Jum'at, 27 Jumadil Akhir 1446 H / 1 Juli 2016 08:20 wib
5.568 views
Jakarta dan Indonesia Kini-Esok
Oleh: Umar Syarifudin (Praktisi Politik)
Terkait Pilgub DKI 2017, Pengamat politik dari Universitas Mercu Buana, Heri Budianto menilai calon pemimpin DKI Jakarta yang ideal yakni harus memiliki sikap tegas. Hal tersebut diperlukan untuk mengatasi kompleksitas permasalahan di Jakarta. "Tegas namun tidak boleh arogan atau kasar," ucapnya di Jakarta, Jumat. Heri mengatakan calon pemimpin Jakarta nanti juga harus memiliki keberanian dalam mengambil setiap keputusan.
Hal itu, kata dia, untuk mengatasi masalah-masalah kronis di Jakarta agar menjadi lebih baik. "Tapi kembali saya ingatkan, bukan dengan cara kasar, karena tegas dan berani tidak identik dengan kasar," katanya. Ia pun mengimbau agar calon pemimpin yang baik dapat mengatasi masalah kesenjangan yang terjadi di Jakarta. Menurut dia, pemimpin yang baik harus dapat menaikan derajat yang masyarakat bawah menjadi seimbang.
Heri menambahkan, pemimpin DKI Jakarta jangan sampai menindas masyarakat kecil dan mendukung mereka yang memiliki kuasa. Ia pun berharap publik dapat secara cerdas memilih pemimpin DKI Jakarta pada Pilkada 2017 mendatang tuturnya kepada republika.co.id.
Mayoritas masyarakat mendambakan adanya gerakan perubahan yang mengarah kepada pembenahan maupun penanganan serius dari setiap permasalahan-permasalahan di Jakarta, dan berharap adanya tindakan nyata dari para aparatur yang memerintah Ibukota Jakarta yang berimbas kearah yang lebih baik untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Oleh karena itu penduduk Jakarta sangat mendambakan terwujudnya kota Jakarta yang bermartabat.
Tidak sedikit dari masyarakat yang tinggal di Jakarta menyatakan bahwa segala permasalahan di Ibukota Jakarta disebabkan ketidakmampuan pemerintah daerah khususnya kepada Gubernur selaku kepala daerah dan jajarannya tidak mampu memberikan solusi-solusi tepat guna maupun inovasi-inovasi baru untuk mengatasi masalah tersebut, dan cenderung mengedepankan kepentingan pengusaha maupun penguasa.
Tidak mau kalah dengan warganya, Gubernur dan para aparaturnya juga terkadang memberikan pernyataan bahwa permasalahan yang terjadi di Jakarta acap kali dilakukan oleh warganya sendiri yang kurang taat terhadap peraturan-peraturan yang dibuat. Sangat klasik bila melihat hubungan sebab akibat dari permasalahan yang timbul di Jakarta, ibarat bicara mengenai ayam dan telur, mana yang lebih dahulu ada.
Introspeksi
Menyikapi kegelisahan masyarakat, tentang kriteria pemimpin dan kepemimpinan, ada tiga hal yang harus dimiliki: Pertama, kualitas dan integritas orang yang memimpin (person); kedua sistem yang diterapkan; dan ketiga sikap pihak yang dipimpin.
Pertama: pemimpin muslim, mukmin, yang memiliki ketaqwaan. Islam menegaskan pentingnya kualitas dan integritas diri pemimpin. Negara yang baik hanya dapat lahir dari pemimpin yang memiliki visi menjadi pelayan masyarakat yang dicintai dan mencintai dengan syariah Islam, bukan dengan mengeksploitasi ambisi. Rasul saw. bersabda:
«إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى اْلإِمَارَةِ وَ.سَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
Sesungguhnya kalian akan memiliki ambisi untuk dapat memegang suatu jabatan. Padahal pada Hari Kiamat nanti jabatan itu menjadi suatu penyesalan. (HR al-Bukhari, an-Nasa’i dan Ahmad).
Sebaliknya, pemimpin yang menipu rakyat, bermuka dua, atau menjadi antek asing tidak bisa diharapkan dapat mendatangkan kebaikan. Karena itu, wajar Allah mengharamkan baginya surga. Rasul saw. bersabda:
«مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنْ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ»
Tidaklah seorang pemimpin memimpin rakyat dari kalangan kaum Muslim, lalu ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali diharamkan baginya masuk surga. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Baldah thayyibah akan terwujud jika pemimpinnya mendudukkan diri untuk melayani umat dengan sepenuh hati, melindungi masyarakat dengan sekuat tenaga, memenuhi kebutuhan pokok individu dan memberi peluang seluas-luasnya bagi seluruh warga untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier, serta merealisasikan tujuan luhur syariah dengan menerapkan syariat Islam.
Kedua: sistem. Nabi Muhammad saw., jauh sebelum diangkat sebagai nabi, sudah dikenal sebagai orang yang mulia, jujur, dan amanah. Semua karakter baik ada pada diri Beliau. Beliau bahkan digelari ‘Al-Amin’. Namun, Allah Swt. tidak hanya mencukupkan pada karakter pemimpin semata. Dia menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya berupa al-Quran dan as-Sunnah sebagai petunjuk bagi manusia. Dengan aturan dari Allah itulah Beliau mengatur, mengurusi dan menghukumi manusia. Realitas ini saja memberikan ketegasan, bahwa negeri yang baik tidak akan mewujud hanya dengan pemimpin yang akhlaknya baik. Tentu diperlukan sistem dan aturan yang juga baik. Apakah sistem dan aturan yang baik itu? Tentu, sistem dan aturan yang lahir dari Zat Yang Mahabaik. Itulah syariah Islam yang dijalankan dalam sistem Kekhilafahan. Ketika kerusakan terjadi, manusia disuruh kembali pada aturan dan hukum-Nya. Bukankah Dia Yang Mahaperkasa menyatakan:
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar, jalan Allah). (QS ar-Rum [30]: 41).
Ketiga: koreksi dari rakyat, termasuk ulama. Pemimpin bukanlah malaikat. Karenanya, ia bisa saja salah. Jika pemimpin yang salah dibiarkan, kezaliman akan menjadi hal yang dianggap wajar belaka. Untuk itulah Islam mewajibkan adanya koreksi terhadap penguasa (muhâsabah li al-hukkâm). Kata Nabi saw., “Siapa saja yang melihat penguasa lalim, yang menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, melanggar janji Allah, menentang sunnah Rasulullah, melakukan dosa dan permusuhan terhadap hamba Allah, lalu dia tidak mengubah dengan perkataan ataupun perbuatan, maka Allah berhak untuk memasukkannya ke tempat mereka masuk.” (Lihat: Ath-Thabari dalam At-Tarikh).
Ringkasnya, baik-buruk, benar-salah, dan kuat-lemah pemimpin bergantung pada pemimpin itu sendiri, sistem yang diembannya, dan sikap dari masyarakat yang dipimpinnya.
Pemimpin yang tidak memiliki visi yang jelas. Arah Indonesia didasarkan pada arahan asing dan aseng. Sering kepemimpinan yang lemah adalah karena tidak adanya kesadaran ideologis dan politis. Langkah-langkah yang dilakukan lebih bersifat pragmatis. Pikirannya tertuju pada mempertahankan kekuasaan, memenangkan Pemilu, mengembangkan bisnis keluarga atau partainya, dll; atau aktivitas yang dilakukannya hanya sekadar untuk menyenangkan pihak asing. Jika ini terjadi, hakikatnya pemimpin tersebut merupakan ’budak’ yang tidak memiliki kemandirian. Apalagi jika dalam kepemimpinannya tidak menjadikan Islam sebagai landasan, tidak takut akan siksa Allah ketika melanggar syariah-Nya. Karenanya, pemimpin seperti ini tidak dapat diharapkan membawa kebaikan dalam kepemimpinannya.
Berbenah dengan Tatanan Syariah
Kepemimpinan yang kuat dan amanah hanya akan lahir jika dasarnya adalah kepemimpinan ideologis (qiyâdah fikriyah). Artinya, kepemimpinan harus dibangun oleh akidah Islam dan syariahnya. Pemimpin dan rakyat sama-sama memahami dan berpegang pada akidah dan syariah Islam. Pemimpin diikuti bukan karena akhlaknya semata, melainkan juga karena dia pengemban kebenaran. Begitu juga, pemimpin berkuasa bukan karena kekuasaannya belaka, melainkan karena amanahnya untuk menerapkan Islam.
Tegakkan sistem Islam. Rasulullah saw. mencontohkan hal ini. Di Makkah, Beliau menolak kekuasaan karena sistem kejahiliahan Quraisy masih bercokol. Berbeda dengan itu, Beliau justru menerima tawaran kekuasaan di Madinah pasca hijrah dengan menerapkan Islam secara kâffah. Sekularisme yang menopang kapitalisme, pluralisme, dan liberalisme harus ditolak. Pengganti tunggalnya adalah: jadikan akidah Islam sebagai landasan dalam kehidupan dan terapkan syariah Islam yang memberikan rahmat bagi masyarakat plural. Rombak sistem pendidikan materialistik, keluarga konsumeristik, ekonomi kapitalistik, dll dengan sistem Islam.
Ciptakan sosok pemimpin yang baik. Untuk itu, perlu dibangun kesadaran ideologis dan politik penguasa. Rasulullah saw. sejak awal mengemban Lâ ilâha illâ Allâh, Muhammad Rasûlullâh dalam melawan ideologi Quraisy yang mendewakan manusia. Nabi saw. mendidik para Sahabat dengan al-Quran dan Sunnah, bahwa umat Islam adalah umat terbaik yang harus menyeru manusia pada kebenaran; Islam adalah agama bagi seluruh manusia (kâffah li an-nâs); Islam diturunkan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya; kaum Mukmin lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan para penentang Allah; Romawi dan Persia akan ditundukan; Konstantinopel dan Roma akan digenggam kaum Muslim; dll. Lahirlah para khalifah dari kalangan Sahabat, Tâbi‘în, Tâbi‘ at-Tâbi‘în beserta generasi sesudahnya yang memiliki kesadaran ideologis dan politis.
Ciptakan tradisi amar makruf nahi mungkar. Salah satu bentuk penting dari amar makruf nahi mungkar adalah mengoreksi penguasa (muhâsabah li al-hukkâm). Dalam Islam, masyarakat didorong untuk berkata baik sekalipun pahit, dan mengoreksi penguasa (QS Ali Imran [3]: 104). Partai politik/ormas maupun individu, termasuk ulama, akan meluruskan penyimpangan penguasa dari Islam. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!