Senin, 18 Jumadil Awwal 1446 H / 16 Desember 2013 05:14 wib
19.219 views
Tidak Disyariatkan Shalat Sunnah Rawatib Saat Safar
Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.
Shalat sunnah memiliki keutamaan yang agung. Membiasakannya dapat mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menjadi sarana untuk meraih cinta dan ridha-Nya. Dalam Hadis Qudsi disebutkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman melalu lisan Rasul-Nya:
وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ
"Hamba-Ku senantiasa bertaqarub kepada-Ku melalui shalat-shalat sunah (nawafil) sampai Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya maka Aku pun menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar, menjadi matanya yang dengannya ia melihat, menjadi tangannya yang dengannya ia bekerja, dan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Manakala ia meminta kepada-Ku maka akan Aku beri dan jika memohon perlindungan kepada-Ku maka akan Aku lindungi dia." (HR. Bukhari dari hadits Abu Hurairah)
Dalam riwayat dari Abu Umamah disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah bersabda:
مَا أَذِنَ اللَّهُ لِعَبْدٍ فِي شَيْءٍ أَفْضَلَ مِنْ رَكْعَتَيْنِ يُصَلِّيهِمَا وَإِنَّ الْبِرَّ لَيُذَرُّ عَلَى رَأْسِ الْعَبْدِ مَا دَامَ فِي صَلَاتِهِ
"Allah tidak menyerukan bagi hamba-Nya sesuatu yang lebih utama daripada shalat dua rakaat. Sesungguhnya kebajikan ditebarkan di atas kepala seorang hamba selagi ia dalam shalatnya." (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam juga pernah bersabda kepada seorang sahabat yang meminta untuk menjadi pendampingnya di surga, agar ia memperbanyak shalat sunnah;
فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِك بِكَثْرَةِ السُّجُود
“Maka bantulah aku (untuk mewujudkannya) dengan engkau memperbanyak sujud (shalat).” (HR. Muslim)
Termasuk dalam shalat sunnah ini adalah shalat sunnah rawatib, yaitu shalat sunnah yang mengiringi shalat fardlu baik sebelum atau sesudahnya. Dia akan menjadi penyempurna atas kekurangan yang ada dalam shalat wajibnya.
Diriwayatakan dari Abu Hurairah Radliyallah 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab dari seorang hamba adalah shalatnya. Apabila bagus maka ia telah beruntung dan sukses, dan bila rusak maka ia telah rugi dan menyesal. Apabila kurang sedikit dari shalat wajibnya maka Rabb 'Azza wa jalla berfirman: "Lihatlah, apakah hamba-Ku itu memiliki shalat tathawwu' (shalat sunnah)?" Lalu shalat wajibnya yang kurang tersebut disempurnakan dengannya, kemudian seluruh amalannya diberlakukan demikian.” (HR Al-Tirmidzi, an Nasai, dan al Hakim)
Sunnah Rawatib Saat Safar
Secara umum keutamaan shalat sunnah Rawatib di atas disyariatkan saat seseorang tidak dalam safar. Karena saat safar, shalat yang fardhu saja diberi keringanan dengan jama’ dan qashar. Sehingga tidak ditemukan petunjuk dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bahwa beliau melakukan shalat sunnah rawatib kecuali dua rakaat sebelum shubuh dan shalat witir.
Dalam hadits 'Ashim bin Umar bin al Khathab, dia bercerita: “aku pernah menemani Ibnu Umar dalam perjalanan menuju Makkah.” Dia melanjutkan kisahnya, “Dan Ibnu Umar mengerjakan shalat Dzuhur dua rakaat bersama kami, kemudian beliau berangkat dan kamipun ikut berangkat bersamanya hingga sampai di kendaraannya. Lalu dia duduk dan kamipun ikut duduk bersamanya. Setelah itu dia berbalik ke arah tempat dia mengerjakan shalat dan melihat beberapa orang tengah berdiri (shalat).”
Ibnu Umar bertanya, “Apa yang dilakukan oleh orang-orang itu?”
Aku (‘Ashim) menjawab, “Mereka sedang mengerjakan shalat sunnah.”
Dia kemudian berkata, “Seandainya aku mengerjakan shalat sunnah sesudah shalat fardlu, tentulah aku sempurnakan shalat (dzuhur empat rakaat-red). Wahai putera saudaraku, aku pernah menemani Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam sebuah perjalanan dan beliau tidak pernah mengerjakan shalat lebih dari dua rakaat sampai Allah memanggilnya. Aku juga pernah menemani Abu Bakar dan dia mengerjakan shalat tidak lebih dari dua rakat sampai Allah mencabut nyawanya. Selain itu, aku pernah menemani Umar bin Khathab, dan dia juga tidak pernah shalat lebih dari dua rakaat sampai akhirnya Allah mewafatkannya. Aku pun pernah menemani Ustman dan dia juga tidak pernah shalat lebih dari dua rakaat sampai Allah memanggilnya. Allah Ta'ala telah berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sunguh telah ada pada diri Rasulullah teladan yang baik baik kalian.” (QS. Al-Ahzab: 21)
Ini dikecualikan pada shalat Sunnah qabliyah Shubuh –dua rakaat fajar- dan Shalat Witir, baik ketika sedang bepergian atau di rumah. Hal ini didasarkan pada hadits 'Aisyah mengenai shalat sunnah sebelum Shubuh, “Bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak pernah meninggalkannya (dua rakaat sebelum shubuh) sama sekali.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pada hadits Abu Qatadah Radliyallah 'Anhu dikisahkan, pernah terjadi dalam sebuah perjalanan, Rasulullah dan para sahabat tertidur sehingga terlambat mengerjakan shalat Shubuh hingga matahari terbit. Di dalamnya disebutkan, “Bilal pun mengumandangkan Adzan. Lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengerjakan shalat dua rakaat baru kemudian mengerjakan shalat Shubuh, sebagaimana yang beliau kerjakan setiap hari.” (HR. Muslim)
Sedangkan shalat Witir, hal itu didasarkan pada hadits Abdullah bin Umar, dia bercerita, "Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengerjakan shalat dalam sebuah perjalanan di atas kendaraannya dengan menghadap ke arah mana kendaraan beliau menuju. Beliau memberi isyarat dengan isyarat shalat malam kecuali shalat fardlu. Beliau juga mengerjakan shalat witir di atas tunggangannya." (HR. Muttafaq 'Alaih)
Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, "kegigihan dan kesungguhan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dalam menjaga shalat sebelum Shubuh lebih besar daripada shalat-shalat sunnah rawatib lainnya, sehingga beliau tidak pernah meninggalkannya. Begitu pula shalat witir, baik ketika di perjalanan maupun ketika sedang di rumah . . . . tidak pernah dinukil bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengerjakan shalat sunnah rawatib selain dua rakaat sebelum shubuh dan shalat witir dalam safarnya." (Zaad al Ma'ad: I/315).
. . . . tidak pernah dinukil bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengerjakan shalat sunnah rawatib selain dua rakaat sebelum shubuh dan shalat witir dalam safarnya." (Zaad al Ma'ad: I/315).
Mengenai shalat tathawwu' mutlak. Shalat itu tetap disyariatkan ketika safar maupun muqim, seperti shalat Dzuha, Tahajjud pada malam hari, dan seluruh shalat sunnah mutlak. Termasuk dalam hal ini shalat-shalat Dzawat al Asbab (memiliki sebab), seperti shalat sunnah wudlu, shalat sunnah thawaf, shalat Kusuf, tahiyyatul masjid, dan lainnya.
Imam an Nawawi Rahimahullah dalam Syarhnya atas Muslim berkata, "Para ulama telah sepakat untuk tetap menyunahkan shalat-shalat sunnah mutlak dalam perjalanan."
Penutup
Tidak disyariatkan shalat sunnah Rawatib saat safar, baik yang qabliyah maupun ba’diyah. Kecuali shalat sunnah dua rakaat sebelum shalat Shubuh, atau yang biasa disebut dua rakaat fajar. Karena Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam tidak pernah mengerjakannya kecuali yang dua rakaat fajar tadi. Padahal beliau adalah orang yang paling semangat dalam menjalankan ibadah-ibadah dan ketaatan.
Bahasan ini mengabarkan, semangat beribadah dalam Islam haruslah didasarkan kepada ilmu. Dan ilmu dalam Islam bersumber dari Al-Qur'an dan Sunnah Shahihah. Lalu para ulama menjelaskannya dalam tafsir, syarh hadits, dan kitab-kitab fiqih mereka. Janganlah membangun ibadah di atas perkiraan dan dugaan-dugaan tanpa dasar dalil yang shahih. (PurWD/voa-islam.com)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!