Kamis, 27 Jumadil Akhir 1446 H / 26 Maret 2015 06:40 wib
11.728 views
Amplop Wartawan dan Wartawan Amplop
Oleh: Abdul Halim (Wartawan VOA-Islam)
Sahabat VOA-Islam...
Pasca reformasi dimana penerbitan pers dan kebebasan pers dibuka seluas-luasnya, penerbitan pers bermunculan bak jamur dimusim hujan, sementara jumlah wartawan berlipat ganda dari pada di zaman orde Baru yang serba membatasi kebebasan pers.
Namun sebagai dampak negatifnya, banyak bermunculan penerbitan bodrex dan wartawan bodrex, yang kerjanya bukan mencari berita tetapi mencari amplop. Dan juga penerbitan bodrex yang mempekerjakan wartawan yang dibayar sangat minim dibawah UMR bahkan tanpa bayaran sama sekali.
Sehingga sang wartawan disuruh mencari bayaran sendiri dari narasumber. Akibatnya banyak terjadi praktek kurang terpuji dari sang wartawan dalam menjalankan profesi jurnalistiknya.
Profesi wartawan adalah profesi sangat mulia dimana media massa cetak, elektronik termasuk televisi dan online sebagai alat kontrol sosial, sehingga banyak godaannya. Apalagi seorang wartawan biasanya begitu dekat dengan pejabat atau pengusaha sehingga mudah terjadinya interaksi yang menimbulkan simbiosis mutualisme.
Sang wartawan dapat amplop, sementara pejabat atau pengusaha dapat publikasi positif sehingga mampu menaikkan bargaining positionnya di masyarakat.
Pada awal masa jabatannya, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, dimana istrinya juga mantan wartawati, berusaha ingin menghapus amplop wartawan di Pemprof Jateng. Memang amplop wartawan tidak sekedar amplop, tetapi bisa berupa dana alokasi, dana rilis, dana menjamu, dana jumpa pers, uang ganti transport, anggaran khusus, uang jatah, uang pembinaan dan sebagainya yang besarnya berbeda-beda antara daerah, propinsi dan pusat.
Untuk wartawan yang melakukan liputan di pusat, memang ada Humas Kementerian yang rajin memberi amplop tetapi ada juga yang pelit mengeluarkan amplop untuk wartawan.
Adapun besarnya amplop sekali jumpa pers untuk wartawan di daerah antara Rp 50 ribu-Rp 100 ribu, sementara di pusat bisa mencapai Rp 300 ribu bahkan Rp 500 ribu untuk sekali acara mengundang wartawan terutama di berbagai perusahan besar. Bahkan sekarang bukan main amplop lagi, tetapi sudah main rekening.
Sementara ada beberapa daerah di Jateng dimana anggaran untuk wartawan dimasukkan dalam APBD. Namun diluar itu, wartawan yang memiliki jaringan khusus dengan pengusaha dan pejabat, amplopnya jelas lebih gede lagi bisa mencapai jutaan rupiah yang tentu saja melalui rekening. Berdasarkan survei AJI tahun 2005 di 17 kota, sebanyak 61,5 persen wartawan pernah ditawari amplop narasumber, dan 37,3 persen mengaku tidak pernah ditawari amplop narasumber.
Amplop bukan Korupsi
Setelah terbitnya UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberanatasan Tindak Pidana Korupsi, maka timbul pertanyaan apakah amplop untuk wartawan termasuk suap bahkan korupsi, sehingga instansi atau Kementerian tertentu bisa dilaporkan ke KPK jika memberi amplop wartawan ? Bahkan souvenir pernikahan salah seorang putri pejabat MA bisa berurusan dengan KPK.
Memang diakui, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengandung pasal karet yang bisa ditarik kesana kemari. Sebab definisi korupsi sangatlah luas sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001, dimana suap bisa digolongkan sebagai korupsi.
Padahal di Jepang, Malaysia dan Singapura suap bukan termasuk korupsi dan hanya pidana suap biasa. Sebagaimana sering terjadi pada para politisi Jepang yang ketahuan menerima suap dan akhirnya mengundurkan diri sebagaimana bentuk pertanggung jawabannya.
Namun mereka tidak dituduh telah melakukan korupsi. Kalau dulu di negara kita menyuap pemain sepak bola hanya terkena pasal KUHP, tetapi sekarang digolongkan sebagai korupsi.
Padahal seharusnya filosofi korupsi sejak awal adalah adanya aspek kerugian negara yang riil atau konkrit, bukan sesuatu yang prediktif atau asumtif sifatnya. Kalau menyuap seorang pejabat, sebenarnya negara tidak dirugikan, sebab yang dikeluarkan uang suap itu uangnya sendiri bukan uang negara, apalagi memberi amplop kepada wartawan yang jumlanya tidaklah seberapa.
Delik seperti ini sekarang semakin luas, apalagi pengertian korupsi adalah barangsiapa memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, seperti dalam UU Nomor 20 Tahun 2001.
Jadi deliknya sudah berubah dari delik materiil kedelik formil. Kalau delik materiil pasti dan terukur, seperti orang membunuh ada yang mati, orang mencuri ada barang yang hilang dan lain-lain. Tetapi kalau delik formil tidaklah pasti dan tidak terukur seperti menghasut. Tetapi karena delik formil, maka menghasut itu tidak perlu ada akibatnya yang terjadi.
Jadi definisi korupsi sudah bergeser dari delik materiil kedelik formil, sehingga yang dapat merugikan keuangan negara termasuk korupsi, maka bisa menjadi karet pengertiannya.
Maka pantaslah jika Indonesia menjadi negara terkorup di Asia dan sarang koruptor di dunia, karena memang pasal UU Anti Korupsinya pasal karet dan tragisnya justru dimanfaatkan sebagai alat politik penguasa untuk menakut-nakuti lawan politiknya seperti yang sering dilakukan KPK yang dituduh telah melakukan tebang pilih dalam memberantas korupsi seperti dalam kasus Hambalang.
Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, apakah amplop untuk wartawan termasuk suap bahkan korupsi ?
Pertama, semunya tergantung berapa besarnya “amplop” yang diberikan kepada wartawan bersangkutan. Kalau jumlahnya cukup besar bisa mencapai jutaan bahkan puluhan juta hingga ratusan juta rupiah dengan melalui nomor rekening, maka bisa digolongkan sebagai suap bahkan korupsi.
Sebab sudah masuk dalam definisi korupsi sebagaimana UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tetapi kalau pemberian amplop untuk wartawan itu hanya sekedar uang ganti transportasi yang jumlahnya tidak seberapa meski sang wartawan sudah mendapat gaji bulanan dari media tempatnya bekerja, itu bukan termasuk suap apalagi korupsi, sebab tidak masuk dalam definisi UU Nomor 20 tahun 2001.
Kedua, tergantung apakah pemberianamplop itu akan mempengaruhi berita atau tulisan sang wartawan terhadap si narasumber pemberi amplop, apakah itu instansi pemerintah ataukah perorangan. Jika tulisan atau berita sang wartawan tetap independen, profesional dan mengigit, maka bukan termasuk suap.
Tetapi jika tulisan sang wartawan memuji-muji dan membela sang narasumber pemberi amplop meski telah melakukan tindak pidana, maka itu bisa digolongkan sebagai suap (riswah). Berarti sang wartawan telah melakukan tindakan “membela yang bayar”, sehingga pantaslah kalau disebut sebagai wartawan amplop.
Ketiga, untuk mencegah menjamurnya wartawan amplop, sebaiknya dikeluarkan Perpu atau Permen yang mempersulit pendirian penerbitan pers. Sebab mendirikan penerbitan pers yang tidak profesional dengan modal seadanya akan mencetak generasi baru wartawan amplop. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!