Kamis, 2 Jumadil Akhir 1446 H / 22 April 2010 13:00 wib
10.249 views
Menjawab Syubhat Tidak Ada Jihad Tanpa Khalifah (2)
Syaikh Abu Bashir Musthofa Abdul Mun’im Halimah menerangkan kebatilan pensyaratan jihad harus bersama khalifah ini dengan menyebutkan berbagai dalil:
Pertama, Firman Allah Ta’ala:
فَقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا تُكَلَّفُ إِلَّا نَفْسَكَ وَحَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَكُفَّ بَأْسَ الَّذِينَ كَفَرُوا وَاللَّهُ أَشَدُّ بَأْساً وَأَشَدُّ تَنْكِيلاً
"Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan(Nya)." (QS. Al-Nisa’: 84)
Ini adalah nash yang menunjukkan bahwasanya jihad akan tetap berlanjut meskipun oleh seorang secara sendirian. Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan, "maknanya janganlah kamu meninggalkan jihad melawan musuh dan melawan mereka demi menolong kaum mukmin yang tertindas, sekalipun kamu hanya sendirian karena Allah telah memberi janji beliau dengan kemenangan."
Imam Al-Zujaj berkata, "Allah Ta’ala memerintahkan Rasul-Nya untuk berjihad sekalipun ia berperang sendirian karena Allah telah menjamin beliau akan meraih kemenangan."
Imam Ibnu ‘Athiyah berkata, "Inilah makna dzahir lafal ayat, hanya saja tidak ada satu haditspun yang menunjukkan bahwa jihad wajib atas beliau saja dan tidak wajib atas umatnya untuk suatu masa tertentu. Makna ayat ini, wallahu a’lam, bahwasanya khithab ayat ini secara lafal ditujukan kepada beliau. Ini seperti perkataan yang ditujukan kepada perorangan. Artinya, kamu wahai Muhammad dan setiap orang dari umatmu, katakan kepadanya, "berperanglah di jalan Allah, engkau tidak dibebani kecuali atas dirimu sendiri."
Karena itu sudah sewajarnya bagi setiap mukmin untuk berperang walaupun sendirian. Ini ditunjukkan juga antara lain oleh sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
وَاللهِ لَأُقَاتِلَنَّهُمْ حَتَّى تَنْفَرِدَ سَالِفَتِيْ
"Demi Allah, aku akan tetap memerangi mereka meski tinggal leherku saja (bahasa kiasan untuk mati)." Juga perkataan Abu Bakar radliyallah 'anhu saat terjadi peristiwa kemurtadan penduduk Arab, "Seandainya tangan kananku menyelisihiku, aku akan tetap berjihad melawan mereka dengan tangan kiriku."
Kedua, Firman Allah Ta'ala :
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْداً عَلَيْهِ حَقّاً فِي التَّوْرَاةِ وَالْأِنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar." (QS. At Taubah :111)
Jual beli ini telah sempurna, mencakup seluruh rentang masa hidup orang mukmin, tidak boleh dinihilkan ataupun dibiarkan dalam satu masa tanpa masa yang lain.
Karena itu barangsiapa menyaratkan adanya khalifah umum untuk menghidupkan faridzah jihad, berarti konskuensinya ia membatalkan akad jual beli yang telah terjadi di antara Allah dan hamba-hamba-Nya ini selama rentang masa tidak adanya khalifah selama puluhan tahun yang mengakibatkan binasanya beberapa generasi secara keseluruhan seperti kondisi zaman kita sekartang ini.
Dengan hak atau kekuasaan apa dikatakan kepada generasi-generasi umat Islam (saat ini), "kalian termasuk pengecualian dari jual beli ini selama masa tidak adanya khalifah, yang kadang berlanjut lebih dari seratus tahun?"
Ketiga, dalam hadits: dari Salamah bin Nufail al Kindi berkata, "saya duduk di sisi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, tiba-tiba seorang laki-laki berkata, "Ya Rasulallah orang-orang sudah mengistirahatkan kuda perang dan menaruh senjata. Mereka berkata, 'tidak ada lagi jihad dan perang telah usai'." Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menghadapkan wajahnya kepada laki-laki tadi dan bersabda:
كَذَبُوا الْآنَ الْآنَ جَاءَ الْقِتَالُ وَلَا يَزَالُ مِنْ أُمَّتِي أُمَّةٌ يُقَاتِلُونَ عَلَى الْحَقِّ وَيُزِيغُ اللَّهُ لَهُمْ قُلُوبَ أَقْوَامٍ وَيَرْزُقُهُمْ مِنْهُمْ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ وَحَتَّى يَأْتِيَ وَعْدُ اللَّهِ وَالْخَيْلُ مَعْقُودٌ فِي نَوَاصِيهَا الْخَيْرُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
"Mereka berdusta, sekarang, sekarang, perang telah tiba. Akan senantiasa ada dari umatku, umat yang berperang di atas kebenaran. Allah menyesatkan hati-hati sebagian kaum manusia dan memberi rizki (ghanimah) umat tersebut dari kaum yang tersesat tadi sampai terjadinya kiamat dan sampai datangya janji Allah. Kebaikan senantiasa tertambat dalam ubun-ubun kuda perang sampai hari kiamat."
Beliau shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda:
لا تزال طائفة من أمتي يُقاتلون على الحق ظاهرين إلى يوم القيامة
"Akan senantiasa ada sekelompok umatku yang berperang di atas kebenaran, mereka menang sampai hari kiamat." (HR. Muslim)
Kata "thaifah/kelompok/golongan" dipakai untuk satu orang atau lebih, seperti firman Allah :
إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
"Jika Kami mema’afkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) di sebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa." (QS. Al-Taubah: 66)
Imam Al-Thabari mengatakan, "disebutkan bahwa yang dimaksud dengan thaifah (kelompok) dalam tempat ini adalah seorang laki-laki."
Ibnu Ishaq mengatakan, "Yang dimaksud dengan ayat ini menurut berita yang sampai kepadaku adalah Makhsiy bin Humayyir Al Asyja’i, sekutu Bani Salamah. Ia dimaafkan karena mengingkari sebagian yang ia dengar."
Muhammad bin Ka’ab mengatakan,” Al-Thaifah adalah seorang laki-laki."
Dalam tafsirnya imam Al-Qurthubi mengatakan, "dikatakan bahwa mereka berjumlah tiga orang. Dua orang mengejek dan seorang lagi hanya tertawa. Yang dimaafkan adalah seorang yang tertawa dan tidak berkata."
Kelompok yang dimaafkan hanya beranggotakan seorang saja, dan kita telah menyaksikan jihad tetap berjalan meski pelakunya hanya seorang saja. Seorang dengan kesendiriannya disebut thaifah (kelompok). Jika memang demikian, maka bagaimana mungkin adanya seorang khalifah menjadi syarat berjalannya jihad? Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
لَنْ يَبْرَحَ هَذَا الدِّينُ قَائِمًا يُقَاتِلُ عَلَيْهِ عِصَابَةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ
"Dien ini akan senantiasa tegak, sekelompok umat Islam berperang di atas dien ini sampai tegaknya hari kiamat." (HR. Muslim dan Ahmad dari Jabir bin Samurah. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani dalam Misykah al Mashabih, no. 3801 dari Maktabah Syamilah)
Kata ‘Ishabah (kelompok) disebutkan untuk menunjukkan jumlah tiga dan seterusnya. Jika perang membela dien dan kehormatan dien ini terlaksana dengan kelompok yang beranggotakan tiga orang atau lebih, maka bagaimana mungkin adanya seorang khalifah menjadi syarat terlaksananya jihad? Bagaimana mungkin adanya seorang khalifah menjadi syarat dilaksankaannya jihad padahal jihad tetap terlaksana oleh seorang, oleh tiga orang atau lebih, sebagaimana disebutkan oleh hadits-hadits ini?
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
الْخَيْلُ مَعْقُودٌ بِنَوَاصِيهَا الْخَيْرُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ الْأَجْرُ وَالْغَنِيمَةُ
"Kuda itu tertambat pada ubun-ubunnya kebaikan hingga hari kiamat: pahala dan ghanimah.” (HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah dan Ahmad dari Urwah bin Abi al-Ja'd. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam al-Misykah no. 18556 dari Maktabah Syamilah) Hadits ini berlaku untuk zaman ada khalifah dan zaman tidak ada khalifah, tak ada sesuatu hal pun yang bisa menghentikannya.
Beliau shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda, "Hijrah tidak akan berhenti selama masih ada jihad." Dalam riwayat lain, "Hijrah tidak akan berhenti selama musuh masih diperangi." Bahkan sebaliknya beliau bersabda, "Hijrah tidak akan berhenti sehingga taubat-pun berhenti. Dan Taubat tidak akan terhenti sehingga matahari terbit dari barat." (HR. Abu Dawud dan Ahmad dari Mu'awiyah radliyallah 'anhu. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam al Irwa' no. 1208)
Ini menguatkan bahwa jihad tak akan berhenti sampai taubat berhenti, sementara taubat tak akan berhenti sampai matahari terbit dari barat, yaitu hari di mana "iman seseorang tidak memberinya manfaat karena sebelumnya ia tidak beriman" (QS. Al-An’aam: 158). Karena hijrah akan senantiasa ada selama jihad masih ada berdasar dilalah nash. Jika kita nyatakan jihad terhenti dengan tidak adanya khalifah, maka konskuensinya hijrah juga terhenti, konskuensi selanjutnya taubat juga terhenti. Pendapat ini jelas tidak boleh karena menyelisihi dalil-dalil yang sharih (jelas dan tegas) dan ijma’ umat.
Adapun dilalah mafhum nash, Al-Sunah menunjukkan adanya mujahidin —yang merupakan thaifah manshurah— dan keberadaan mereka yang akan terus berlangsung sampai hari kiamat. Eksistensi mujahidin sampai hari kiamat ini mengandung konskuensi terus berlangsungnya jihad —salah satu sifat thaifah manshurah— tanpa terhenti. Jika secara dzahir jihad yang ada adalah i’dad untuk jihad dan i’dad merupakan bagian dari jihad. Kewajiban i’dad sama dengan kewajiban jihad karena jihad tak akan sempurna tanpa i’dad, sementara qaidah menyatakan, "suatu kewajiban bila tidak sempurna kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu hukumnya juga wajib." Seorang muslim hanya mempunyai dua pilihan; antara berjihad fi sabilillah atau beri’dad untuk jihad saat kewajiban jihad tertunda karena kelemahan (tidak ada kemampuan), ia tidak mempunyai pilihan ketiga.
Keempat, Sunnah menunjukkan wajibnya melawan khalifah yang telah kafir dan wajibnya mengangkat khalifah muslim yang baru. Jika jihad harus bersama khalifah, sementara khalifahnya telah kafir; maka bagaimana cara jihad melawan dan menjatuhkan khalifah yang kafir tersebut? Siapa yang berjihad melawan dan menjatuhkan khalifah yang kafir tersebut ? Khalifah –padahal dia telah kafir— ataukah umat Islam tanpa bersama khalifah yang kafir? Tentu saja umat Islam tanpa bersama khalifah yang kafir tersebut."
Syekh Ibrahim Al Khudry berkata, "Jika ada yang bertanya, "Jihad hanya boleh diserukan oleh seorang Imam (khalifah), sementara pada hari ini kaum muslimin telah terpecah belah, tiap-tiap wilayah dipimpin oleh imam (penguasa) masing-masing. Lalu siapakah yang berhak menyerukan panggilan jihad?'"
Beliau menjawab: "Al-Hamdulillah, jika imam suatu wilayah telah menyerukan panggilan jihad, wajib bagi wilayah penduduk tersebut berperang melawan kaum kafir. Demikian pula imam suatu wilayah lain, wajib bagi segenap kaum muslimin untuk menyambut panggilan tersebut. Jika kaum mujahidin dipimpin oleh seorang Amir, lalu Amir tersebut menyerukan panggilan jihad, mereka wajib mentaatinya. Hingga sekarang keamiran seperti itu masih ada dan akan tetap ada sampai akhir zaman. Contohnya di wilayah Afganistan.
Syubhat tidak ada jihad selama tidak ada khalifah merupakan syubhat yang sangat berbahaya, di antaranya:
1- Syubhat ini sama sekali tidak berdasar dalil, baik dari Al-Qur’an, Al-Sunah, ijma’ salaf, maupun perkataan para ulama salaf. Bahkan bertentangan dengan nash-nash tegas Al-Qur’an, hadits mutawatir, dan ijma’ salaf.
2- Syubhat ini sebenarnya merupakan aqidah kaum Rafidlah (Syi'ah). Imam Al-Thahawi berkata, "Haji dan jihad akan tetap berjalan bersama para pemimpin kaum muslimin, baik pemimpin yang bijaksana maupun yang jahat, tak ada sesuatupun yang bisa membatalkannya."
Imam Ibnu Abil Izz Al Hanafy menjelaskan perkataan ini dengan mengatakan, "Syekh mengisyaratkan bantahan atas kaum Rafidlah di mana mereka mengatakan, "tidak ada jihad fi sabilillah sampai keluar ar ridha dari keturunan Nabi Muhammad dan seorang penyeru menyeru dari langit, ikutilah dia!" Kebatilan pendapat ini sudah jelas sekali sehingga tak perlu lagi ditunjukkan dalil yang menunjukkan kebatilannya."
Ketika aqidah ini memberatkan mereka sendiri, mereka tidak konsekuen dengan aqidah ini, di mana mereka tetap mengadakan revolusi Khameini dan mengadakan pemerintahan dengan nama "Wilayatul Faqih". Pelopor lain yang menyebarkan syubhat ini adalah Ahmad Ghulam Al Qadiyani, si nabi palsu dari India yang mengabdi kepada imperialis Inggris.
3- Yang memetik keuntungan terbesar dari syubhat ini adalah tentara imperialis salibis, zionis, komunis dan pemerintah-pemerintah sekuler di dunia Islam yang memusuhi Islam dan loyal kepada negara kafir barat.
4- Syubhat ini berarti menyalahkan dan mencela (jarh) salafush shalih dan para ulama yang tsiqat:
- Berarti menuduh para shahabat yang berjihad tanpa izin khalifah ketika khalifah ada dengan tuduhan berbuat dosa, berhak mendapat adzab Allah dan bunuh diri. Sahabat yang tertuduh adalah Abu Bashir dan kawan-kawan. Karena saat itu khalifah mengikat gencatan senjata 10 tahun dengan kafir Quraisy.
- Berarti menuduh Husain bin Ali dan Abdullah bin Zubair serta seluruh sahabat dan tabi’in yang membela keduanya sebagai pelaku dosa besar (bunuh diri, maksiat kepada imam), padahal saat itu tidak ada khalifah syar’i yang umum atas seluruh kaum muslimin.
- Demikian juga daulah Umawiyah, Abbasiyah dan Utsmaniyah telah melewati beberapa masa di mana mereka mengadakan jihad padahal kondisi belum pulih sehingga mereka tidak bisa dikatakan sebagai khalifah umum bagi seluruh kaum muslimin. Meski demikian, tak seorang ulama-pun yang mengatakan jihad mereka tidak masyru’ dengan alasan jihad mereka tidak berasal dari izin kholifah umum.
- Berarti menuduh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan pengikut beliau yang berjihad melawan Tartar, serta syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab yang berjihad memberantas kesyirikan di Nejed, sebagai orang-orang berdosa karena berjihad tanpa izin khalifah dan mereka berada di neraka Jahannam karena maksiat kepada khalifah dan melakukan aksi bunuh diri.
- Berarti menuduh jihad umat Islam yang mengusir imperialis kafir seperti di Palestina, Afghanistan, Chechnya, Moro, Patani, Kashmir dan lain-lain sebagai sebuah perbuatan haram, maksiat dan bunuh diri. Artinya harus menyerahkan tanah air kepada musuh Islam dengan suka rela.
- Berarti mengajak umat untuk meninggalkan jihad dan tenggelam dengan kenikmatan dunia, sampai nanti datangnya khalifah. Wallahu a'lam. . .
(PurWD/voa-islam.com)
Dikutip dari: www.arrahmah.com dan http://annajahsolo.wordpress.com
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!