Selasa, 21 Jumadil Awwal 1446 H / 5 Januari 2010 13:40 wib
21.619 views
Siapakah Wali Allah?
Di masyarakat, wali adalah gelar yang memiliki prestise tinggi. Orang yang sudah mencapai derajat wali, didudukkan laksana nabi, seluruh tindakan dan perkataannya harus diterima dan dilaksanakan meski tak jarang melanggar syari'at. Ia dianggap maksum, bahkan tak jarang sikap nyelenehnya semakin memperkuat kewaliannya di mata mereka, sebagaimana sikap anehnya khidzir yang tidak dipahami oleh Musa. Intinya, semakin nyleneh semakin dianggap sempurna kewaliannya.
Mestinya keadaan ini tidak terjadi bila masyarakat paham siapakah wali Allah yang sebenarnya. Bahwa tidak semua orang yang dianggap sebagai wali adalah wali Allah.
Wali Allah adalah orang yang memiliki kedekatan dengan Allah melalui ketaatan. Mereka adalah orang yang dicintai oleh Allah. Dan dalam istilah al-Qur'an, wali Allah adalah orang yang terkumpul dalam dirinya dua sifat agung, iman dan takwa. Allah Ta'ala berfirman,
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa." (QS. Yunus: 62-63).
Wali Allah adalah orang yang terkumpul dalam dirinya dua sifat agung, iman dan takwa.
Setiap mukmin yang bertakwa adalah wali Allah ’Azza wa Jalla. Sedangkan iman dan takwa hamba itu bertingkat-tingkat, tidak sama. Orang yang paling sempurna iman dan takwanya dia mendapatkan kewalian (kecintaan dan kedekatan dengan Allah) yang sempurna pula. Berarti para wali Allah berbeda-beda tingkatannya sesuai dengan kadar iman dan takwanya.
Iman dan takwa inilah yang harus menjadi barometer dalam menghukumi seseorang sebagai wali Allah atau bukan. Maka setiap orang yang dalam sikap dan perkataannya bertentangan dengan keimanan dan jauh dari perilaku takwa tidak layak dimasukkan dalam kelompok wali Allah.
Iman dan takwa inilah yang harus menjadi barometer dalam menghukumi seseorang sebagai wali Allah atau bukan.
Orang yang menjadi pembela pluralisme yang menyatakan seluruh agama benar padahal Allah menyatakan, "Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam", tak layak disebut wali Allah.
Orang yang menyatakan bahwa orang Yahudi dan Nashrani bukan orang kafir, namun hanya digolongkan sebagai Ahli Kitab, padahal Allah jelas menyatakan, "Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk." (QS. Al-Bayyinah: 6). Orang seperti ini tak layak disebut wali Allah.
Orang yang menyatakan, "Sebaliknya menurut saya. Kitab suci yang paling porno di dunia adalah Alqur’an, ha-ha-ha.. (tertawa terkekeh-kekeh)," tak layak disebut sebagai wali Allah.
Orang yang membela aliran sesat Ahmadiyah yang mengaku ada nabi sesudah Nabi Muhammad, tidak layak disebut sebagai wali Allah.
Orang yang menyatakan, "Sebaliknya menurut saya. Kitab suci yang paling porno di dunia adalah Alqur’an, ha-ha-ha.. (tertawa terkekeh-kekeh)," tak layak disebut sebagai wali Allah.
Macam wali Allah
Wali Allah yang paling mulia adalah para nabi. Yang paling mulia di antara mereka adalah para rasul. Yang paling mulia di antara para rasul adalah para rasul ulul 'azmi, yaitu Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Nabi Muhammad. Sedangkan ulul 'azmi yang paling mulia adalah Nabi Muhammad kemudian Nabi Ibrahim 'alaihimas samal.
Sedangkan kaum mukminin selain mereka, dalam kewalian terbagi menjadi dua tingkatan. Pertama, Sabiqun Muqarrabun, (orang yang bersegera melaksanakan ketaatan dan dekat dengan Allah) yaitu mereka yang mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan sunnah setelah melaksanakan yang wajib. Mereka melaksanakan yang wajib dan yang sunnah serta meninggalkan yang haram dan yang makruh. Karena usaha mereka yang sungguh-sungguh ini, Allah memberikan kecintaan yang sempurna pada mereka, membimbing dan menjaga mereka dari melaksanakan dosa, dan mengabulkan doa mereka.
Kedua, Ashabul Yamin Muqtashidun (kelompok kanan pertengahan), yaitu mereka yang mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan wajib. Mereka melaksanakan yang wajib dan meninggalkan yang haram, namun mereka tidak membebani diri untuk selalu melaksanakan yang sunnah dan meninggalkan sikap berlebih dengan yang mubah.
Pembagian ini didasarkan pada dalil Al Qur'an dan As Sunnah, di antaranya:
Firman Allah Ta'ala:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ
"Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar," (QS. Faathir: 32).
وَكُنْتُمْ أَزْوَاجًا ثَلَاثَةً فَأَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ مَا أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ وَأَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ مَا أَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ أُولَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ
"Dan kamu menjadi tiga golongan. Yaitu golongan kanan. Alangkah mulianya golongan kanan itu. Dan golongan kiri. Alangkah sengsaranya golongan kiri itu. Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk surga). Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah). Berada dalam surga kenikmatan." (QS. Al-Waqi'ah: 7-12)
Dalam Hadits Qudsi, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al Bukhari dalam shahihnya, "Siapa memusuhi wali-Ku, Aku mengumumkan perang terhadapnya. Hamba-Ku tidak mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang paling aku cintai daripada apa yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Jika aku telah menintainya, Aku menjadi telinganya di mana ia mendengar dengannya, Aku menjadi matanya di mana ia melihat dengannya, Aku menjadi tangannya di mana ia bertindak dengannya, dan Aku menjadi kakinya di mana ia berjalan dengannya. Jika ia meminta sesuatu kepada-Ku, Aku pasti memberi permintaannya. Jika ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku pasti melindunginya."
Hamba-Ku tidak mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang paling aku cintai daripada apa yang Aku wajibkan kepadanya. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya.
Wali Allah tidak identik dengan ciri dzahir
Wali Allah tidak identik dengan ciri-ciri dzahir, seperti berpakaian gamis, berambut gondrong ataupun gundul, berkuku panjang, atau gaya dan sikap tertentu seperti sikap nyleneh, aneh, berseberangan dengan orang banyak, atau yang semisalnya.
Wali Allah adalah mereka yang menonjol iman dan takwanya, tidak termasuk ahli bid'ah dan ahli maksiat. Biasanya mereka termasuk ahlul Qur'an, ahli ilmu (ulama), para mujahid, dan boleh jadi juga dia berprofesi sebagai pedagang, petani, peternak, nelayan, atau profesi halal lainnya.
Sikap ekstrim terhadap wali
Wali Allah bukanlah orang yang maksum, tidak mengetahui ilmu ghaib, tidak memiliki kuasa untuk mengatur alam semasta serta tidak punya kuasa untuk mengendalikan rizki bagi makhluk hidup. Oleh karenanya, tidak boleh berdoa kepadanya, meminta berkah dengan mengambil air ludah dan kotorannya, berebut sisa minum dan makanannya, apalagi mengambil bunga yang ada di kuburannya.
Tidak boleh berdoa kepada wali, meminta berkah dengan mengambil air ludah dan kotorannya, berebut sisa minum dan makanannya, apalagi mengambil bunga yang ada di kuburannya.
Wali Allah tidak menyuruh manusia untuk memuliakannya, menyumbang harta dan sesuatu untuknya. Siapa yang melakukan hal tersebut bukanlah wali Allah, tapi seorang pendusta yang menjadi wali syetan. Wallau a'lam bish shawab!.
(PurWD/voa-Islam)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!