Selasa, 5 Jumadil Awwal 1446 H / 2 Desember 2014 10:00 wib
19.044 views
Kontroversi Pernikahan Dini
Sahabat VOA-Islam...
‘Pernikahan Dini sebaiknya janganlah terjadi…’ itulah sepenggal lirik lagu yang bisa mewakili untuk mengkampanyekan pihak-pihak yang berniat terkait menaikan batas usia nikah dari 16 tahun menjadi 18 tahun.
Menurut Misiyah, Direktur Institut Kapal Perempuan di Jakarta menuturkan bahwa jika hanya sampai 16 tahun, perempuan hanya mengenyam pendidikan sampai SLTP sedangkan pendidikan adalah hak warga negara seperti tercantum dalam Pasal 28 C ayat 1 Tahun 1945. Jika tidak berpendidkan maka berpeluang menambah jumlah orang miskin. (Media Indonesia, 31/10/2014).
Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin menyetujui batas usia nikah dari 16 tahun menjadi 18 tahun, karena usia 18 tahun dinilai lebih dewasa. (Republika, 20/10/2014). Upaya untuk mencegah pernikahan dini dilakukan oleh Fasli Djalil selaku Ketua Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dengan mengajak remaja menjadi Generasi Berencana (GenRe). (http://www.gatra.com/entertainmen/film-1/99031-bkkbn-ajak-remaja-jadi-genre-melalui-kompetisi-film.html)
Memang tak dapat dipungkiri banyak faktor yang menyebabkan pernikahan dini, salah satunya orangtua yang menikahkan anak perempuan yang masih dibawah umur batas nikah dengan alasan mengurangi beban ekonomi keluarga. Namun lebih banyak pernikahan dini itu disebabkan oleh seks bebas remaja karena terpengaruh dari media televisi, media cetak dan internet, yang ditiru oleh mereka tanpa dipikirkan dampak jangka panjang akibat dari perbuatan tersebut.
kehidupan yang kapitalistik membuat orangtua abai dalam proses pendidikan anak-anaknya. Walaupun ada sebagian keluarga yang mendidik anak-anaknya namun media dan lingkungan tidak mendukung
Fasli Djalil juga tidak menafikan bahwa Globalisasi Informasi menghasilkan efek positif dan negatif kepada remaja. Itu artinya pengaruh media sangatlah besar dalam mempengaruhi seseorang apalagi remaja yang sedang labil. Hal ini tidak heran dalam sistem demokrasi karena demokrasi mempunyai pilar kebebasan berperilaku (freedom of personality), remaja bebas untuk melakukan apapun sesuka hatinya, termasuk seks bebas.
Keluarga yang seharusnya menjadi basis pendidikan utama remaja, namun kehidupan yang kapitalistik membuat orangtua abai dalam proses pendidikan anak-anaknya. Walaupun ada sebagian keluarga yang mendidik anak-anaknya namun media dan lingkungan tidak mendukung.
Masyarakatpun tidak seketat dulu dalam mencegah perzinaan disekitar mereka, budaya permisif seolah-olah menjadi hal biasa. Pendidikan karakter untuk meningkatkan pendidikan akhlak disekolahpun belum jelas siapa role modelnya. Komplitlah sudah kerusakan remaja akibat penerapan sistem kapitalisme demokrasi yang asasnya sekulerisme. Sudah saatnya kita kembali kepada sistem Islam.
Penulis: Yeni Sri Rosnaeni
(Mahasiswi Manajemen DakwahFakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!