Jum'at, 27 Jumadil Akhir 1446 H / 28 November 2014 05:00 wib
17.461 views
Amran Nasution : Jokowi, Oh, Jokowi... Baru Pertama Kali Terjadi, Anggota DPR Merangkap Jaksa Agung
Oleh: Amran Nasution, Mantan Redpel Majalah Tempo
Baru Pertama Kali Terjadi, Anggota DPR Merangkap Jaksa Agung. Prasetyo Akan Dapat Gaji Ganda?
Telah sebulan Joko Widodo alias Jokowi menjadi Presiden Indonesia, dan rakyat (baik yang memilihnya mau pun tidak dalam Pemilihan Presiden alias Pilpres) mulai tahu ‘’kehebatan’’ mantan Walikota Solo, Gubernur Jakarta, dan pedagang mebel ini.
Betapa tidak, rakyat kecil dan miskin, yang merupakan mayoritas rakyat Indonesia, yang dulu memuja Jokowi karena tokoh ini katanya merakyat, rajin ‘’blusukan’’ menyapa orang kecil, beserta bla bla lainnya, kini terhenyak setelah presiden Indonesia ke-7 ini menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) sebesar 30 persen, terhitung 18 November lalu. Kenaikan harga BBM, sebagaimana biasa, diikuti melonjaknya harga barang kebutuhan pokok lainnya, menyebabkan mayoritas rakyat yang hidupnya sulit kian bertambah sulit.
Yang membuat kebijakan Presiden Jokowi ini mengundang banyak protes, karena kenaikan harga dilakukan saat harga minyak dunia sedang turun. Di negara lain yang terdengar adalah berita penurunan harga BBM. Tapi di Indonesia justru sebaliknya, kenaikan harga BBM.
Apalagi gampang ditebak, langkah menaikkan harga BBM ini tak lain untuk membiayai peredaran kartu ‘’sakti’’ Jokowi (Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dan Kartu Keluarga Sejahtera). Bagi Jokowi rupanya peredaran kartu ini sangat penting karena sudah dijanjikannya di masa kampanye. Kalau dugaan ini benar, artinya Jokowi mengorbankan rakyat miskin demi populeritas pribadinya, sehingga 5 tahun mendatang dia akan terpilih lagi jadi Presiden.
Adalah tragis nasib yang menimpa PDIP dan Ketua Umumnya Megawati Soekarnoputri. Selama dua priode kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), PDIP jadi ‘’oposisi’’, dan setiap kali terjadi kenaikan harga BBM, PDIP pasti menentangnya. Malah sikap keras PDIP dan Megawati dalam soal BBM itu dipertegas dengan menerbitkan buku putih. ‘’BBM naik tinggi, susu tak terbeli..... ,‘’ celoteh Mega berpidato mengejek pemerintahan SBY.
Padahal harus diakui di zaman SBY itu kebijakan menaikkan harga BBM selalu punya alasan kuat. Oleh sebab itu dalam kondisi tertentu masuk akal pula bila harga BBM diturunkan. Di zaman SBY-lah terjadi berkali-kali penurunan harga BBM.
Tapi kini tanpa malu-malu PDIP dan Megawati harus mendukung Jokowi yang menaikkan harga BBM. Bisa disaksikan di pelbagai layar televisi betapa tokoh PDIP semacam Arya Bimo, terseok-seok menghadapi serangan tokoh partai lain yang menelanjangi sikap plintat-plintut PDIP: dulu anti tapi kini mendukung kenaikan BBM tanpa alasan yang bisa diterima akal sehat.
Banyak pengamat berpendapat bahwa kenaikan harga BBM ini dipilih Jokowi untuk memenuhi permintaan badan internasional semacam IMF dan Bank Dunia. Lembaga keuangan dunia itu menghendaki harga BBM di Indonesia mendekati harga pasar. Dengan demikian pompa bensin asing seperti Shell (Amerika Serikat), Total (Perancis), dan Petronas (Malaysia), yang sudah banyak beroperasi di Jakarta dan kota besar lainnya bisa berkembang.
Soalnya, karena menjual BBM bersubsidi yang harganya lebih murah, pompa bensin Pertamina tetap paling ramai dikunjungi konsumen dibanding pompa bensin asing. Malah di Jakarta dan berbagai kota lain, pompa bensin Petronas milik pemerintah Malaysia sudah banyak yang terpaksa tutup alias bangkrut, tak mampu bersaing dengan pompa bensin Pertamina.
Apa pun alasannya jelas, kebijakan Jokowi menaikkan harga BBM sulit diterima. Serangan terberat yang harus dihadapi Jokowi tentu dari DPR yang dikuasai kelompok Koalisi Merah Putih (KMP) – selain aksi dan demonstrasi menolak kenaikan BBM dari mahasiswa dan komponen rakyat lainnnya, tak pula bisa diabaikan.
Sekretaris Fraksi Partai Golkar DPR RI Bambang Soesatyo menuduh kebijakan Jokowi menaikkan BBM hanya memindahkan beban fiskal pemerintah ke pundak rakyat. "Fraksi Partai Golkar menolak keputusan Presiden Jokowi menaikkan harga," kata Bambang di Jakarta, 18 November 2014.
Anggota DPR Jadi Jaksa Agung
Hal senada ditegaskan Ketua Fraksi Partai Gerindra Ahmad Muzani. Dia minta pemerintahan Jokowi mencabut kebijakan itu.
"Indonesia satu-satunya negara yang menaikkan harga BBM. Saya tak tahu kacamata apa yang dipakai Jokowi. Konkritnya kami minta Presiden mencabut kebijakan ini," kata Muzani di gedung DPR.
Belum selesai dampak kenaikan harga BBM, muncul peristiwa lain. Ternyata ‘’kekacauan’’ Presiden Jokowi belum berakhir. Tapi kali ini ‘’Sang Presiden’’ telah melewati batas, yaitu melanggar undang-undang. Apa yang terjadi?
Kamis siang, 20 November lalu, Presiden Jokowi melantik H.M.Prasetyo sebagai Jaksa Agung di Istana Negara. Kabar yang beredar menyebutkan acara itu tak banyak dihadiri undangan, paling sekitar 30 orang. Jauh lebih sepi dibanding pelantikan Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta, sehari sebelumnya.
Tapi bukan soal sepinya acara yang jadi masalah. ‘’Kesalahan’’ yang dilakukan Jokowi di sini: H.M.Prasetyo yang pensiunan Jaksa Agung Muda itu dilantiknya menjadi Jaksa Agung ketika masih berstatus resmi sebagai anggota DPR-RI dari Fraksi Nasdem.
Azis Syamsuddin, politikus Partai Golkar, menjelaskan bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, pasal 21 huruf a, ditegaskan bahwa Jaksa Agung tak boleh merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya.
"Ketentuan dalam pasal 21 poin a, UU Kejaksaan itu mensyaratkan bahwa Jaksa Agung ketika dilantik bukan pejabat negara. Jadi dengan melantik Prasetyo, Presiden Jokowi melanggar pasal 21 poin a itu, karena HM Prasetyo belum mengundurkan diri dari DPR," kata Aziz di Jakarta, 20 November 2014.
Aziz menambahkan, di dalam pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Kejaksaan tadi disebutkan bahwa Jaksa Agung adalah pejabat negara, sama seperti anggota DPR-RI. "Kemudian di dalam pasal 21 poin a disebutkan bahwa Jaksa Agung dilarang merangkap jadi pejabat negara lain atau penyelenggara negara menurut Undang Undang. Misalnya, anggota DPR atau DPD," kata Aziz Syamsuddin.
Dengan pelantikan itu, maka sekarang Prasetyo memiliki jabatan rangkap: Jaksa Agung sekaligus anggota DPR-RI. Kalau pun ia mundur dari DPR, setidaknya prosesnya akan memakan waktu satu bulan. Artinya, dia sempat menerima gaji dua kali, sebagai Jaksa Agung dan anggota DPR-RI.
Tampaknya, sepanjang sejarah Republik, inilah pertama kali terjadi kekacauan seperti ini. Tapi perlu pula dipertanyakan: dengan pelanggaran undang-undang seperti disebutkan di atas, apakah sah pelantikan Prasetyo menjadi Jaksa Agung? Jokowi, oh, Jokowi... [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!