut dan kasih sayang tanpa anarkis dan kekerasan, maka kita pun harus demikian. Sebaliknya, bila Rasulullah Saw mencontohkan untuk bersikap keras, tegas, tanpa kompromi, gunakan segala kekuatan fisik, tenaga dan pikiran, maka jangan lagi ada alasan untuk tidak melakukannya. Ini akan menjadi bukti bahwa rindu ini tak sebatas rindu di hati, namun harus menjadi full-energy di seluruh ujung jari tangan dan kaki.
Saudaraku, inilah model kerinduan yang ditauladankan dan harus menjadi prototype kualitas kerinduan umat Islam di akhir zaman. Rindu yang tak sebatas formalitas/ritualitas/seremoni peringatan hari-hari besar Islam. Akan tetapi, rindu ini rindu yang membekas tanpa batas ruang dan waktu.
Karena di lain hadits, kelak ketika seluruh umat manusia ini dibangkitkan dari tidurnya, termasuk juga Rasulullah Saw, maka lihatlah dengan hati dan akal sehatmu bahwa orang yang pertama kali dicari-cari dan ditanyakan Rasulullah Saw kepada malaikat bukanlah istri tercintanya Khadijah, atau putrinya Fatimah, tapi justru kita (saya, Anda dan seluruh umatnya). Subhanallah, ternyata kita amat sangat dirindukannya. Adakah rindu kita seperti itu? [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!